Follow Us @soratemplates

Friday 25 May 2012

Bagaimana Jika Saya Minggat?

08:09 4 Comments


Pertanyaan di atas saya lontarkan pada ibu saya pagi ini. Ada apa gerangan? Apakah saya sedang membangkang? Apakah saya bertengkar hebat dengan ibu saya? Ataukah saya sedang merajuk dan mengancam demi mendapatkan sesuatu? Tidak. Saya berkata demikian karena saya mulai merasakan ketidakproduktivan saya di rumah.

Suatu poin kuat dari ucapan saya di atas adalah ketika produktifitas mulai terkotakkan oleh bangunan rumah. Definisi rumah mulai mengusik. Apakah rumah sebatas bangunan dengan tembok, pintu, dan jendela yang ditinggali sekelompok orang dengan ikatan darah? Ataukah rumah memiliki fungsi sosial lainnya.

Rumah memiliki pengertian berbeda sesuai dengan fungsinya. Ketika rumah dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat dari aktivitas, tak salah jika rumah disebut sebagai rumah peristirahatan. Bukan tak mungkin karena banyaknya aktivitas masing-masing anggota rumah tersebut, rumah hanyalah dijadikan sebagai persinggahan. Maka tak ubahnya rumah pun adalah rumah singgah. Demikian seterusnya hingga berbagai fungsi menciptakan definisi berbeda akan bangunan yang disebut rumah.

Salah satu fungsi rumah menurut saya adalah rumah sebagai tempat untuk berproduksi. Rumah adalah pijakan pertama untuk menciptakan sebuah karya. Rumah adalah ajang untuk membina produktivitas semua anggotanya. Produktivitas di sini diciptakan dengan tujuan bermacam-macam pula. Mulai dari untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup hingga sekedar meningkatkan aktualisasi diri.

Maka saya terpikirkan untuk minggat dari rumah ketika fungsi rumah yang saya harapkan mulai tidak saya temui. Beberapa hari terakhir, rumah hanyalah sebagai tempat perisitirahatan. Begitu memasuki rumah, tempat tidur beserta accessories bantal dan guling melambai-lambai dan siap membuai. Produktivitas pun menjadi keinginan sulit untuk dicapai. Karya justru terbentuk ketika berada di luar tembok rumah. Maka tidak salah jika terpikirkan ide konyol untuk minggat dari rumah.

Rumah sebagai tempat untuk tinggal tak jauh berbeda dengan fungsi tanah air sebagai tempat untuk hidup seluruh warga negaranya. Tanah air memiliki fungsi yang berbeda-beda pula tergantung sudut pandang warganya. Tanah air dapat dijadikan sekedar tempat untuk lahir, tempat untuk hidup, dan seterusnya. Tetapi bisa juga tanah air dijadikan sebagai wadah untuk menciptakan produktivitas.

Jika memang tanah air memiliki fungsi sebagai wahana untuk berproduksi menciptakan karya, maka bukan hal yang mustahil pula jika pemikiran minggat terlontar ketika keinginan tersebut tidak didapatkan lagi di tanah air sendiri. Produktivitas barangkali difasilitasi oleh tanah air yang lain sehingga warga negara memilih minggat demi menjaga produktivitas.

Seperti halnya dalam rumah saya. Ketika ayah, ibu, dan saya memutuskan untuk minggat dalam arti menemukan produktivitas di luar batas tembok rumah, yang tersisa di dalam rumah hanyalah adik dan seorang pembantu. Adik yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas dapat dikatakan sebagai orang yang belum sepenuhnya terdidik sehingga belum mampu menciptakan produktivitas secara penuh. Demikian pula pembantu yang fungsinya hanya membantu rutinitas yang ada, tanpa menciptakan sesuatu terlebih membuat karya baru. Praktis, ketika orang terdidik seperti ayah dan ibu yang sarjana dan saya yang menempuh perguruan tinggi pergi mencari produktivitas lain, rumah menjadi wadah yang semakin jauh dengan harapan produktivitas.

Demikian pula dengan tanah air Indonesia. Ketika orang terdidik terfasilitasi di negara lain, satu demi satu warga negara memilih pergi. Yang tertinggal di Indonesia hanyalah orang-orang tidak terdidik atau belum sepenuhnya terdidik, ditambah orang-orang pekerja yang menyalurkan tenaga tanpa ada keinginan untuk menciptakan sebuah karya. Produktivitas kembali menjadi barang langka. Dan fungsi tanah air sebagi pencipta karya makin jauh untuk terlaksana.

Jika demikian yang terus terjadi, berapa lama lagi kita akan mati? Perabot rumah tangga akan menjadi usang tanpa terjamah karena tak ada manusia yang rutin menggunakannya. Ketika akhirnya rusak, pilihan yang ada adalah membeli barang baru. Demikian pula di Indonesia. Kekayaan alam akan semakin lapuk karena tak terjamah oleh kaum terdidik yang seharusnya memiliki kemampuan akan pengelolaannya. Warga negara hanya akan menjadi orang-orang konsumtif tanpa mampu menjadi orang produktif.

