Pertanyaan di atas saya lontarkan pada ibu saya pagi ini. Ada apa gerangan? Apakah saya sedang membangkang? Apakah saya bertengkar hebat dengan ibu saya? Ataukah saya sedang merajuk dan mengancam demi mendapatkan sesuatu? Tidak. Saya berkata demikian karena saya mulai merasakan ketidakproduktivan saya di rumah.
Suatu poin kuat dari ucapan saya di
atas adalah ketika produktifitas mulai terkotakkan oleh bangunan rumah. Definisi
rumah mulai mengusik. Apakah rumah sebatas bangunan dengan tembok, pintu, dan jendela
yang ditinggali sekelompok orang dengan ikatan darah? Ataukah rumah memiliki fungsi
sosial lainnya.
Rumah memiliki pengertian berbeda
sesuai dengan fungsinya. Ketika rumah dijadikan sebagai tempat untuk
beristirahat dari aktivitas, tak salah jika rumah disebut sebagai rumah
peristirahatan. Bukan tak mungkin karena banyaknya aktivitas masing-masing
anggota rumah tersebut, rumah hanyalah dijadikan sebagai persinggahan. Maka tak
ubahnya rumah pun adalah rumah singgah. Demikian seterusnya hingga berbagai
fungsi menciptakan definisi berbeda akan bangunan yang disebut rumah.
Salah satu fungsi rumah menurut
saya adalah rumah sebagai tempat untuk berproduksi. Rumah adalah pijakan
pertama untuk menciptakan sebuah karya. Rumah adalah ajang untuk membina
produktivitas semua anggotanya. Produktivitas di sini diciptakan dengan tujuan
bermacam-macam pula. Mulai dari untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup hingga
sekedar meningkatkan aktualisasi diri.
Maka saya terpikirkan untuk
minggat dari rumah ketika fungsi rumah yang saya harapkan mulai tidak saya
temui. Beberapa hari terakhir, rumah hanyalah sebagai tempat perisitirahatan.
Begitu memasuki rumah, tempat tidur beserta accessories bantal dan guling
melambai-lambai dan siap membuai. Produktivitas pun menjadi keinginan sulit
untuk dicapai. Karya justru terbentuk ketika berada di luar tembok rumah. Maka
tidak salah jika terpikirkan ide konyol untuk minggat dari rumah.
Rumah sebagai tempat untuk
tinggal tak jauh berbeda dengan fungsi tanah air sebagai tempat untuk hidup
seluruh warga negaranya. Tanah air memiliki fungsi yang berbeda-beda pula
tergantung sudut pandang warganya. Tanah air dapat dijadikan sekedar tempat
untuk lahir, tempat untuk hidup, dan seterusnya. Tetapi bisa juga tanah air
dijadikan sebagai wadah untuk menciptakan produktivitas.
Jika memang tanah air memiliki
fungsi sebagai wahana untuk berproduksi menciptakan karya, maka bukan hal yang
mustahil pula jika pemikiran minggat terlontar ketika keinginan tersebut tidak
didapatkan lagi di tanah air sendiri. Produktivitas barangkali difasilitasi
oleh tanah air yang lain sehingga warga negara memilih minggat demi menjaga
produktivitas.
Seperti halnya dalam rumah saya.
Ketika ayah, ibu, dan saya memutuskan untuk minggat dalam arti menemukan
produktivitas di luar batas tembok rumah, yang tersisa di dalam rumah hanyalah
adik dan seorang pembantu. Adik yang masih duduk di bangku sekolah menengah
atas dapat dikatakan sebagai orang yang belum sepenuhnya terdidik sehingga
belum mampu menciptakan produktivitas secara penuh. Demikian pula pembantu yang
fungsinya hanya membantu rutinitas yang ada, tanpa menciptakan sesuatu terlebih
membuat karya baru. Praktis, ketika orang terdidik seperti ayah dan ibu yang
sarjana dan saya yang menempuh perguruan tinggi pergi mencari produktivitas
lain, rumah menjadi wadah yang semakin jauh dengan harapan produktivitas.
Demikian pula dengan tanah air
Indonesia. Ketika orang terdidik terfasilitasi di negara lain, satu demi satu
warga negara memilih pergi. Yang tertinggal di Indonesia hanyalah orang-orang
tidak terdidik atau belum sepenuhnya terdidik, ditambah orang-orang pekerja
yang menyalurkan tenaga tanpa ada keinginan untuk menciptakan sebuah karya.
Produktivitas kembali menjadi barang langka. Dan fungsi tanah air sebagi
pencipta karya makin jauh untuk terlaksana.
Jika demikian yang terus terjadi,
berapa lama lagi kita akan mati? Perabot rumah tangga akan menjadi usang tanpa
terjamah karena tak ada manusia yang rutin menggunakannya. Ketika akhirnya
rusak, pilihan yang ada adalah membeli barang baru. Demikian pula di Indonesia.
Kekayaan alam akan semakin lapuk karena tak terjamah oleh kaum terdidik yang
seharusnya memiliki kemampuan akan pengelolaannya. Warga negara hanya akan
menjadi orang-orang konsumtif tanpa mampu menjadi orang produktif.
Betapa bahaya pemikiran minggat
dari diri seseorang. Betapa mengkahwatirkan jika keinginan minggat terbersit
dalam diri para terdidik. Semoga ini tidak terjadi sehingga produktivitas dapat
diciptakan di rumah sendiri. Rumah kita, tanah air Indonesia.