Ada sebuah istilah di dunia perkoasan yang sudah tidak asing lagi. Istilah yang saya maksud adalah pato, atau kepanjangannya adalah patologis (berpenyakit). Seorang teman yang saat itu masih polos berkata, "Aku mau belajar, aku takut dicap pato". Oh, tidak. Pato bukanlah seorang koas yang bodoh tidak tau apa-apa, tetapi pato adalah orang yang menyebalkan dan merugikan orang lain.
Kalau dilihat dari definisi di atas, pato itu tidak ada standar khusus. Orang bisa sebal pada siapa saja, orang juga bisa saja merasa dirugikan oleh siapa saja. Cuma, teman saya pernah berkata, "Kalau yang itu namanya pato relatif. Meskipun tidak ada standarnya, jika semua orang mengatakan orang itu pato, berarti dia memang sudah pato universal". Beberapa kriteria pato yang diakui secara banyak orang pula adalah ketika orang itu seenaknya sendiri dan merugikan orang lain.
Sebagai sesama koas, orang punya tanggung jawab yang sama, tugas yang sama, dan tuntutan yang sama. Artinya, ketika lelah, seorang koas akan merasakan lelah yang sama. Jika dalam kondisi lelah itu ternyata ada koas yang tidak mau lelah (dalam hal ini seenaknya sendiri) lantas berakibat merugikan orang lain, di sinilah kepatoan itu muncul.
Sebagai koas yang pato, kemungkinan besar dia tidak menyadari. Lha wong dia itu berpenyakit, wong dia mau enak sendiri, mana mau dia peduli sedang merugikan orang lain atau tidak. Yang penting dia bisa istirahat, yang penting dia tidak repot, atau yang penting nilainya paling bagus. Menyebalkan? Iya. Tapi, mau apa?
Kata seorang residen, "Kalau kamu punya teman pato dan kamu marah, kamu rugi tiga hal. Yang pertama, kamu tambah capek karena marah. Kedua, orang pato itu punya temen banyak. Yang ketiga, pekerjaan tetap ga selesai".
Sebenarnya jika kita berada di pihak yang bukan pato, semua tergantung pada diri kita sendiri. Apakah kita mau sebal dan apakah kita mau dirugikan atau dianggap dirugikan oleh orang lain. Bisa jadi kita mencoba ikhlas yang akhirnya kita tidak punya penyakit hati untuk uring-uringan dengan teman kita sendiri. Bisa juga karena kita ikhlas lantas kita tak masalah dan tetap bahagia ketika akhirnya mengerjakan tanggung jawab itu sendiri. Prinsipnya ikhlas, maka tak akan ada kerugian yang merasa kita alami.
Cuma, sampai kapan? Bagi yang nonpato, jelas ikhlas sampai mati. Bagi yang pato? Hm, kembali ke masalah sebelumnya, karena orang itu pato maka ia tak sadar bahwa dia sudah pato dan merugikan orang lain. Bahkan saya sendiri pun tidak tahu apakah saya ini juga pato atau tidak.
So? Tak peduli predikat apa yang kita miliki, maukah seandainya semua orang melihat semua sisi?
Bagaimana jika semua orang belajar ikhlas dengan tanggung jawab dan tuntutannya? Artinya tidak akan ada orang yang seenaknya sendiri karena dia ikhlas ketika tau bahwa tugas koas memang demikian adanya. Dengan tau porsi masing-masing, maka tak akan ada yang benar-benar terdzalimi atau merasa didzalimi.
Bagaimana juga seandainya semua orang mau saling membantu dan tidak merugikan orang lain? Bukankah orang yang baik adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain? Bukankah sebaik-baik orang adalah yang tidak mendapat kejelekan dari diri kita? Betapa bahayanya jika ternyata kita menyakiti hati orang lain tanpa kita sadari. Sudah kita tak sadar, tak tahu jika seharusnya perlu minta maaf, dan ujung-ujungnya terakumulasi hingga ke akhirat nanti. Kenikmatan diri sendiri yang sudah diperjuangkan di dunia ujung-ujungnya tersedot juga karena perbuatan dzalim yang tak sudi dimaafkan.
Andai semua orang belajar ikhlas dan mau saling memberi manfaat, alangkah indah kehidupan koas pada khususnya dan kehidupan umat manusia pada umumnya. Barangkali...
Monday, 7 October 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment