Follow Us @soratemplates

Saturday, 5 September 2020

Apa Kabar Diri?




Sudah tiga hari saya membicarakan komunikasi produktif. Tampaknya biasa-biasa saja, lancar-lancar saja dengan objek mereka anak-anak kecil saya. Tapi, ada yang mengganjal di hati ini.

Sebenarnya 24 jam saya tidak selamanya mulus ternyata. Apa yang saya tulis hanyalah secuil moment di hari itu, dengan teori komunikasi pruduktif yang saya punya. Tapi ribuan detik lainnya, emosi saya pun kadang naik turun juga. Tidak sepenuhnya pada mereka dua makhluk kecil, kadang gejolak rasa itu justru muncul karena masalah dalam pribadi saya.

Lalu saya teringat tentang self love yang disampaikan Kak Analisa di Analisa Channel. Ah, iya. Saya memang berusaha mencintai dua anak saya dengan berkomunikasi sebaik-baiknya. Tapi, agaknya saya lagi-lagi terlupa untuk berkomunikasi dengan diri saya sendiri, untuk menyapa apa kabar hati hari ini.

Sebenarnya ini termasuk dalam teori komunikasi produktif juga. Tentang bagaimana sebuah teko akan menuangkan minuman yang sedap kalau diisi sesuatu yang nikmat. Pun diri ini, bagaimana akan bisa berkomunikasi dengan baik kalau input yang masuk hanyalah apa-apa yang baik.

Sayangnya, hidup di dunia ini dihadapkan pada situasi yang sangat heterogen. Orang yang berpapasan dengan kita saja bisa membuat mood kita berantakan. Pasien yang tiba-tiba datang dengan segudang complain misalnya, sedikit banyak kadang membuat mood berubah juga. Orang di jalan yang ngebut dan memotong jalan kita misalnya, boleh jadi terbersit rasa senewen juga.

Aih, rapuh sekali ternyata pertahanan diri ini ketika masih terbawa situasi. Suatu waktu saya pernah melihat video singkat tentang teori truk sampah. Isinya tentang bahwa semua orang di dunia ini membawa sampah atau masalah hidupnya. Sampah-sampah itu menumpuk dalam dirinya, dan karena sudah overload akhirnya meluap begitu saja, mengenai orang lain dan menyebabkan orang lain itu penuh dengan sampah pula.

PR-nya adalah apakah kita mau menjadi truk sampah, yang mengambil sampah-sampah berceceran di mana-mana hingga tanpa sadar diri kita sendiri menjadi penuh sampah? Di sinilah tantangannya. Bagaimana kita bisa tetap bersikap cuek dan tersenyum melihat mereka menumpahkan masalahnya. Tapi tetap menjaga diri kita untuk tidak terpengaruh dan tetap bahagia menjalani hidup kita sendiri. Tidak menjadikan masalah itu menjadi masalah diri kita. Tidak menjadikan orang-orang itu memberikan pengaruh yang merusak suasana hati kita.

Berat? Pasti. Tapi saya membayangkan, betapa damainya hidup ini jika kita merdeka dari truk sampah. Ini tantangan. Semoga saja bisa, sebagai wujud self love pada diri saya sendiri, dan sebagai wujud komunikasi produktif pada segumpal daging yang rapuh di dalam diri. Bismillah...

No comments:

Post a Comment