Pada dasarnya semua orang itu baik, tetapi ketika nafsu amarah menyelimuti, maka sirnalah semua.
Di
catatan Petuah Dokter Muda beberapa seri yang lalu, saya pernah menulis
bahwa banyak koas yang mengeluh dirinya merasa lelah. Di situ saya
menulis dari sudut pandang bahwa kelelahan koas (khususnya zaman
sekarang) sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan koas zaman dulu.
Saya memakai sudut pandang syukur dalam catatan itu. Kali ini berbeda.
Saya
akui koas itu melelahkan. Ralat, semua pekerjaan itu melelahkan. Staf,
residen, perawat, semua juga merasakan kelelahan itu. Sekarang bukan
perkara mengatasi masalah hati berupa keluh kesah, ternyata ada masalah
baru yang sangat rawan. Lelahnya fisik akan menyeret pada lelahnya hati.
Saya mengalaminya dan saya menyadarinya.
Ada
seorang residen yang menurut saya baik hati sekali. Dia selalu ramah
pada pasien, mau membimbing koas, dan bekerja sama dengan baik dengan
para perawat. Suatu ketika entah beliau selepas jaga malam atau
bagaimana, raut wajahnya berubah. Teman residennya yang seharusnya
baik-baik saja ternyata kena semprot juga. Andai saya tidak mengenal
residen itu sebelumnya, saya mungkin akan menilai bahwa residen ini
‘menakutkan’.
Begitu juga teman saya. Ada seorang teman
yang dia baik-baik saja, selalu ikhlas menjalankan tugas-tugas yang
memang harus dia kerjakan, tetapi pada akhirnya jebol juga. Penyebabnya
sama, lelah secara fisik sehingga psikis menjadi lebih mudah sensitive.
Itu
pula yang terjadi pada saya. Beberapa stase berat yang saya lalui
seringkali secara tak sadar mempengaruhi hati. Pulang ke rumah dalam
keadaan lelah. Istirahat seharian seakan-akan belum bisa membayar
kelelahan. Keterlaluan mungkin, tapi ternyata begitu juga yang terjadi
pada sebagian besar teman-teman saya. Ketika terjadi singgungan sedikit,
keluarlah emosi yang terlanjur mengendap bersama kelelahan.
Sebenarnya
kalau dipikir-pikir sedih juga jika hal itu terjadi. Sering mendengar
istilah “urusan kantor selesaikan di kantor, urusan rumah selesaikan di
rumah”. Tak jauh beda berarti urusan rumah sakit seharusnya cukup
diselesaikan di rumah sakit dan urusan rumah diselesaikan di rumah.
Nyatanya, kedua urusan itu bertemu dengan sendirinya dan memberi dampak
yang tidak enak di dua kondisi yang berbeda.
Padahal itu
semata-mata karena lelah fisik saja. Yang ketika kelelahan fisik itu
sirna, maka sirna pula semua kelelahan psikis yang mendera. Mungkin
benar petuah dari seorang dokter, “Carilah teman yang mau memahami, yang
mau mengerti kondisi kita, yang mau menyediakan tong sampah bagi kita”.
Ketika kita lelah, dia tidak akan complain. Dia menyediakan hatinya
yang lebih besar untuk menerima kita, bahkan menyiapkan tempat sampah
sewaktu-waktu kita membuang sebagian atau seluruh kepenatan yang ada.
Memang
benar butuh lingkungan yang memahami sehingga lelah fisik dan psikis
tidak menjadi-jadi. Karena lelah fisik yang tidak terobati berarti
semakin menambah lelah hati. Sebaliknya, lelah hati yang tidak segera
teratasi juga akan berdampak menambah kelelahan fisik.
Tapi
terlepas dari lingkungan sebagai faktor eksternal, introspeksi diri
dari sisi internal pun sepertinya tidak kalah pentingnya. Mungkin saja
niat perlu diperbaharui lagi. Barangkali orientasi perlu diubah lagi.
Siapa tahu kelelahan fisik terjadi karena kurang ikhlas menjalani, dan
karena kurang ikhlas wajar saja jika hati terbawa emosi. Karena bukan
lillahi ta’ala, berarti ada setan-setan yang ikut menyertai. Dan
bukannya memang sudah tugas setan untuk membuat ‘sakit hati’?
A’udzubillahiminasysyaithonirrajim….
Monday, 12 August 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment