Follow Us @soratemplates

Sunday, 10 July 2011

Dear Diary, Aku Diare

Sepertinya, tahun ini adalah ulang tahun paling memprihatinkan bagi saya. Bukan karena tidak ada perayaan sama sekali, tapi karena saya diberi hadiah yang sangat membuat miris hati. Sejak pukul 3 pagi saya sudah terbangun. Ada yang aneh rasanya. Perut saya terdengar bunyi timpani, seperti suara tung tung tung kalau diketuk dengan jari. Bising usus juga terdengar keras, bahkan tanpa alat bantu stetoskop. Perut rasanya diremas-remas. Mulas sekali.

Selepas Subuh, saya buang air. Eh, ternyata hanya cairan yang keluar. Waktu mandi pagi, terjadi lagi. Sebelum berangkat kuliah, lagi-lagi harus menyambangi kamar mandi sekali lagi. Karena hari itu ada praktikum, saya nekat menahan hasrat dan memutuskan berangkat kuliah. Selama praktikum, saya sudah bertingkah tidak karuan. Mondar-mandir ke sana ke mari hanya demi mengalihkan hasrat yang tak tertahan lagi. Akhirnya, saya memutuskan bolos kuliah setelahnya. Hanya demi melepas rindu, bertemu dengan kamar mandi. Hm, ternyata masih cair juga. Sepertinya, saya resmi diare.

Dalam sehari itu saya 14 kali berkencan dengan kamar mandi. Entah berapa botol minuman isotonic saya minum untuk mengganti cairan tubuh yang keluar. Saya sengaja tidak minum obat sama sekali karena teringat pesan dosen “Diare itu proses pertahanan tubuh untuk mengeluarkan racun. Jadi biarkan saja dan cukup diberi pengganti cairan tubuh.” Tapi sudah sehari semalam hal itu terulang terus, dan saya tak tahan lagi. Tiba-tiba saya teringat kata dosen Ilmu Kesehatan Anak “Kalau diare, anak harus segera diberi oralit dan diobati karena banyak kasus kematian anak terjadi akibat diare”. Saya pun memutuskan untuk minum obat. Toh, saya kan juga anak. Bagaimana kalau saya mati hanya karena diare? Alhamdulillah setelah saya minum obat, saya tak perlu lagi bercengkrama dengan kamar mandi.

Seumur-umur, baru kali ini saya diare. Yang lebih bikin geleng-geleng kepala, kenapa diarenya harus saat ulang tahun saya. Waktu itu ada teman yang nyeletuk, “Mungkin di hari ulang tahunmu ini ada yang mendoakanmu begini: Mudah-mudahan selalu diberi kelancaran oleh Allah.” Duh, kalau kelancaran yang ini sih, saya pilih tidak terlalu lancar saja.

Tapi, celetukan teman saya itu membuat saya berpikir. Dalam hal buang air besar, kelancaran yang tiada tara ternyata tidak mengenakkan juga. Bagaimana mungkin enak kalau tiap jam harus kejar setoran. Sudah seperti penjaga WC umum saja karena stand by di depan kamar mandi seharian. Tapi, begitu mengalami konstipasi, rasanya juga tidak enak sekali. Sekali buang air bisa bermenit-menit. Tarik nafas dalam, mengejan. Persis seperti ibu akan melahirkan. Tentu yang paling menyenangkan adalah buang air yang normal saja. Tidak terlalu padat, tidak terlalu cair.

Nah, saya mengaplikasikannya dalam kehidupan. Mungkin kalau do’a agar diberi kelancaran itu terkabul, hidup akan lurus-lurus saja. Mau ini bisa, mau itu bisa. Semua mudah dan serasa tidak ada perjuangan untuk meraihnya. Enak kah? Rasanya tidak. Di lain sisi, ketika hidup itu keras sekali, mungkin akan terasa sangat berat. Usaha yang dilakukan begitu mati-matian. Tapi, apa yang didapatkan ketika kita berhasil meraih kesuksesan dari kerja keras itu? Rasanya akan lega sekali. Persis kalau konstipasi itu akhirnya berhasil diatasi.

Saya kira, mungkin memang lebih baik begitu adanya. Kalau hidup terlalu lancar, kita hanya akan menjadi orang manja yang tak pernah merasakan nikmatnya berjuang. Tapi jika hidup kita normal atau cenderung berat, bersyukurlah. Karena hidup normal tetap butuh usaha, apalagi hidup berat yang butuh kerja sangat keras. Dengan usaha itu, kesuksesan akan terasa lebih nikmat. Maka syukurilah hidupmu, walau seberat apapun itu.

Terima kasih Ya Allah telah mengingatkan saya dengan memberi hadiah kelancaran di ulang tahun saya tahun ini.



No comments:

Post a Comment