Follow Us @soratemplates

Thursday, 15 February 2024

Konferensi... Akarku Diuji

07:18 0 Comments



Konferensi Perempuan Indonesia? Lega...

Itu kata yang saya ucapkan ketika seluruh panitia diminta mengucapkan satu kata untuk konten terakhir yang dibuat di lokasi KPI sebelum akhirnya kami pulang.

Ada rasa nano-nano bagi saya pribadi ketika konferensi ini berjalan pekan lalu. Bagaimana saya yang baru satu jam sampai di lokasi terpaksa harus kembali pulang ke Solo karena suatu hal. Galau, pasti. Lelah, barangkali. Di sini saya merasakan kekuatan akar itu diuji.

Di perjalanan pulang ketika suami dan anak-anak tertidur, air mata mengalir dengan sendirinya. Sesuatu yang saya persiapkan satu tahun lebih harus saya tinggalkan begitu saja. Padahal satu langkah lagi untuk menyaksikan semua berjalan dan saya menikmati di pojokan, menyaksikan bahwa ini berakhir. Namun ternyata saya diuji untuk berdamai dengan rasa itu. Jelas akar diri saya dipertanyakan. Apakah saya akan egois, ataukah saya menguatkan kondisi diri dan sekitar?

Kecewa, ada setitik tentu saja. Namun bukan berarti saya mempertanyakan takdir yang sudah Allah SWT gariskan. Tidak, saya justru mencari hikmah. Apa makna di balik skenario ini. Namun keputusan cepat harus segera dibuat, dan tak ada pengambilan keputusan terbaik kecuali oleh kendali Allah Ta'ala.

Saya istikharah. Untuk sesuatu yang mungkin dianggap remeh, saya meminta pertimbangan Allah. Ya, karena saya selalu percaya bahwa tak akan menyesal orang yang istikharah dan tak akan kecewa orang yang musyawarah. Maka, demi menetralisir kekecewaan karena harus pulang, saya pun melakukannya dengan dalih agar saya tak menyesal dan tak kecewa.

Musyawarah saya lakukan. Saya bertanya pada bapak dan saran bapak mengatakan saya sebaiknya kembali ke acara. Ya, saya tahu perkara tanggung jawab pada peran memang menjadi value yang kami prioritaskan. Tentu saja tanpa mengesampingkan value keluarga adalah nomor satu.

Pertanyaan kedua saya lontarkan pada Kak A. Diksi jawabannya di luar dugaan, "Namanya sudah takdir. Yang penting semuanya tuntas. Kalau di sini sudah tuntas, gantian acaranya Mami biar tuntas." Materi kajian di hari sebelumnya yang dia ikuti tentang takdir Allah tenyata cukup membekas di hati. Dia memahami bahwa ini bagian dari takdir yang harus dijalani.

Lain halnya dengan Mas Z yang tak berpikir sejauh itu. Tentu saja yang ada dalam bayangannya adalah jika kembali ke acara maka dia bisa berenang sepuasnya, ditambah dengan jalan-jalan di sekitar lokasi. Saya menguji keinginannya itu dengan sebuah pertanyaan, "Tapi kan capek baru sampai Solo sudah harus kembali lagi ke sana." Dengan santai Mas Z menjawab, "Ga capek kan aku juga tidur terus di mobil."

Pun jawaban terakhir dari suami. Beliau mengembalikan keputusan pada saya apakah mau kembali atau di rumah saja. Dia tahu betul bagaimana istrinya menyiapkan ini. Dia tahu jika menjawab tidak akan ada luka di hati. Tapi si satu sisi, dia juga sangat paham konsekuensi jika kami akan kembali. Namun ketika konsekuensi itu kami rundingkan, negosiasi pun kami sepakati.

Di sini saya menyadai kekuatan akar keluarga kami diuji. Saya merasakan betul support system yang mendukung saya. Bukan hanya suami dan anak-anak, bahkan hingga bapak. Sesuatu yang akan saya ingat betul bahwa mereka adalah orang-orang yang memahami saya dan akan selalu mendukung saya.

Maka, kembalilah kami menempuh perjalanan lagi. Sesampai di lokasi reaksi teman-teman bermacam-macam. Ada yang takjub karena saya sudah kembali. Ada yang terharu karena saya kembali lagi. Ada yang kaget tak menyangka saya akan kembali. Mereka mengapresiasi bagaimana saya membagi waktu, membagi peran, membagi prioritas. 

Tidak, padahal bukan itu yang saya kehendaki. Saya kembali bukan karena cinta buta pada sesuatu yang saya geluti. Ada integritas yang menjadi value diri sedang saya hadirkan di sini. Kekuatan akar komunitas jelas sedang diuji. Saya bukan semata-mata memprioritaskan komunitas. Tetapi bagaimana saya bertanggung jawab dengan peran dan menuntaskan apa yang sudah saya mulai.

Masih ada akar ekosistem dan negara yang perlu diuji selanjutnya. Tentunya boleh jadi akan menyambung karena pasca KPI disambut dengan pemilu. Tapi tidak, fokus saya di sini baru sebatas di tiga akar pertama. Dua akar lainnya tidak dibicarakan di sini.

Maka ketika konferensi ini selesai, saya berucap lega... Kekuatan akar diri, keluarga, dan komunitas saya sudah diuji. Dan saya patut lega untuk mengatakan bahwa saya kuat untuk tiga hal ini.

