Kemarin, ketika saya selesai menjawab konsulan dari semua bangsal, tidak sengaja saya melihat sosok yang sangat saya kenal sedang duduk antri di poli geriatri. Beliau adalah guru agama saya sejak kelas satu sampai kelas tiga SMP. Entah karena dorongan apa, reflex saja saya langsung menghentikan langkah dan menghampiri beliau.
“ Pak M, saya Avi, murid bapak waktu SMP dulu.”
Ekspresi beliau campur aduk. Antara kaget, ramah, dan
lupa-lupa ingat. Yah, maklum saja, saya lulus SMP sudah 8 tahun yang lalu, dan
selepas saya lulus, beliau juga pensiun. Praktis tidak pernah ada pertemuan
sama sekali. Sebagai guru agama, murid beliau juga banyak. Wajar saja jika
beliau lupa dengan saya. Namun, sekalipun beliau tidak langsung mengingat saya,
tetap saja ada perasaan senang di hati saya karena betemu dengan beliau.
Saya jadi teringat pengalaman saya dengan guru-guru yang
lain.
Lebaran tahun lalu saat sedang hectic mengurus skripsi, saya
mengirimkan SMS ucapan selamat idul fitri dan memohon maaf kepada pembimbing
dan penguji skripsi saya. Salah satu penguji skripsi yang juga merangkap staff
di Moewardi membalas SMS saya, “Alhamdulillah dik, kami senang sekali masih
diingat. Blablabla..” Sekalipun kata-kata selanjutnya adalah ucapan idul fitri
standar, tapi ada kalimat di awal yang menunjukkan bahwa beliau senang karena
saya sebagi murid mau mengingat beliau.
Yup, saya memang tidak berprofesi sebagai guru, tapi mungkin
dari contoh yang saya temui di atas saya bisa menggambarkan bagaimana perasaan
seorang guru. Ada rasa bahagia ketika dia dihargai oleh murid-muridnya dan
salah satu bentuk penghargaan adalah dengan mengingatnya dan menyapa bila
kebetulan bertemu.
Bahkan bukan berprofesi sebagai sorang guru pun, bukankah
kita senang jika diingat dan disapa? Misal di sebuah acara lantas kita disapa
oleh seorang kenalan yang sudah lama tak bertemu. Bukankah menyenangkan karena
seakan terjalin lagi sebuah silaturahim baru? Mungkin rasa senang itu muncul
karena manfaat silaturahim itu sendiri. Kita akan tersenyum, dan senyum itulah
yang membuat kita bahagia. Ketika kita bahagia maka panjanglah umur kita.
Ketika kita bahagia, makin melimpahlah rizki kita. Yup, karena itulah berkah
silaturahim, memanjangkan umur dan menambah rizqi.
Percaya atau tidak, itu terbukti pada diri saya. Sebelum
menyapa guru saya itu, saya merasa lelah setelah mengitari semua bangsal. Tapi
selepas berinteraksi dengan beliau dan saling tersenyum, lelah itu seakan
terbang bersama hadirnya senyuman. Begitu pula dengan rizqi, hanya dengan
interaksi yang mungkin tak ada lima menit, ada sebuah doa dari beliau semoga
saya sukses menjadi dokter. Simple sekali.
Hanya dengan sapaan dapat membuat kita bahagia. Hanya dengan
sapaan membuat kita mendapat rizqi lewat doa. Hanya dengan sapaan pula kita membuat orang lain merasa lebih dihargai peran dan keberadaannya. So, tak ada salahnya menyapa dan
menebar senyuman. Bukankah senyum adalah ibadah? :)
nice story kak. amazing :D
ReplyDeleteWah, berkunjung ke blog.
ReplyDeleteMatur nuwun.. :)