Follow Us @soratemplates

Monday, 18 July 2011

Manusia Berkehendak, Allah Menentukan

Manusia memang bisa berkehendak, tapi Allah lah yang menentukan. Prinsip itu sepertinya harus dipegang teguh oleh semua orang. Mengapa? Karena jika kita memaksakan, bisa jadi kita tak hanya merugikan diri kita, tapi lebih parahnya kita justru menolak takdir yang sudah Allah berikan pada kita. Tapi, benarkah hanya sesederhana itu?

Ambil sebuah contoh, ketika manusia sedang menghadapi saat-saat kritis. Tubuhnya sekarat, peralatan dokter tak bisa lagi membantu. Tinggal malaikat Izrail saja yang berproses. Dalam keadaan ini, manusia berkehendak tapi Allah lah yang menentukan bisa diartikan tepat. Jikalau tim dokter sudah berupaya semaksimal mungkin, memang demikianlah adanya. Tinggal menunggu ketentuan Allah, yang barangkali memang tidak sesuai dengan kehendak keluarga. Kalau dipaksakan, justru kerugian yang didapat. Biaya peralatan dokter yang bertambah sedangkan hasilnya sia-sia, atau justru menambah derita tubuh pasiennya. Jika dipaksakan pula, bisa jadi tergolong pada kasus kedua, menyalahi takdir yang telah Allah tentukan. Maka di sini, pasrah dan mengikuti takdir benar adanya.

Tapi jika dilihat dalam kasus lain, manusia memang bisa berkehendak tapi Allah lah yang menentukan bisa menjadi sebuah salah paham. Ketika akan menghadapi ujian misalnya. Kita sudah mencoba untuk belajar lalu mendapatkan hasil buruk. Wajar jika kita berujar “Yah, kita cuma bisa berkehandak dapat nilai bagus, tapi bagaimana pun Allah yang menentukan kalau kita cukup segini saja nilainya.” Sampai di sini masih bagus karena dia tetap mencoba mensyukuri apa yang telah Allah berikan. Tapi jika berhenti sampai di situ saja, di sini lah muncul kesalahpahaman itu. Mungkin saja orang lantas pesimis, “Ya sudahlah. Toh, Allah memberikan ketentuan seperti ini. Mau bagaimana lagi?”

Tentu bukan sikap itu yang diinginkan muncul dari kalimat manusia memang bisa berkehendak tapi Allah yang menentukan. Kalimat tersebut memang mengajarkan sikap tawakal. Tapi tawakal bukan berarti pasrah, tanpa berusaha untuk mengubah keadaan yang sekiranya bisa diubah. Saya katakan di sini, keadaan yang sekiranya bisa diubah. Tentu di sini bukan berarti menabrak takdir yang bersifat mutlak seperti hidup dan mati, melainkan suatu keadaan lain yang kita tahu bahwa tanpa usaha tak akan pernah kita mencicipi rasanya. Rasa menjadi kaya, tak mungkin tercicipi jika hanya berpangku tangan di rumah saja. Rasa menjadi pandai, tak mungkin tercicipi jika seharian hanya tidur bermalas-malasan. Bukankah wajar jika kita berkehendak untuk kaya atau pandai? Tapi wajar pula jika Allah menentukan bahwa kita tidak kaya atau pandai karena kita tak berbuat apa-apa.

Kalimat ini bukanlah sebuah alasan. Alasan sebagai pembenaran atas segala kemalasan. Karena malas untuk bekerja, lantas cukup bersyukur dengan mengucap kalimat ini. “Kalau Allah memang menentukan aku miskin, ya tidak apa-apa.” Hm, kalau dari kalimat itu, jangan-jangan memang dia berkehendak untuk tidak apa-apa miskin, sehingga dia bebas bermalas-malasan.

Perkaranya di sini adalah kehendak. Jika dia memang betul-betul berkehendak, maka dia akan berusaha penuh untuk mewujudkan kehendaknya. Di sinilah muncul usaha atau ikhtiar. Ketika ikhtiar sudah dijalankan, wajar kiranya dia tawakal. Tapi dengan usaha penuh yang telah dilakukan, ketentuan Allah pun bisa jadi berubah dari semula. Mengapa? Karena Allah melihat proses. Allah pasti melihat segala upaya yang kita lakukan. Bisa jadi dengan usaha kita maka Allah menentukan yang lebih baik dari semula. Tapi jika kita sama sekali tak berusaha, jangan salahkan Allah yang menentukan jika kita hanya bisa berkehendak saja tanpa melakukan apa-apa.

Maka, kuatkanlah kehendakmu, usaha tanpa kenal jemu, dan tawakal atas ketentuan Allah padamu.



No comments:

Post a Comment