Follow Us @soratemplates

Monday, 8 January 2024

Innalillahi...




Ini bukan cerita tentang kematian. Ini tentang jalan dimana manusia hadir dan akan kembali.

Di suatu kesempatan, ada sebuah pembahasan bersama Ustadz Harry Santosa  rahimahullah tentang makna kebahagiaan. Tema ini menarik, karena sejatinya semua manusia hidup pasti mencari kebahagiaan. Dan ternyata semua manusia punya definisi yang berbeda-beda dalam memaknai apa itu kebahagiaan bagi dirinya.

Lalu Ustadz Harry berkata bahwa manusia akan bahagia ketika berada dalam keadaan default. Ibarat sebuah alat, gadget yang baru keluar dari pabrik pasti dalam kondisi baik dan menyenangkan. Dia tidak terkena virus-virus atau beban-beban aplikasi yang memberatkan yang akan menurunkan performa alias kondisi menyenangkannya.

Begitu juga manusia. Dia akan hidup nyaman dan bahagia ketika berada dalam kondisi default seperti saat keluar dari pabrik. Istilah kerennya adalah dimana ketika dia kembali pada fitrahnya. Di sini manusia akan memaknai bahwa sejatinya dia telah dibekali fitrah oleh Sang Pencipta dan nantinya dia akan kembali pada-Nya dengan membawa fitrah itu pula. Maka, masuklah di sini tentang Innalillahi wa inna ilahi roji'un, sesungguhnya kami adalah milik Allah dan pada-Nya lah kami kembali.

Konsep ini akan dibawa ke semua lini kehidupan. Ketika bekerja misalnya, apakah pekerjaan yang kita lakukan itu dalam rangka Innalillahi wa inna ilaihi roji'un atau tidak. Manusia tak akan bahagia ketika dia hanya fokus pada nominal angka-angka keuntungan atau gaji dari pekerjaan. Mau berapa digit pun pundi-pundi harta yang dia dapatkan, jika itu tidak diyakini sebagai milik Allah dan akan kembali pada-Nya, maka tak akan ada kebahagiaan. Mungkin akan muncul rasa selalu kurang, atau justru rasa khawatir kalau-kalau kekayaannya menghilang. Jelas tidak bahagia kan?

Apakah berarti tidak boleh berusaha maksimal untuk menjadi kaya raya? Tentu saja boleh, bukankah Rosulullah orang yang kaya, pun para sahabatnya ada yang menjadi saudagar pula. Namun, kekayaan yang dimiliki itu sejatinya menjadi jalan dia untuk kembali pada-Nya.

Case lain dalam mendidik anak misalnya. Hal ini berlaku juga. Jika menyikapi seorang anak harus memiliki skill ini itu dan cakap pada usia tertentu, boleh jadi setiap orang tua akan stress karena merasa diburu-buru. Boleh jadi dia beranggapan bahwa semua mereka lakukan demi kebahagiaan sang anak. Tapi apakah dia bahagia ketika mendapati anaknya ternyata belum sesuai milestone atau tertinggal dari anak tetangga? Pun, apakah si anak juga bahagia dengan target-target yang dicanangkan orang tuanya?

Maka, lagi-lagi, kebahagiaan itu akan tercapai ketika kembali pada fitrahnya. Bagaimana fitrahnya ketika mendidik anak, bagaimana fitrah anak diutamakan, bagaimana fitrah dalam kehidupan menjadi garis lurus untuk dijadikan acuan. 

Jika fitrah ini menjadi patokan, maka tak akan ada yang melenceng. Tak akan ada hati yang resah karena melanggar dari defaultnya. Jika sudah begini, bukankah artinya hatinya tenang dan bahagia?

Ya, innalillahi wa innailiahi rojiun. Kembalilah pada fitrahnya Allah, karena sesungguhnya kita hanya milik-Nya dan akan kembali pada-Nya.

No comments:

Post a Comment