Follow Us @soratemplates

Monday 12 August 2013

Lelah Marah

Pada dasarnya semua orang itu baik, tetapi ketika nafsu amarah menyelimuti, maka sirnalah semua.

Di catatan Petuah Dokter Muda beberapa seri yang lalu, saya pernah menulis bahwa banyak koas yang mengeluh dirinya merasa lelah. Di situ saya menulis dari sudut pandang bahwa kelelahan koas (khususnya zaman sekarang) sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan koas zaman dulu. Saya memakai sudut pandang syukur dalam catatan itu. Kali ini berbeda.

Saya akui koas itu melelahkan. Ralat, semua pekerjaan itu melelahkan. Staf, residen, perawat, semua juga merasakan kelelahan itu. Sekarang bukan perkara mengatasi masalah hati berupa keluh kesah, ternyata ada masalah baru yang sangat rawan. Lelahnya fisik akan menyeret pada lelahnya hati.
Saya mengalaminya dan saya menyadarinya.

Ada seorang residen yang menurut saya baik hati sekali. Dia selalu ramah pada pasien, mau membimbing koas, dan bekerja sama dengan baik dengan para perawat. Suatu ketika entah beliau selepas jaga malam atau bagaimana, raut wajahnya berubah. Teman residennya yang seharusnya baik-baik saja ternyata kena semprot juga. Andai saya tidak mengenal residen itu sebelumnya, saya mungkin akan menilai bahwa residen ini ‘menakutkan’.

Begitu juga teman saya. Ada seorang teman yang dia baik-baik saja, selalu ikhlas menjalankan tugas-tugas yang memang harus dia kerjakan, tetapi pada akhirnya jebol juga. Penyebabnya sama, lelah secara fisik sehingga psikis menjadi lebih mudah sensitive.

Itu pula yang terjadi pada saya. Beberapa stase berat yang saya lalui seringkali secara tak sadar mempengaruhi hati. Pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Istirahat seharian seakan-akan belum bisa membayar kelelahan. Keterlaluan mungkin, tapi ternyata begitu juga yang terjadi pada sebagian besar teman-teman saya. Ketika terjadi singgungan sedikit, keluarlah emosi yang terlanjur mengendap bersama kelelahan.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir sedih juga jika hal itu terjadi. Sering mendengar istilah “urusan kantor selesaikan di kantor, urusan rumah selesaikan di rumah”. Tak jauh beda berarti urusan rumah sakit seharusnya cukup diselesaikan di rumah sakit dan urusan rumah diselesaikan di rumah. Nyatanya, kedua urusan itu bertemu dengan sendirinya dan memberi dampak yang tidak enak di dua kondisi yang berbeda.

Padahal itu semata-mata karena lelah fisik saja. Yang ketika kelelahan fisik itu sirna, maka sirna pula semua kelelahan psikis yang mendera. Mungkin benar petuah dari seorang dokter, “Carilah teman yang mau memahami, yang mau mengerti kondisi kita, yang mau menyediakan tong sampah bagi kita”. Ketika kita lelah, dia tidak akan complain. Dia menyediakan hatinya yang lebih besar untuk menerima kita, bahkan menyiapkan tempat sampah sewaktu-waktu kita membuang sebagian atau seluruh kepenatan yang ada.

Memang benar butuh lingkungan yang memahami sehingga lelah fisik dan psikis tidak menjadi-jadi. Karena lelah fisik yang tidak terobati berarti semakin menambah lelah hati. Sebaliknya, lelah hati yang tidak segera teratasi juga akan berdampak menambah kelelahan fisik.

Tapi terlepas dari lingkungan sebagai faktor eksternal, introspeksi diri dari sisi internal pun sepertinya tidak kalah pentingnya. Mungkin saja niat perlu diperbaharui lagi. Barangkali orientasi perlu diubah lagi. Siapa tahu kelelahan fisik terjadi karena kurang ikhlas menjalani, dan karena kurang ikhlas wajar saja jika hati terbawa emosi. Karena bukan lillahi ta’ala, berarti ada setan-setan yang ikut menyertai. Dan bukannya memang sudah tugas setan untuk membuat ‘sakit hati’?

A’udzubillahiminasysyaithonirrajim….


No comments:

Post a Comment