“Semalam tidak bisa tidur, dok…”
Kalimat itu sering sekali saya dengar ketika memeriksa
pasien di pagi hari. Tidak tua, tidak muda, keluhan ini melanda kebanyakan
pasien. Penyebabnya pun bermacam-macam. Ada yang karena kedinginan, kepanasan,
keluhan dari penyakitnya sendiri, atau hanya karena terganggu ‘keberisikan’
pasien di sebelahnya. Nada keluhannya juga berbeda-beda, ada yang sedikit ‘kesal’,
ada pula yang sangat frustasi. Keluhan dengan nada frustasi di suatu pagi
itulah yang menyentil saya hingga menulis catatan ini.
Kalau di rumah, ketika saya atau adik saya tidak juga tidur
hingga larut malam, biasanya bapak akan bertanya, “Kok tidak tidur?”. Sekalipun
sangat jarang, bukan tidak pernah kami menjawab dengan alasan, “Tidak bisa
tidur, Pak”. Kalau muncul jawaban begini, bapak akan berkelakar, “Tidur aja kok
‘nggak bisa’, mbok ya belajar biar ‘bisa’ tidur”.
Kenyataannya, belajar agar bisa tidur itu ternyata tak
semudah yang dibayangkan.
Bagi saya yang hobi tidur, mungkin menempelkan kepala di
bantal saja sudah bisa membawa ke alam mimpi. Sayangnya, bagi orang lain mungkin
butuh perjuangan tersendiri untuk menikmati nyamannya terlelap dengan kepala di
bantal. Lucunya, kedua kondisi ini memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
Bagi orang yang gampang terlelap, dia sering kali
menyalahkan keadaan. Misal, dia mengeluh karena ketiduran padahal tugas-tugas
masih menumpuk. Dia seharusnya mengikuti kegiatan ini itu, tetapi terhambat
karena mengantuk atau bahkan jatuh tertidur. Yang dia pikirkan hanyalah rasa
mengantuk yang sangat mengganggu dirinya. Lantas dia berpikir betapa enaknya
orang yang bisa tidur sedikit.
Sebaliknya, orang yang sulit tidur juga tak jarang
mengeluhkan keadaanya. Misalnya seperti yang disampaikan oleh beberapa pasien yang
sudah saya ceritakan di atas. Pasien itu mungkin juga beranggapan, alangkah nikmatnya
jika bisa tidur dengan nyaman.
Barangkali, inilah contoh rumput tetangga terlihat lebih
hijau daripada rumput sendiri. Diri kita yang gampang mengantuk, merasa iri
dengan mereka yang tidur sedikit. Sebaliknya, mereka yang sulit tidur juga iri
dengan kita yang bisa merasakan nikmatnya tidur panjang. Kenikmatan orang lain
terasa lebih indah. Padahal mungkin kita sendiri juga diberikan kenikmatan itu,
tapi kurang menyadari.
Dan di keesokan harinya, pasien itu berkata, “Alhamdulillah
dok, tadi malam saya sudah bisa tidur”.
Hm…, hanya dari tidur saja sudah diuji rasa kesyukuran kita.
Sungguh, nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?
No comments:
Post a Comment