Empati
Avi Ramadhani
23:00
0 Comments
Kemarin saat sedang jaga, seorang residen menunjukkan
handphonenya kepada saya dan teman saya, “Baca SMS ini dek”. Kurang lebih isi
SMS-nya begini, “Dok, saya A, anak dari Bapak B. Bapak sudah meninggal dok,
setelah dirawat dokter sejak 1,5 bulan yang lalu”. Tak berapa lama kemudian ada
SMS masuk lagi, “Sebelum meninggal bapak berpesan untuk mengucapkan terima
kasih banyak pada dokter.”
Bermula dari SMS itulah, residen itupun bertukar kisah dan
memberikan petuah.
“Dulu saya punya pasien dek. Dia banting tulang untuk
membiayai tiga adiknya. Sayangnya setelah menikah, adik kedua dan ketiga tidak
peduli lagi padanya. Selama dirawat di RS, dia sendirian. Barulah selang
beberapa lama dia dirawat adik keempat yang kerja di Jakarta. Bahkan karena
hanya ada adik keempat ini yang bisa menjaga pasien, dia sampai-sampai diancam
PHK.”
Lalu residen itu bercerita lagi, “Kamu tahu dek pasien yang
kemarin kita periksa, dia juga kasihan sekali. Suaminya bercerita kalau dia
sudah tidak punya apa-apa lagi karena uangnya habis untuk berobat ini itu.
Bahkan suaminya itu ga pernah makan sehari-hari karena tidak ada uang. Kami (residen)
yang biasanya sukarela membelikan nasi bungkus setiap pagi, setidaknya biar
suaminya bisa makan.”
Lantas residen itu pun berkata, “Jadi dokter harus memiliki
empati dek. Kenali pasien dan keluarganya. Sekedar empati saja, tidak perlu
sampai simpati. Kamu tahu rahasia suksesnya dr.A? Dia menyediakan satu no HP
yang siap sedia dihubungi oleh pasien dan keluarganya. Kamu tahu kenapa dr.B
pasiennya banyak? Dia kenal dan hafal dengan keluarga pasien dan tidak segan
menyapa dan menanyakan keadannya. Empati dek, salah satu kunci sukses seorang
dokter.”
Ya, saya mengakuinya. Saya kenal dr.A, bahkan nenek saya
menjadi pasien dokter itu. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana
cara dr.A memperlakukan pasiennya. Nenek saya yang sudah sepuh dan cenderung ‘rewel’
gonta-ganti dokter, nyatanya luluh dan cocok karena perlakuan dr.A yang
menunjukkan empatinya. Sebagai pasien (dalam hal ini keluarga pasien), saya pun
mengakui bahwa saya suka jika diberi empati oleh sang dokter.
Dari sisi koas, saya pun mengakuinya. Pernah suatu ketika
saya mendapati mbak-mbak muda yang terkena HIV. Barangkali karena dia masih
seumuran atau malah lebih muda dari saya lantas dia enjoy bercerita selagi saya
mengecek tensi dan lain sebagainya. Dari situlah muncul rasa empati, hingga
akhirnya saya pindah stase dan kebetulan mengunjungi bangsal kamar itu, pasien
itu menyapa saya, “Mbak, kok ga pernah meriksa saya lagi? Saya udah ga demam
lho, mbak.”
Asli, saat itu saya melongo. Maklum, itu awal sekali saya
masuk koas dan mungkin pertama kalinya saya ‘dekat’ dengan pasien dan
keluarganya. Dan rasanya ternyata menyenangkan. Beberapa teman dekat saya yang
kadang saling bertukar cerita tentang pasien pun juga mengakui bahwa empati itu
menyenangkan.
Ya, empati, bagaimana kita bisa mendalami perasaan orang
lain tanpa kita perlu terlarut di dalamnya. Seorang dokter jelas harus memiliki
empati karena setiap keluhan pasien adalah apa yang dirasakan pasien. Belum
tentu dokter merasakan nyeri kepala seperti pasien. Belum tentu dokter
terkendala dana seperti keluarga pasien. Jika dokter tidak memiliki empati, dia
hanya akan berpikir ‘ah, yang penting aku udah ngasih obat, terserah kamu mau
bayar gimana, terserah nanti keluhanmu berkurang atau tidak’. Hm, tentu berbeda
dengan dokter yang memiliki empati, yang mencoba melihat akar permasalahan dari
sudut pandang orang lain terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa menentukan sikap
yang tepat.
Memang empati itu gampang-gampang susah dan itulah mengapa
ada orang yang sukses karena memiliki modal lebih berupa empati. Tapi sekalipun
susah, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Bahkan empati bukan masalah sekedar
bisa atau tidak bisa, melainkan harus bisa. Mengapa? Karena dokter berhadapan
dengan pasien yang seorang manusia dengan perasaan pula, bukan sekedar robot
yang bisa diberi perlakuan sekenanya saja.