Follow Us @soratemplates

Thursday, 22 August 2013

Senyum Sapa

23:46 2 Comments


Kemarin, ketika saya selesai menjawab konsulan dari semua bangsal, tidak sengaja saya melihat sosok yang sangat saya kenal sedang duduk antri di poli geriatri. Beliau adalah guru agama saya sejak kelas satu sampai kelas tiga SMP. Entah karena dorongan apa, reflex saja saya langsung menghentikan langkah dan menghampiri beliau.

“ Pak M, saya Avi, murid bapak waktu SMP dulu.”

Ekspresi beliau campur aduk. Antara kaget, ramah, dan lupa-lupa ingat. Yah, maklum saja, saya lulus SMP sudah 8 tahun yang lalu, dan selepas saya lulus, beliau juga pensiun. Praktis tidak pernah ada pertemuan sama sekali. Sebagai guru agama, murid beliau juga banyak. Wajar saja jika beliau lupa dengan saya. Namun, sekalipun beliau tidak langsung mengingat saya, tetap saja ada perasaan senang di hati saya karena betemu dengan beliau.

Saya jadi teringat pengalaman saya dengan guru-guru yang lain.

Lebaran tahun lalu saat sedang hectic mengurus skripsi, saya mengirimkan SMS ucapan selamat idul fitri dan memohon maaf kepada pembimbing dan penguji skripsi saya. Salah satu penguji skripsi yang juga merangkap staff di Moewardi membalas SMS saya, “Alhamdulillah dik, kami senang sekali masih diingat. Blablabla..” Sekalipun kata-kata selanjutnya adalah ucapan idul fitri standar, tapi ada kalimat di awal yang menunjukkan bahwa beliau senang karena saya sebagi murid mau mengingat beliau.

Yup, saya memang tidak berprofesi sebagai guru, tapi mungkin dari contoh yang saya temui di atas saya bisa menggambarkan bagaimana perasaan seorang guru. Ada rasa bahagia ketika dia dihargai oleh murid-muridnya dan salah satu bentuk penghargaan adalah dengan mengingatnya dan menyapa bila kebetulan bertemu.

Bahkan bukan berprofesi sebagai sorang guru pun, bukankah kita senang jika diingat dan disapa? Misal di sebuah acara lantas kita disapa oleh seorang kenalan yang sudah lama tak bertemu. Bukankah menyenangkan karena seakan terjalin lagi sebuah silaturahim baru? Mungkin rasa senang itu muncul karena manfaat silaturahim itu sendiri. Kita akan tersenyum, dan senyum itulah yang membuat kita bahagia. Ketika kita bahagia maka panjanglah umur kita. Ketika kita bahagia, makin melimpahlah rizki kita. Yup, karena itulah berkah silaturahim, memanjangkan umur dan menambah rizqi.

Percaya atau tidak, itu terbukti pada diri saya. Sebelum menyapa guru saya itu, saya merasa lelah setelah mengitari semua bangsal. Tapi selepas berinteraksi dengan beliau dan saling tersenyum, lelah itu seakan terbang bersama hadirnya senyuman. Begitu pula dengan rizqi, hanya dengan interaksi yang mungkin tak ada lima menit, ada sebuah doa dari beliau semoga saya sukses menjadi dokter. Simple sekali.


Hanya dengan sapaan dapat membuat kita bahagia. Hanya dengan sapaan membuat kita mendapat rizqi lewat doa. Hanya dengan sapaan pula kita membuat orang lain merasa lebih dihargai peran dan keberadaannya. So, tak ada salahnya menyapa dan menebar senyuman. Bukankah senyum adalah ibadah? :)


Monday, 12 August 2013

Lelah Marah

08:28 0 Comments
Pada dasarnya semua orang itu baik, tetapi ketika nafsu amarah menyelimuti, maka sirnalah semua.

