Follow Us @soratemplates

Friday 17 December 2021

Hanya Pembantu




"Rewangku pulang". Rangkaian kata itu terngiang sejak beberapa hari yang lalu. Dia terlontar lewat direct message instagram dari seorang teman. Awalnya saya sekedar bersimpati, memberikan komentar sekenanya. Tapi kemudian saya justru berkontemplasi.


Bagaimana kiranya jika saya berada pada posisinya? Ketika rewang alias khadimat tiba-tiba minta pulang dan tak ada persiapan untuk mencari orang lain yang akan menggantikan.


Pun seorang teman beberapa bulan lalu juga mengalami kasus serupa. Waktu itu dia meminta tolong untuk mencarikan rewang. Bahkan permintaan tolongnya itu sudah dia sebar ke siapa saja, demi bisa segera mendapat asisten rumah tangga. Yah, tidak bisa dipungkiri kalau menemukan asisten yang awet memang tidak mudah lagi.


Saya jadi teringat dengan pengalaman saya sendiri. Beberapa waktu lalu, saya justru terpikir untuk mencari khadimat. Setelah enam tahun tidak punya asisten, rasanya tahun depan ingin mencari seseorang yang bisa bantu-bantu di rumah. Usulan itu saya sampaikan ke suami, dan langsung ditolak mentah-mentah oleh ibu mertua.


Kami punya sudut pandang berbeda. Bagi saya, kasihan kalau urusan rumah masih harus dikerjakan ibu. Biar bisa istirahat, biar tidak capek, dan yang pasti semua akan menjadi terkendali karena punya fokus pekerjaan sendiri-sendiri. Setidaknya itu yang saya pikirkan.


Namun, berbeda dengan ibu. Bagi ibu justru akan lebih merepotkan. Menjaga agar rewang bisa betah itu membutuhkan effort tersendiri. Tidak gampang mencari lalu mendidik asisten rumah tangga agar awet dalam bekerja. Alih-alih tidak cocok dan justru makan hati, lebih baik dikerjakan sendiri.


Awalnya seperti agak terasa berat, tapi saya kemudian justru teringat kata-kata bapak saat saya masih kecil dulu. Waktu itu, di rumah sedang ada acara. Entahlah saya agak lupa saking seringnya ada acara di rumah, entah pengajian, entah arisan RT, entah arisan RW. Sering. Karena diadakan di malam hari, kadang saya hanya bersembunyi di dalam kamar dengan dalih belajar atau mengerjakan tugas. Tapi di suatu waktu, entah mungkin karena umur saya sudah bukan anak-anak lagi, plus di dapur memang sedang ada kehebohan sendiri, besoknya bapak menegur saya.


"Mbak X itu statusnya di rumah sebagai pembantu"


Ups, ini bukan dalam konteks merendahkan statusnya. Lanjutan kalimat bapak berikutnya justru yang menjadi poin utama.


"Yang namanya pembantu, berarti tugasnya hanya membantu. Artinya, dia tidak mengerjakan tugas utama, tapi dia 'membantu' mengerjakan tugas itu. Sekedar memberikan bantuan saja, bukan menggantikan tugas itu sepenuhnya."


Maksud bapak waktu itu hanyalah agar saya pun ikut menyiapkan keperluan pertemuan malam sebelumnya. Tapi konsep bantu-dibantu itu cukup menarik dan membekas pada saya.


Jika memakai konsep bapak, berarti sebenarnya tanpa 'pembantu' pun sebuah tugas seharusnya bisa terlaksana. Kehadiran pembantu bukan untuk mengalihkan tanggung jawab tugas itu, namun sekedar 'membantu' penyelesaian tugas saja. Artinya, seandainya tidak ada yang membantu, pekerjaan juga tetap akan selesai kan?


Kalau dipikir-pikir, enam tahun ini nyatanya bisa terlewati juga. Mengurusi anak sendiri (dengan ibu mertua tentunya), masih sempat bekerja, dan melakukan aktivitas lainnya seolah menjadi bukti bahwa nyatanya bisa kok seandainya tidak ada pembantu.


Jelas tidak mudah, pun ekspektasi tidak bisa dipasang terlalu tinggi. Tapi menyesuaikan diri dan menjalani semampunya plus se-bahagia-nya menjadi standar yang perlu diatur untuk menjaga kewarasan diri.


Bukan berarti juga yang memiliki rewang adalah keluarga yang lemah, lantas tidak memperkenankan punya asisten rumah tangga. Boleh, tentu saja boleh. Bukankah zaman Rasul pun punya budak, meskipun dalam hal ini budak jelas berbeda dengan pembantu.


Apapun itu, yang terpenting adalah menemukan gaya kita sendiri. Mau dengan asisten atau tanpa asisten, monggo saja.


No comments:

Post a Comment