Tadi pagi ada obrolan menarik ketika pak sayur keliling lewat di depan rumah. Tetangga depan rumah biasanya selalu menanyakan gembukan alias odading untuk camilan suaminya. Saking sudah menjadi rutinitas setiap hari, tak jarang Pak Sayur menyisihkan odading demi ibu itu, biar tidak dibeli pelanggan lainnya yang sudah dilewati lebih dulu.
Seperti biasa, tadi Pak Sayur pun menyapa dengan tawarannya, "Gembukannya masih, Bu." Di luar dugaan, si ibu yang biasanya akan meraih plastik odading justru menimpali "Wah, pak ku bosen, ora gembukan sik (Wah, suamiku bosan, tidak odading dulu)."
Pak Sayur pun menanggapi, "Ojo meneh gembukan mben dino, nyawang wong bagus mben dino wae yo iso bosen yo mbak (Jangankan odading setiap hari, melihat orang ganteng setiap hari saja bisa bosan ya mbak)", kata bapak itu sambil mengajak kami ngobrol.
"Yo bosen lah, nek ra dikei dhuwit (Ya bosan lah, kalau tidak dikasih uang)," sahut si ibu tadi.
"Kula gadhah rencang. Rumangsaku bojone ki yowes ayu, ning kok yo tetep wae yang-yangan malah karo wong sih ra pathek ayu (Saya punya teman. Menurutku istrinya itu sudah cantik, tapi kok ya tetap pacaran malah sama orang yang ga terlalu cantik)" lanjut Pak Sayur.
Saya yang mendengar obrolan itu hanya menyimak saja sambil tersenyum, tak menimpali sama sekali. Meski ada obrolan berikutnya, secuil percakapan itu cukup menarik bagi saya.
Argumen yang disampaikan Pak Sayur sebenarnya tidak salah. Setiap hari dibelikan odading, ya wajar saja dong kalau bosan. Cuma kalau dipikir-pikir, apa iya sih harus sampai bosan?
Padahal dari kecil kita juga makan nasi setiap hari. Tapi apakah pernah terpikir untuk bosan makan nasi? Sepertinya kok jarang. Kalaupun sesekali malas sarapan nasi dan mau roti misalnya, saat makan siang juga kembali ke nasi lagi. Tentu saja casenya berbeda dengan orang yang berhenti makan nasi karena diet atau memang budaya di daerah tertentu yang tidak terbiasa makan nasi. Tapi yang menjadi sorotan di sini adalah tentang sesuatu hal yang lumrah dan rutin ternyata tak menjadi sebuah kebosanan.
Begitu juga di pernikahan. Apakah pantas muncul istilah bosan karena sudah setiap hari bertemu hingga bertahun-tahun. Layaknya nasi tadi, seharusnya tidak akan bosan kan karena itu sudah menjadi sebuah kelaziman yang harus dijalani. Tapi, kenapa dalam case teman Pak Sayur ada saja yang dihinggapi rasa bosan ini dan tergoda untuk mencoba yang lain?
Kalau menukil tausiyah dari seorang ustadz, pernikahan itu adalah ibadah dalam rentang yang paling lama. Untuk menjaganya tidak hanya cukup dengan dipenuhi sandang, pangan, papan layaknya tanggapan ibu tetangga tadi. Tapi, yang menjadi kunci apakah ibadah panjang ini akan bertahan hingga akhir adalah adanya iman.
Ambil contoh ibadah yang lain yaitu sholat. Kita sudah disyariatkan untuk mendirikan sholat sejak umur 7 tahun. Jika ada iman yang tertanam dalam hati, maka hingga usia puluhan tahun pun sholat akan tetap ditegakkan. Tak akan ada istilah bosan meski dilakukan lima kali dalam sehari.
Begitu juga dengan ibadah pernikahan. Ketika ada iman dalam hati, maka sepanjang apapun jangka ibadah ini tak akan ada bosan ketika dilandasi dengan iman. Karena iman, perasaan yang menggoyahkan pernikahan akan luntur atas dasar percaya dan takzim pada Allah Ta'ala. Atas dasar iman, perasaan seperti bosan akan terganti dengan keyakinan untuk memperbaiki semata-mata mencari ridho Illahi. Justru iman itulah yang akan membangkitkan cinta di hati suami istri untuk terus meremajakan dan saling jatuh cinta lagi. Ini semata-mata karena sadar bahwa pernikahan adalah ibadah, dan sebuah ibadah dilandasi oleh iman.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, adakah iman di hati? Adakah rasa percaya bahwa odading adalah sajian terbaik yang dibelikan oleh sang istri? Adakah keyakinan bahwa istrinya adalah yang terbaik dibandingkan perempuan lain yang dia pacari? Selama masih ada iman, maka kita akan mengerti bahwa inilah takdir terbaik yang menghampiri. InsyaAllah.
No comments:
Post a Comment