Follow Us @soratemplates

Tuesday 7 May 2019

Silent Please


Pernah merasa risih dengan seseorang yang hobi sekali memberikan komentar pada semua hal?

Entahlah, orang zaman sekarang senang sekali untuk speak up. Sedikit-sedikit unjuk bicara, sedikit-sedikit membuka suara.

Mungkin dalihnya demi mengeluarkan hak 20.000 kata per hari. Hingga kita sebagai pendengar diharap untuk memaklumi. Tapi apakah pengeluaran kata itu harus dalam wujud komentar yang kadang tak berarti?

Kalau komentar itu baik, tidak masalah. Kadang kala komentar itu justru awal mula menoreh luka. Sekalipun si pembuat komentar tak pernah bermaksud menggoreskannya.

Ambil contoh misalnya seorang ibu mengomentari seorang anak yang terlihat kurus kering. Mungkin sekedar bertanya "Kurus sekali, susah makannya ya". Hanya saja, tidakkah ada kata-kata yang lebih baik jika bertemu anak itu dibandingkan sekedar mengomentari dan memberikan judgement kurus tak mau makan?

Di sini sepertinya memang perlu mengolah perbendahaan kata. Tapi asal tahu prinsip berkata yang baik atau diam, setidaknya bisa mengerem mana-mana yang perlu untuk dikomentari dan mana yang cukup didiamkan.

Yah, semoga saja lisan kita terjaga dari 20.000 kata yang meluncur dengan sendirinya. Karena kita tentu tak boleh lupa bahwa lidah tetaplah menjadi satu organ yang kelak akan dihisab diminta pertanggungjawabannya.

No comments:

Post a Comment