Di catatan Petuah Dokter Muda beberapa seri yang lalu, saya pernah menulis bahwa banyak koas yang mengeluh dirinya merasa lelah. Di situ saya menulis dari sudut pandang bahwa kelelahan koas (khususnya zaman sekarang) sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan koas zaman dulu. Saya memakai sudut pandang syukur dalam catatan itu. Kali ini berbeda.

Saya akui koas itu melelahkan. Ralat, semua pekerjaan itu melelahkan. Staf, residen, perawat, semua juga merasakan kelelahan itu. Sekarang bukan perkara mengatasi masalah hati berupa keluh kesah, ternyata ada masalah baru yang sangat rawan. Lelahnya fisik akan menyeret pada lelahnya hati.
Saya mengalaminya dan saya menyadarinya.

Ada seorang residen yang menurut saya baik hati sekali. Dia selalu ramah pada pasien, mau membimbing koas, dan bekerja sama dengan baik dengan para perawat. Suatu ketika entah beliau selepas jaga malam atau bagaimana, raut wajahnya berubah. Teman residennya yang seharusnya baik-baik saja ternyata kena semprot juga. Andai saya tidak mengenal residen itu sebelumnya, saya mungkin akan menilai bahwa residen ini ‘menakutkan’.

Begitu juga teman saya. Ada seorang teman yang dia baik-baik saja, selalu ikhlas menjalankan tugas-tugas yang memang harus dia kerjakan, tetapi pada akhirnya jebol juga. Penyebabnya sama, lelah secara fisik sehingga psikis menjadi lebih mudah sensitive.

Itu pula yang terjadi pada saya. Beberapa stase berat yang saya lalui seringkali secara tak sadar mempengaruhi hati. Pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Istirahat seharian seakan-akan belum bisa membayar kelelahan. Keterlaluan mungkin, tapi ternyata begitu juga yang terjadi pada sebagian besar teman-teman saya. Ketika terjadi singgungan sedikit, keluarlah emosi yang terlanjur mengendap bersama kelelahan.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir sedih juga jika hal itu terjadi. Sering mendengar istilah “urusan kantor selesaikan di kantor, urusan rumah selesaikan di rumah”. Tak jauh beda berarti urusan rumah sakit seharusnya cukup diselesaikan di rumah sakit dan urusan rumah diselesaikan di rumah. Nyatanya, kedua urusan itu bertemu dengan sendirinya dan memberi dampak yang tidak enak di dua kondisi yang berbeda.

Padahal itu semata-mata karena lelah fisik saja. Yang ketika kelelahan fisik itu sirna, maka sirna pula semua kelelahan psikis yang mendera. Mungkin benar petuah dari seorang dokter, “Carilah teman yang mau memahami, yang mau mengerti kondisi kita, yang mau menyediakan tong sampah bagi kita”. Ketika kita lelah, dia tidak akan complain. Dia menyediakan hatinya yang lebih besar untuk menerima kita, bahkan menyiapkan tempat sampah sewaktu-waktu kita membuang sebagian atau seluruh kepenatan yang ada.

Memang benar butuh lingkungan yang memahami sehingga lelah fisik dan psikis tidak menjadi-jadi. Karena lelah fisik yang tidak terobati berarti semakin menambah lelah hati. Sebaliknya, lelah hati yang tidak segera teratasi juga akan berdampak menambah kelelahan fisik.

Tapi terlepas dari lingkungan sebagai faktor eksternal, introspeksi diri dari sisi internal pun sepertinya tidak kalah pentingnya. Mungkin saja niat perlu diperbaharui lagi. Barangkali orientasi perlu diubah lagi. Siapa tahu kelelahan fisik terjadi karena kurang ikhlas menjalani, dan karena kurang ikhlas wajar saja jika hati terbawa emosi. Karena bukan lillahi ta’ala, berarti ada setan-setan yang ikut menyertai. Dan bukannya memang sudah tugas setan untuk membuat ‘sakit hati’?

A’udzubillahiminasysyaithonirrajim….