Seorang tetangga depan rumah bertandang beberapa waktu kemarin. Qodarullah suaminya terkena sakit kanker usus. Roller coaster kehidupan yang tidak pernah kita tahu membuatnya harus berjuang ini itu.
Beliau menceritakan kehiduapannya dengan suami dan kedua anaknya yang sudah remaja. Ibu itu bercerita bagaimana ketika suami kesakitan atau seolah memberikan pertanda. Dengan nada panik beliau menimpali sambil terus menyemangati. Alhamdulillah anak-anaknya telaten dan menurut pada ayah ibunya, sehingga tidak menambah beban tapi menjadi penyejuk jiwa.
Dalam kondisi itu, semuanya berkorban. Si kakak yang akan lulus SMA memilih untuk tidak kuliah dan akan mencari kerja begitu lulus sekolah. Meski ibunya berharap dia mau kuliah, tapi si kakak memilih untuk menunda. Si adik yang juga SMA setia menemani ayahnya dan selalu tetap ceria dengan senyum ramahnya saat menyapa.
Jika sore hari kami bertemu ngobrol santai di depan rumah, tak berapa lama si ibu akan tiba-tiba pamit dengan tersenyum, "Maaf ya, itu pasiennya panggil-panggil". Kami memang tak sering bercakap bersama. Seandainya kebetulan bertemu, biasanya akan diawali "Alhamdulillah pasiennya lagi seneng bisa main hape" atau "baru tidur mb, bisa disambi". Maasya Allah...
Di satu sisi ibu itu bercerita, sebagai buruh pabrik, kondisinya cukup kepontang-panting juga. Apalagi dengan kondisi saat ini, banyak pekerja yang dibuat shift karena minim orderannya katanya. Dan itu tidak terjadi di pabrik dia saja, hampir mayoritas pabrik demikian. Dia hanya masuk 3 hari sekali. Kakaknya di pabrik lain juga dibuat sistem kerja seminggu sekali. Bahkan di pabrik lain ada yang sebulan masuk, sebulan libur. Gimana ga dapat gaji sebulan, begitu katanya.
Lalu beliau menyeletuk, "Saya juga mau mb seperti jenengan,"
Deg! Saya kaget. Konteks kalimatnya di sini membicarakan pekerjaan, padahal saya justru sedang tidak bekerja saat ini.
Saya hanya tersenyum sebagai bentuk tanggapan. Mau menjawab, "Sama saja, Bu" atau mengatakan bahwa ini hanya sawang sinawang, rasanya tidak pantas. Tentu saja saya tidak bisa menafikan kebaikan suami dan mensyukuri segala keberkahan di keluarga ini. Maasya Allah walhamdulillah. Maka saya bersyukur ketika ada yang merasa ingin hidup seperti saya.
Seorang saudara beberapa waktu lalu juga mengomentari hal serupa. Begitu tahu saya resign dari tempat kerja hampir setahun yang lalu, alih-alih mempertanyakan keputusan saya, beliau justru memaklumi. Terlebih ketika kami kumpul bersama dan saya bisa dengan santai mengurus tiga anak sedangkan suami keluar rumah. Mereka heran "Bisa ya ternyata ngurus sendiri di rumah dan suaminya tetap beraktivitas" dan ditimpali sang istri, "Ya, cukup-ono" (Ya cukupilah).
Iya, kuncinya di cukup atau rasa cukup itu sebenarnya. Nominal gaji urusan nanti, tapi ketika ada rasa cukup maka habis sudah semua perkara. Rasanya tenang-tenang saja. Dan rizqi akan datang dari arah mana saja dengan berbekal rasa cukup yang sudah bersemayam di dada.
Maka balik lagi ke kasus ibu tetangga tadi. Terlepas dari satu kalimatnya yang ingin menjadi orang lain, ada berbagai rasa cukup sebenarnya yang beliau miliki. Rasa cukup melihat suaminya tidak kesakitan, cukup dengan anak-anak yang tak membuat masalah, cukup dengan saling support di internal keluarganya.
Bukankah itu saja sudah menghangatkan jiwa? Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
No comments:
Post a Comment