Follow Us @soratemplates

Wednesday, 20 July 2011

Dilarang Memberi

Ada yang menggelitik hati saya ketika tadi sore melihat berita di salah satu stasiun TV. Menjelang bulan Ramadhan, Jakarta akan dipenuhi dengan para pengemis dan pengamen dadakan. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, pemerintah kota Jakarta mencanangkan peraturan dilarang memberi sedekah pada pengamen atau pengemis di jalan. Apabila ketahuan memberi sedekah pada pengamen atau pengemis di jalan, akan dikenakan denda. Sedangkan pengemis atau pengamennya akan diciduk dan ditahan hingga lepas Lebaran untuk memberi efek jera.

Ketika repoter stasiun TV mewawancarai beberapa pengguna jalan, reaksi yang didapat sungguh mencengangkan. Rata-rata pengguna jalan setuju. Seorang pengendara mobil berkomentar, lebih baik begitu dan dia memang jarang memberi sedekah. Daripada didenda, katanya. Begitu pula seorang wanita pengendara motor, juga merasa lebih nyaman jika peraturan itu diberlakukan dan tidak perlu memberi sedekah pada pengamen atau pengemis lagi di jalan. Sungguh, bagaimana hal itu bisa terjadi? Sudahkah hilang rasa saling berbagi?

Saya jadi teringat pada pengalaman saya saat mengendarai sepeda motor. Waktu itu saya baru pulang dari acara book fair di Gorro Assalam Kartasura. Waktu sudah masuk magrib, sedangkan musholla Gorro jelas tidak mencukupi kuota pengunjung yang ingin sholat. Maka, saya memutuskan untuk melajukan motor saya dan berhenti sholat magrib di masjid pinggir jalan. Barangkali karena sudah tepat jam 6 saat saya meninggalkan tempat parkir Goro, sedangkan waktu Isya jam setengah 7 lebih, saya seperti biasa melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Di pertigaan dekat Solo Square, saya terhenti oleh lampu merah. Ada seorang anak kecil yang sedang meminta-minta pada pengendara sepeda motor persis di depan saya. Begitu si pengendara motor memberikan uang, anak kecil itu beralih pada saya.

Saat menghampiri saya, anak itu menengok ke arah penunjuk waktu yang ada di dekat lampu. Tinggal 10 detik. Saya buru-buru merogoh tas saya, mencari-cari uang. Resleting pertama saya buka. Ternyata tidak ada uang. Terpaksa saya membuka resleting utama, mencari-cari dompet. Saya dan adik kecil itu sama-sama saling menengok ke penunjuk waktu. Waktu makin menipis, sedangkan dompet entah menyelinap di mana di dalam tas. Begitu dompet ketemu, waktu sudah habis. Ketika dompet mau saya keluarkan dari tas, sepeda motor dan mobil di belakang saya sudah mengklakson. Dan saya? Hanya bilang, “Maaf dik”, lalu melaju.

Sungguh, saat itu perasaan saya tidak tenang. Waktu melintasi rel kereta api Purwosari, terpikir oleh saya untuk balik lagi ke pertigaan tadi dan memberikan uang ke adik kecil. Tapi, saya teringat waktu magrib yang makin menipis juga. Akhirnya saya tetap memilih melanjutkan perjalanan dan berhenti sholat magrib di masjid PLN. Saya hanya bisa berdo’a agar adik kecil tadi mendapat rizqi yang lebih banyak lagi, jauh dari yang bisa saya berikan untuknya.

Nah, sekarang, sesuatu yang menurut saya aneh justru terjadi. Kita dilarang untuk memberi sedekah dan lucunya justru didenda jika ketahuan memberi sedekah. Memang, pemerintah memberi solusi atau anjuran untuk memberikan sedekah pada lembaga penyalur sedekah saja dan mempercayakan penyaluran sedekah itu pada mereka. Ya, memang itu terdengar lebih baik. Tapi, saya pikir, tidak semua orang bisa meluangkan waktu menuju lembaga penyalur sedekah. Belum lagi anggapan, jika menemui mereka, setidaknya sedekah yang diberikan mungkin lebih besar. Bisa saja ini justru makin membuat mereka merasa berat.

Dibandingkan jika bisa langsung bersedekah di jalan misalnya. Waktu jelas tidak perlu diluangkan khusus. Nominal yang dikeluarkan juga barangkali tidak terlalu memberatkan. Secara tidak sadar, sedikit demi sedikit rupiah yang diberikan tiap lampu merah, justru bernilai banyak. Tidak ada rasa begitu berat untuk mengeluarkan dana, tapi jumlah yang diberikan akhirnya bisa menyamai jika harus langsung ke lembaga. Bukankah ini lebih praktis dan aplikatif?

Lebih anehnya lagi, ini dilarang selama bulan suci Ramadhan. Padahal, segala amal yang dilakukan di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan. Seakan kebijakan ini justru menutup ladang pahala di bulan suci. Aneh, di bulan Ramadhan yang harusnya saling berbagi, justru dilarang untuk memberi. Lebih lucu lagi jika pengendara motor itu mematuhi peraturan tersebut karena takut didenda. Takut uangnya berkurang. Sudah buat memberi, masih kena denda lagi. Hm, begitukah?

Sungguh saya miris. Rasanya, manusia memang semakin angkuh aja. Persis seperti iklan salah satu provider. Ketika seorang pengemis meminta sedekah, pengemudi mobil justru menutup kaca jendela dan mengeraskan volume radionya. Sungguh adegan ini menunjukkan suatu keangkuhan manusia. Betapa pelit dan sayangnya pada harta. Sepertinya hukum rimba kian merajalela. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Semoga saja peraturan ini tidak mendidik kita menjadi manusia yang tak memiliki hati. Semoga saja tetap ada orang yang mau berbagi. Dan semoga saja kesediannya untuk tetap berbagi menjadi tambahan pahala tersendiri. Amin…




No comments:

Post a Comment