Follow Us @soratemplates

Tuesday 8 September 2020

Maaf dengan Cinta




Seperti biasa, sore ini suami menemani saya untuk praktik sore. Seperti biasa pula, saya selalu membawakan baju ganti dan bekal untuk camilan di tempat praktik. Kebetulan baju ganti yang saya bawakan adalah baju koko warna putih, sekalian buat ke masjid. Camilan sore ini ada roti, tahu bacem, dan pisang. Waktu akan berangkat, bumer menambahi, "Jenang sumsumnya dibawa sekalian." Beuh..., banyak. Semua saya  jadikan satu dan dimasukkan di tas jinjing, seperti biasa.

Sejak semula saya sudah was-was. Duh, ini nanti jenang sumsumnya tumpah ga ya. Bakal numpahin baju ga ya. Maklum, jenangnya cuma dibungkus kertas, khawatir aja kalau rembes dan mengenai baju.

Begitu sampai di tempat praktik, saya keluarkan satu persatu. Yang pertama saya cek adalah jenang sumsum. Kering. Yeiy, aman. Alhamdulillah, berarti tidak tumpah. Tapi ...., ketika semua barang sudah dikeluarkan dari tas...., oh my god, ternyata ujung pisang yang sudah sangat matang itu menempel di baju. Dan .... menyisakan noda. Oh, no!

Saya buru-buru mengelapnya. Tidak bisa! Nodanya terlanjur nempel. Mana baju kokonya dalam kondisi terlipat, jadi ujung lipatan pun justru membuat noda itu ada di beberapa titik.

Suami yang melihat itu langsung berkomentar, "Ya udah, berarti ga ke masjid."

Saya tau itu bukan ya udah pemakluman, tapi ya udah karena kesal apa boleh buat. Suami tipikal yang tidak mau ke masjid cuma pakai kaos. Jadi kalau tidak ada baju koko, masa mau ke masjid pakai kaos harian.

Tahu reaksi suami begitu, saya buru-buru mengambil tisu dan air. Saya lap, tetap saja belum berkurang. Tak kurang akal, saya ambil sedikit sabun cuci tangan di wastafel, saya berikan di bagian noda dan saya kucek sedikit. Agak berkurang karena basah tepatnya, tapi suami sudah tidak menggubris.

Ya sudah, biarkan saja. Begitu adzan magrib tiba, saya lihat lagi baju koko yang saya biarkan tergeletak di tempat tidur.

"Ga telalu kelihatan kok," kata saya.
Suami pun melirik, "Ya udah ga papa." Akhirnya dipakai juga baju kokonya.

Then? Sudah? 
Belum...
Saya teringat poin komunikasi produkif tentang mengutamakan bahasa cinta. Sepertinya, ini bisa saya coba kali ini. Bagi suami, bahasa cinta yang dominan adalah sentuhan fisik. Jadi, selepas magrib saya penuhi dulu tangki cintanya dengan memberikan bahasa cinta. Itung-itung sebagai wujud permohonan maaf saya.

Alhamdulillah...., luluh. Haha...
Memang sepele sih sebenarnya. Tapi ketika ada rasa kecewa, tentu tidak nyaman di hati kan. Dengan saling mengisi tangki cinta, komunikasi pun menjadi cair dan hangat kembali.




No comments:

Post a Comment