Bagi saya pribadi perjuangan satu tahun lebih di konferensi ini patut untuk disyukuri. Segala rasa sedih, marah, lelah, kecewa, melebur menjadi satu kelegaan dan kebahagiaan karena ini telah berakhir.

Kami tahu bahwa kami tidak bisa menyenangkan semua orang. Kami tahu bahwa akan ada mata yang memandang bahwa rumput sebelah lebih hijau. Tapi itu bukan lagi menjadi soal bagi kami. Menyelesaikan apa yang sudah dimulai dengan high energy ending itu menjadi akhir yang cukup bagi kami.

Kini saatnya melompat lebih tinggi, di manapun kami menantikan pilihan untuk menguatkan akar kami. Bismillah

Thursday, 1 February 2024

Aku Bosan

22:00 0 Comments



Tadi pagi ada obrolan menarik ketika pak sayur keliling lewat di depan rumah. Tetangga depan rumah biasanya selalu menanyakan gembukan alias odading untuk camilan suaminya. Saking sudah menjadi rutinitas setiap hari, tak jarang Pak Sayur menyisihkan odading demi ibu itu, biar tidak dibeli pelanggan lainnya yang sudah dilewati lebih dulu.

Seperti biasa, tadi Pak Sayur pun menyapa dengan tawarannya, "Gembukannya masih, Bu." Di luar dugaan, si ibu yang biasanya akan meraih plastik odading justru menimpali "Wah, pak ku bosen, ora gembukan sik (Wah, suamiku bosan, tidak odading dulu)."

Pak Sayur pun menanggapi, "Ojo meneh gembukan mben dino, nyawang wong bagus mben dino wae yo iso bosen yo mbak (Jangankan odading setiap hari, melihat orang ganteng setiap hari saja bisa bosan ya mbak)", kata bapak itu sambil mengajak kami ngobrol.

"Yo bosen lah, nek ra dikei dhuwit (Ya bosan lah, kalau tidak dikasih uang)," sahut si ibu tadi.

"Kula gadhah rencang. Rumangsaku bojone ki yowes ayu, ning kok yo tetep wae yang-yangan malah karo wong sih ra pathek ayu (Saya punya teman. Menurutku istrinya itu sudah cantik, tapi kok ya tetap pacaran malah sama orang yang ga terlalu cantik)" lanjut Pak Sayur.

Saya yang mendengar obrolan itu hanya menyimak saja sambil tersenyum, tak menimpali sama sekali. Meski ada obrolan berikutnya, secuil percakapan itu cukup menarik bagi saya.

Argumen yang disampaikan Pak Sayur sebenarnya tidak salah. Setiap hari dibelikan odading, ya wajar saja dong kalau bosan. Cuma kalau dipikir-pikir, apa iya sih harus sampai bosan?

Padahal dari kecil kita juga makan nasi setiap hari. Tapi apakah pernah terpikir untuk bosan makan nasi? Sepertinya kok jarang. Kalaupun sesekali malas sarapan nasi dan mau roti misalnya, saat makan siang juga kembali ke nasi lagi. Tentu saja casenya berbeda dengan orang yang berhenti makan nasi karena diet atau memang budaya di daerah tertentu yang tidak terbiasa makan nasi. Tapi yang menjadi sorotan di sini adalah tentang sesuatu hal yang lumrah dan rutin ternyata tak menjadi sebuah kebosanan.

Begitu juga di pernikahan. Apakah pantas muncul istilah bosan karena sudah setiap hari bertemu hingga bertahun-tahun. Layaknya nasi tadi, seharusnya tidak akan bosan kan karena itu sudah menjadi sebuah kelaziman yang harus dijalani. Tapi, kenapa dalam case teman Pak Sayur ada saja yang dihinggapi rasa bosan ini dan tergoda untuk mencoba yang lain?

Kalau menukil tausiyah dari seorang ustadz, pernikahan itu adalah ibadah dalam rentang yang paling lama. Untuk menjaganya tidak hanya cukup dengan dipenuhi sandang, pangan, papan layaknya tanggapan ibu tetangga tadi. Tapi, yang menjadi kunci apakah ibadah panjang ini akan bertahan hingga akhir adalah adanya iman.

Ambil contoh ibadah yang lain yaitu sholat. Kita sudah disyariatkan untuk mendirikan sholat sejak umur 7 tahun. Jika ada iman yang tertanam dalam hati, maka hingga usia puluhan tahun pun sholat akan tetap ditegakkan. Tak akan ada istilah bosan meski dilakukan lima kali dalam sehari.

Begitu juga dengan ibadah pernikahan. Ketika ada iman dalam hati, maka sepanjang apapun jangka ibadah ini tak akan ada bosan ketika dilandasi dengan iman. Karena iman, perasaan yang menggoyahkan pernikahan akan luntur atas dasar percaya dan takzim pada Allah Ta'ala. Atas dasar iman, perasaan seperti bosan akan terganti dengan keyakinan untuk memperbaiki semata-mata mencari ridho Illahi. Justru iman itulah yang akan membangkitkan cinta di hati suami istri untuk terus meremajakan dan saling jatuh cinta lagi. Ini semata-mata karena sadar bahwa pernikahan adalah ibadah, dan sebuah ibadah dilandasi oleh iman.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, adakah iman di hati? Adakah rasa percaya bahwa odading adalah sajian terbaik yang dibelikan oleh sang istri? Adakah keyakinan bahwa istrinya adalah yang terbaik dibandingkan perempuan lain yang dia pacari? Selama masih ada iman, maka kita akan mengerti bahwa inilah takdir terbaik yang menghampiri. InsyaAllah.