Follow Us @soratemplates

Saturday, 26 October 2013

Empati

23:00 0 Comments

Kemarin saat sedang jaga, seorang residen menunjukkan handphonenya kepada saya dan teman saya, “Baca SMS ini dek”. Kurang lebih isi SMS-nya begini, “Dok, saya A, anak dari Bapak B. Bapak sudah meninggal dok, setelah dirawat dokter sejak 1,5 bulan yang lalu”. Tak berapa lama kemudian ada SMS masuk lagi, “Sebelum meninggal bapak berpesan untuk mengucapkan terima kasih banyak pada dokter.”

Bermula dari SMS itulah, residen itupun bertukar kisah dan memberikan petuah.

“Dulu saya punya pasien dek. Dia banting tulang untuk membiayai tiga adiknya. Sayangnya setelah menikah, adik kedua dan ketiga tidak peduli lagi padanya. Selama dirawat di RS, dia sendirian. Barulah selang beberapa lama dia dirawat adik keempat yang kerja di Jakarta. Bahkan karena hanya ada adik keempat ini yang bisa menjaga pasien, dia sampai-sampai diancam PHK.”

Lalu residen itu bercerita lagi, “Kamu tahu dek pasien yang kemarin kita periksa, dia juga kasihan sekali. Suaminya bercerita kalau dia sudah tidak punya apa-apa lagi karena uangnya habis untuk berobat ini itu. Bahkan suaminya itu ga pernah makan sehari-hari karena tidak ada uang. Kami (residen) yang biasanya sukarela membelikan nasi bungkus setiap pagi, setidaknya biar suaminya bisa makan.”

Lantas residen itu pun berkata, “Jadi dokter harus memiliki empati dek. Kenali pasien dan keluarganya. Sekedar empati saja, tidak perlu sampai simpati. Kamu tahu rahasia suksesnya dr.A? Dia menyediakan satu no HP yang siap sedia dihubungi oleh pasien dan keluarganya. Kamu tahu kenapa dr.B pasiennya banyak? Dia kenal dan hafal dengan keluarga pasien dan tidak segan menyapa dan menanyakan keadannya. Empati dek, salah satu kunci sukses seorang dokter.”

Ya, saya mengakuinya. Saya kenal dr.A, bahkan nenek saya menjadi pasien dokter itu. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana cara dr.A memperlakukan pasiennya. Nenek saya yang sudah sepuh dan cenderung ‘rewel’ gonta-ganti dokter, nyatanya luluh dan cocok karena perlakuan dr.A yang menunjukkan empatinya. Sebagai pasien (dalam hal ini keluarga pasien), saya pun mengakui bahwa saya suka jika diberi empati oleh sang dokter.

Dari sisi koas, saya pun mengakuinya. Pernah suatu ketika saya mendapati mbak-mbak muda yang terkena HIV. Barangkali karena dia masih seumuran atau malah lebih muda dari saya lantas dia enjoy bercerita selagi saya mengecek tensi dan lain sebagainya. Dari situlah muncul rasa empati, hingga akhirnya saya pindah stase dan kebetulan mengunjungi bangsal kamar itu, pasien itu menyapa saya, “Mbak, kok ga pernah meriksa saya lagi? Saya udah ga demam lho, mbak.”

Asli, saat itu saya melongo. Maklum, itu awal sekali saya masuk koas dan mungkin pertama kalinya saya ‘dekat’ dengan pasien dan keluarganya. Dan rasanya ternyata menyenangkan. Beberapa teman dekat saya yang kadang saling bertukar cerita tentang pasien pun juga mengakui bahwa empati itu menyenangkan.

Ya, empati, bagaimana kita bisa mendalami perasaan orang lain tanpa kita perlu terlarut di dalamnya. Seorang dokter jelas harus memiliki empati karena setiap keluhan pasien adalah apa yang dirasakan pasien. Belum tentu dokter merasakan nyeri kepala seperti pasien. Belum tentu dokter terkendala dana seperti keluarga pasien. Jika dokter tidak memiliki empati, dia hanya akan berpikir ‘ah, yang penting aku udah ngasih obat, terserah kamu mau bayar gimana, terserah nanti keluhanmu berkurang atau tidak’. Hm, tentu berbeda dengan dokter yang memiliki empati, yang mencoba melihat akar permasalahan dari sudut pandang orang lain terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa menentukan sikap yang tepat.

Memang empati itu gampang-gampang susah dan itulah mengapa ada orang yang sukses karena memiliki modal lebih berupa empati. Tapi sekalipun susah, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Bahkan empati bukan masalah sekedar bisa atau tidak bisa, melainkan harus bisa. Mengapa? Karena dokter berhadapan dengan pasien yang seorang manusia dengan perasaan pula, bukan sekedar robot yang bisa diberi perlakuan sekenanya saja.