Betapa bahaya pemikiran minggat dari diri seseorang. Betapa mengkahwatirkan jika keinginan minggat terbersit dalam diri para terdidik. Semoga ini tidak terjadi sehingga produktivitas dapat diciptakan di rumah sendiri. Rumah kita, tanah air Indonesia.


Tuesday 22 May 2012

Menggerus Iri dengan Keadilan

21:52 0 Comments
(dimuat di Majalah Embun LAZiS Jawa Tengah edisi Mei 2012)


Setiap orang tua pasti menyayangi anaknya. Tetapi, apakah rasa sayang pada semua anak itu memiliki kadar yang sama?

Kadang kala orang tua terkesan lebih cenderung pada salah satu anak, tetapi lain waktu lebih berpihak pada anak yang lain. Barangkali orang tua tidak menyadari kecenderungan ini, tetapi belum tentu demikian pula pada anak. Bisa jadi anak sudah dapat merasakan kecenderungan tersebut sehingga mulai timbul benih-benih rasa iri terhadap saudaranya.

Rasa iri yang awalnya hanya benih dapat tumbuh subur jika orang tua tidak segera menyadari hal itu. Tak jarang, orang tua justru menyalahkan sang kakak yang tak mau mengerti atau menegur si adik karena tak mau menghormati. Rasa iri yang semula biasa saja tanpa sadar berubah menjadi kebencian tak terkira karena tidak ditanggapi secara benar oleh orang tua. Padahal, sumber segala petaka itu hanyalah perkara sepele, yaitu setiap orang tua haruslah memahami bagaimana caranya bersikap adil terhadap anak-anaknya.

Rasulullah SAW bersabda, “Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam pemberian, sebagaimana kalian suka berlaku adil di antara kalian dalam kebaikan dan kelembutan” (H.R. Ibnu ‘Abi ad-Dunya).

Beberapa orang tua mempunyai standar yang berbeda mengenai definisi adil pada anaknya. Sebagian orang tua menganggap adil adalah sama rata, tetapi sebagian lain beranggapan bahwa adil adalah sesuai dengan porsinya.

Rasulullah SAW sendiri memiliki pengertian yang berbeda dalam mendefinisikan kata adil. Dalam sebuah kisah, beliau menunjukkan bahwa adil adalah sama tanpa ada perbedaan. Rasulullah SAW pernah menegur seorang sahabat tatkala dia hanya mencium anak laki-lakinya saja, sementara anak perempuannya yang juga ada bersamanya tidak diberi ciuman. Saat melihat kejadian itu, beliau bersabda, “Kamu tidak bersikap adil pada keduanya!” (HR. al-Baihaqi).

Hadits tersebut secara jelas mengatakan bahwa orang tua dikatakan tidak adil jika hanya memberikan sesuatu kepada satu anak saja, sedangkan anak lain tidak mendapatkannya. Terlebih jika anak yang lain melihat sikap orang tuanya tersebut. Bukan tidak mungkin sikap tidak adil yang ditunjukkan oleh orang tuanya dapat menjadi sumber rasa iri dan dengki terhadap saudaranya.

Sikap adil orang tua terhadap anaknya dapat pula diartikan sesuai dengan porsinya. Sebagai contoh, pengertian ini berlaku dalam pembagian harta waris. Dalam hal harta waris, anak laki-laki mendapatkan pembagian yang lebih besar daripada anak perempuan. Pembagian porsi yang lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan ini menandakan bahwa Islam mensyariatkan berbuat adil sesuai dengan porsinya. Anak laki-laki masih memiliki tanggungan untuk menghidupi anak dan istrinya, sedangkan anak perempuan tidak memiliki kewajiban untuk itu. Terlebih anak perempuan tersebut juga masih menjadi tanggungan dari suaminya. Dengan demikian, pembagian ini tetap dikatakan adil karena tepat sesuai dengan porsinya.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sikap orang tua yang mencoba untuk bersikap adil tetap saja dapat menimbulkan rasa iri pada anak-anak. Untuk menyikapi hal tersebut, orang tua perlu menanamkan rasa kebersamaan dalam diri anak-anak. Sejak dini orang tua harus membiasakan sikap agar adik menghormati kakaknya dan kakak menyayangi adiknya. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang muda” (HR Imam Ahmad dan ath-Thabrani).

Hadits di atas menunjukkan adanya sikap yang berimbang antara kakak dan adik. Ini menjadi tugas dan kewajiban orang tua untuk mengajarkan dan menanamkannya sejak kecil. Tentunya orang tua tidak ingin anaknya tidak menjadi golongan Rasulullah SAW. Apalagi jika itu terjadi karena orang tua tidak berbuat adil sehingga anak tidak saling menghormati dan menyayangi.

Maka, mari berbuat adil. Orang tua bersikap adil pada anak-anaknya tepat sesuai dengan kondisinya. Orang tua memberikan contoh agar kakak bersikap adil pada adiknya dengan mengajarkan bagaimana menyayangi yang kecil. Orang tua juga memberikan contoh agar adik bersikap adil pada kakaknya dengan mengajarkan bagaimana menghormati yang lebih tua. Karena Allah SWT memberikan hadiah istimewa bagi orang-orang yang bersikap adil. Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang yang bersikap adil akan ditempatkan di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya” (HR Muslim). Subhanallah….