Follow Us @soratemplates

Thursday, 21 March 2013

Sudah Ditunggu

23:19 0 Comments

Tadi malam saat teman-teman saya asyik ngobrol di grup whatsap, adzan Isya berkumandang. Seorang teman lantas menulis chat, "Isya..., isya...."
Mungkin karena obrolan tadi baru seru, beberapa teman masih saja saling berbalas chat. Lalu, seorang teman yang lain menulis chat demikian: "Sholat..., Ditunggu Allah"


Perkataan teman saya itu bisa jadi hanya pengingat waktu sholat dan tidak asyik chating melulu. Tapi jauh daripada itu, kata-katanya ampuh membius kami yang asyik bergalau ria dan segera berhenti. Hingga beberapa menit kemudian, barulah ada seseorang yang memulai chating kembali.

Mungkin sudah banyak yang tahu ironi macam ini. Orang sering berdandan rapi ketika akan menemui atasan, tapi mengenakan kaos oblong seadanya ketika menemui Tuhannya. Orang resah tidak menentu seandainya janjian dengan dosen dan khawatir terlambat, tapi tidak takut sama sekali ketika molor dari perjanjian bertemu dengan Allah.

Kalau dipikir-pikir, sepertinya manusia memang terlalu sibuk dengan dunianya hingga beranggapan bahwa dunia yang ini sedang mendesak dan Allah bisa menunggu. Atau jangan-jangan ada yang berpikiran toh masih ada jeda waktu. Masih ada satu jam, masih ada lima belas menit, atau malah masih ada lima menit.

Hm..., perkara ini tidak bisa disamakan dengan deadline pekerjaan. Memang ini adalah 'pekerjaan' kita sebagai manusia di muka bumi, tetapi 'pekerjaan' kita kali ini menentukan nasib hidup dan mati. Bos kita akan melihat, siapa anak buahnya yang bersegera mengerjakan pekerjaannya dan siapa yang menunda-nunda. Dari kesungguhan itulah, bos kita akan memberikan gaji setimpal berupa pahala.

Memang orang sering malas-malasan karena merasa pahala atau gaji itu tidak kelihatan. Lantas menganggap tak apalah asal tetap dapat gaji. Yah, itu memang urusan masing-masing individu. Mau mendapat pahala banyak atau sedikit memang terserah kamu.

Tapi coba bayangkan, atasan atau dosen kita saja marah kalau kita molor, apakah kita tidak membayangkan bagaimana Allah murka karena kita mengabaikannya? Sadarkah kita bahwa Allah sudah sedemikian maklum pada kita? Hanya saja kita tak tahu apa yang sebenarnya akan Allah persiapkan untuk kita di akhirat nanti.

Berhubung kita tidak tahu, sudah sepantasnya jika kita melakukan yang terbaik. Layaknya pegawai yang mati-matian bekerja agar mendapat gaji maksimal, mengapa kita tidak mati-matian beribadah dengan sempurna agar mendapat pahala yang maksimal juga?

So, silakan dicoba. Semoga kelak kita mendapat panen gaji di surga. Aamin...



Ketergantungan

08:56 2 Comments
Orang sering merasa memiliki ketergantungan dengan sesuatu. Misalkan, orang yang hobi belanja dan tinggal gesek sana-sini seakan-akan sangat tergantung dengan kartu kreditnya. Seorang yang hobi online dan browsing kesana-kemari juga akan kelimpungan ketika koneksi internetnya sedang labil. Begitu seterusnya hingga wajar saja bagi pengguna narkoba yang sakau karena tidak mendapat asupan obat-obatan.

Bagi orang yang tidak mengalami keadaan itu mungkin akan geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa hanya karena pulsa habis, lalu seseorang jadi uring-uringan. Atau bagaimana bisa karena listrik padam dan tidak bisa menonton bola lantas sedemikian galaunya. Tapi, kalau kita pikir-pikir lagi, semua itu memang mungkin saja terjadi. Itu semua muncul karena kebiasaan atau pembiasaan yang kita lakukan sendiri. Kalau bahasa yang lebih kerennya, biasa disebut dengan adaptasi.