Monday, 7 October 2013

Pato

09:52 0 Comments
Ada sebuah istilah di dunia perkoasan yang sudah tidak asing lagi. Istilah yang saya maksud adalah pato, atau kepanjangannya adalah patologis (berpenyakit). Seorang teman yang saat itu masih polos berkata, "Aku mau belajar, aku takut dicap pato". Oh, tidak. Pato bukanlah seorang koas yang bodoh tidak tau apa-apa, tetapi pato adalah orang yang menyebalkan dan merugikan orang lain.

Kalau dilihat dari definisi di atas, pato itu tidak ada standar khusus. Orang bisa sebal pada siapa saja, orang juga bisa saja merasa dirugikan oleh siapa saja. Cuma, teman saya pernah berkata, "Kalau yang itu namanya pato relatif. Meskipun tidak ada standarnya, jika semua orang mengatakan orang itu pato, berarti dia memang sudah pato universal". Beberapa kriteria pato yang diakui secara banyak orang pula adalah ketika orang itu seenaknya sendiri dan merugikan orang lain.

Sebagai sesama koas, orang punya tanggung jawab yang sama, tugas yang sama, dan tuntutan yang sama. Artinya, ketika lelah, seorang koas akan merasakan lelah yang sama. Jika dalam kondisi lelah itu ternyata ada koas yang tidak mau lelah (dalam hal ini seenaknya sendiri) lantas berakibat merugikan orang lain, di sinilah kepatoan itu muncul.

Sebagai koas yang pato, kemungkinan besar dia tidak menyadari. Lha wong dia itu berpenyakit, wong dia mau enak sendiri, mana mau dia peduli sedang merugikan orang lain atau tidak. Yang penting dia bisa istirahat, yang penting dia tidak repot, atau yang penting nilainya paling bagus. Menyebalkan? Iya. Tapi, mau apa?

Kata seorang residen, "Kalau kamu punya teman pato dan kamu marah, kamu rugi tiga hal. Yang pertama, kamu tambah capek karena marah. Kedua, orang pato itu punya temen banyak. Yang ketiga, pekerjaan tetap ga selesai".

Sebenarnya jika kita berada di pihak yang bukan pato, semua tergantung pada diri kita sendiri. Apakah kita mau sebal dan apakah kita mau dirugikan atau dianggap dirugikan oleh orang lain. Bisa jadi kita mencoba ikhlas yang akhirnya kita tidak punya penyakit hati untuk uring-uringan dengan teman kita sendiri. Bisa juga karena kita ikhlas lantas kita tak masalah dan tetap bahagia ketika akhirnya mengerjakan tanggung jawab itu sendiri. Prinsipnya ikhlas, maka tak akan ada kerugian yang merasa kita alami.

Cuma, sampai kapan? Bagi yang nonpato, jelas ikhlas sampai mati. Bagi yang pato? Hm, kembali ke masalah sebelumnya, karena orang itu pato maka ia tak sadar bahwa dia sudah pato dan merugikan orang lain. Bahkan saya sendiri pun tidak tahu apakah saya ini juga pato atau tidak.

So? Tak peduli predikat apa yang kita miliki, maukah seandainya semua orang melihat semua sisi? 

Bagaimana jika semua orang belajar ikhlas dengan tanggung jawab dan tuntutannya? Artinya tidak akan ada orang yang seenaknya sendiri karena dia ikhlas ketika tau bahwa tugas koas memang demikian adanya. Dengan tau porsi masing-masing, maka tak akan ada yang benar-benar terdzalimi atau merasa didzalimi.

Bagaimana juga seandainya semua orang mau saling membantu dan tidak merugikan orang lain? Bukankah orang yang baik adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain? Bukankah sebaik-baik orang adalah yang tidak mendapat kejelekan dari diri kita? Betapa bahayanya jika ternyata kita menyakiti hati orang lain tanpa kita sadari. Sudah kita tak sadar, tak tahu jika seharusnya perlu minta maaf, dan ujung-ujungnya terakumulasi hingga ke akhirat nanti. Kenikmatan diri sendiri yang sudah diperjuangkan di dunia ujung-ujungnya tersedot juga karena perbuatan dzalim yang tak sudi dimaafkan.

Andai semua orang belajar ikhlas dan mau saling memberi manfaat, alangkah indah kehidupan koas pada khususnya dan kehidupan umat manusia pada umumnya. Barangkali...