Misalkan begini. Seorang teman biasa tidur selepas isya dan bangun jam 12 malam. Awalnya mungkin terasa aneh, apa yang akan dilakukan tengah malam begitu hingga pagi. Sehari, dua hari, mungkin dia masih bingung, tetapi ketika sudah terjadi sebulan, dia pasti mulai terbiasa. Bahkan bisa jadi dia justru akan bingung ketika selepas isya tidak ada yang dia kerjakan dan belum bisa tidur.

Dari seorang teman, saya juga diberi tahu sesuatu. Di fanspage facebook milik Tere Liye ada seseorang yang bertanya bagaimana agar dia tidak kecanduan bermain facebook. Tere Liye menjawab yaitu dengan cara melatih diri untuk terbiasa tidak bermain facebook. Bang Tere menyebutkan, jika dalam 40 hari puasa facebook berhasil, artinya dia sudah berhasil lepas dari ketergantungan facebook.

Semula saya tidak percaya, lebih tepatnya saya mempertanyakan kenapa harus 40 hari. Oke, ternyata bukan semata-mata 40 harinya, tetapi lebih kepada pembiasaan itu sendiri. Dan akhirnya saya benar-benar merasakan dan membuktikannya.

Untuk teman yang sudah membaca postingan saya sebelumnya, pasti sedikit tahu bahwa saya mungkin memiliki ketergantungan dengan laptop, sedikit-sedikit membuka laptop untuk mengerjakan sesuatu. Hingga akhirnya dua bulan yang lalu laptop kesayangan saya rusak. Saya kelimpungan. Dalam satu bulan pertama, saya berkali-kali meneror tukang servisnya berharap laptop saya segera kembali. Namun, setelah lewat dari satu bulan, saya sudah mulai bosan sendiri dan menemukan kebiasaan yang baru.

Dua bulan kemudian laptop itu kembali. Awalnya saya sangat senang. Terbayang sudah serangkaian aktivitas saya sebelumnya, mengetik-ngetik, berselancar di dunia maya, atau menonton film. Nyatanya, di hari pertama dan kedua laptop itu kembali jatuh ke pelukan saya, tak ada aktivitas menarik seperti yang saya bayangkan. Saya sekedar membuka suatu file, lantas sudah. Saya hanya mengecek media social, lalu sudah. Bahkan ketika ada waktu luang di kampus dan saya melangkah gontai menuju perpustakaan untuk ngenet, saya juga stuck dan tidak tahu harus berselancar ke mana. Dan hari ini saya menyadarinya bahwa saya sepertinya sudah lepas dari ketergantungan laptop.

Maka, saya benar-benar percaya sekarang bahwa pembiasaan dan kebiasaan itu benar-benar bekerja. Tentunya pembiasaan ini dilihat dari sisi positif. Orang yang mengeluh tak bisa menulis harusnya percaya bahwa dengan terbiasa menulis maka ia akan benar-benar bisa menulis. Orang yang minder karena tak bisa berbahasa Inggris harusnya percaya bahwa dengan pembiasaan bercakap-cakap dengan bahasa Inggris maka ia pasti bisa berbahasa Inggris dengan baik. Orang yang pesimis tak sanggup menghafal Al-Qur’an seharusnya juga percaya bahwa dengan pembiasaan yang sedikit demi sedikit tetapi terus-menerus pada akhirnya pasti juga akan bisa.

Memang yang terberat adalah memulainya, tetapi ketika kita bisa meruntuhkan tembok besar di awal langkah kita, insya Allah perjalanan ke depan juga akan lebih mudah. Bismillah… Dengan menyebut nama Allah semoga kita bisa membiasakan hal-hal baik pada diri kita. Insya Allah….