Follow Us @soratemplates

Friday, 28 December 2012

You Raise Me Up

07:41 0 Comments



Salah satu cara menyemangati orang-orang tercinta kita adalah dengan membuat diri kita semangat.

Itu adalah sebuah quote yang saya dapatkan ketika dipaksa oleh seorang teman menonton film korea berjudul Reply 1997. Dalam film itu diceritakan seorang suami yang tiba-tiba didiagnosis menderita kanker. Awalnya sang suami dengan pasien kanker lainnya bahagia ketika menonton film di TV. Tapi ketika sang tokoh film juga mengidap kanker, sirnalah semua keceriaan pada pasien tersebut. Segala cara sudah dilakukan oleh sang istri untuk menyemangati suaminya, tapi sia-sia. Akhirnya sang istri melakukan tindakan, menghubungi sang penulis naskah, memaki-maki, dan akhirnya berharap agar ada perubahan nasib dari diri sang tokoh cerita. Sang istri tak pernah lelah bolak-balik menelepon sang penulis naskah. Hingga akhirnya di akhir cerita serial TV, sang penulis naskah memberi kesembuhan pada si tokoh. Jadilah semua pengidap kanker di bangsal itu kembali ceria.

Nah, di situlah kuncinya. Ketika sang istri tak bisa membuat suaminya semangat, hal yang bisa dia lakukan hanyalah membuat dirinya sendiri bersemangat. Harapannya, dengan dirinya semangat, suaminya pun akan semangat. Dan itu terbukti. Dengan dirinya bersemangat mendesak penulis naskah, pada akhirnya suaminya pun kembali bersemangat.

Ya, memang demikian adanya. Disadari atau tidak, terkadang semangat bisa muncul dari orang lain. Di sinilah fungsi seorang teman atau sahabat itu ada. Ketika kita down, ada teman yang menyemangati kita. Ketika kita lemah, ada teman yang menguatkan kita. Begitu seterusnya. Tetapi, apakah semua kehadiran teman itu benar-benar berarti? Sayangnya, meski disemangati seperti apapun, terkadang kita bebal juga dan tidak bangkit semangatnya pula. Maka, ambil saja teori dalam film tadi.

Boleh jadi kita gagal menyemangati teman kita, tapi jangan sampai kita gagal menyemangati diri kita senidiri. Anggaplah begini. Kita dan teman sedang sama-sama mengejar skripsi. Jika kita santai, teman mungkin santai. Ketika kita menyemangati teman, boleh jadi teman tetap saja santai. Tapi, bagaimana jika kita beranjak dan mulai benar-benar bergelut dengan skripsi? Melihat kita yang sibuk dengan skripsi, sedikit demi sedikit pasti teman kita pun akan tergerak untuk bercengkrama dengan skripsi juga. Mengapa? Karena sahabatnya juga melakukannya. Karena dirinya 'ditinggal' sahabatnya untuk skripsi, maka kenapa dirinya tidak mengurus skripsi juga?

Ya, begitulah. Memang benar adanya slogan yang mengatakan mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil. Dengan membuat diri kita sendiri bersemangat, maka cepat atau lambat kita pun akan membuat orang-orang di sekitar kita bersemangat. Demikian juga sebaliknya, dengan melihat orang lain yang memiliki semangat, perlahan diri kita akan bersemangat pula.

Yup, you raise me up. Kau membuatku bersemangat, aku membuatmu bersemangat. Insya Allah..




Thursday, 27 December 2012

Di Atas Kertas

20:14 0 Comments

Akhir-akhir ini, ada atmosfer berbeda yang kami rasakan, khususnya untuk teman-teman seangkatan saya. Perkuliahan sudah usai, ujian demi ujian sudah meninggalkan kami satu demi satu. Namun, beberapa dari kami masih memiliki tanggungan ini itu. Skripsi, jurnal, semester pendek, kompre, wisuda, plus pernik-pernik di sekitarnya. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Yang belum ujian, khawatir tidak sempat ujian. Yang syarat wisudanya belum lengkap, khawatir tidak cukup waktu untuk melengkapi. Intinya hanya satu, kami ingin segera berganti status dari mahasiswa preklinik menjadi mahasiswa klinik.

Di tengan segala kekhawatiran itu, saya dikejutkan dengan pendapat seorang teman, "Kalau tidak wisuda Maret, trus kenapa?" Hm..., pertanyaan itu belum terpikirkan di kepala saya. Tapi, saya sering berpikir hal serupa untuk kasus lainnya, misal "Kalau ga cumlaude, trus kenapa? Kalau remed, emangnya kenapa? Kalau dapat B, kenapa?" dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya.

Oke, pertanyaan itu sepertinya memang terkesan menggampangkan. Boleh jadi orang yang melontarkan kalimat itu akan dicap sebagai orang yang terlalu santai tanpa ada perjuangan untuk hidup. Tak mau berjuang untuk wisuda Maret, tidak mau susah payah mempertahankan cumlaude, tidak mau berusaha keras agar mendapat nilai A dan tidak remed, dan seterusnya. Ya, boleh jadi kami memang terkesan menggampangkan. Tapi, lebih dari itu, perkara ini memang gampang karena ada perkara lain yang lebih penting.

Wisuda, cumlaude, nilai A hanyalah hitam di atas putih. Mereka hanyalah bukti di atas sebuah kertas. Lagi-lagi teman saya berkata, "buat apa lulus Maret tapi cuma buat gaya-gayaan". Begitu juga dengan kasus lainnya, buat apa cumlaude dan nilai A kalau cuma untuk kebanggan dan gaya semata. Bukan meremehkan atau sirik karena kami mungkin tak mampu, tapi lihat kembali niatnya, lihat lagi esensinya.

Yang lebih penting dari semua itu adalah 'untuk apa?'. Untuk apa kita mati-matian mengejar nilai atau wisuda? Lagi-lagi, semua hanyalah di atas kertas. Itu semua adalah hasil yang tertampil, sedangkan di luar itu ada sesuatu yang tidak terpampang. Apa itu? Proses.

Ya, proses. Proses yang kita lalui tak akan tertulis dalam lembar ijazah atau KHS. Tapi, proses yang kita laluilah yang akan lebih membekas dalam kehidupan kita selanjutnya. Euforia cumlaude dan wisuda mungkin hanya bertahan sebulan atau setahun setelah wisuda. Tapi, coba lihat, apakah sepuluh tahun kemudian masih terasa euforia itu? Mungkin iya, tapi lebih banyak tidak. Di lain sisi, proses yang kita alami sehingga kita wisuda dan mendapat nilai di KHS pastilah sudah mempengaruhi dan membekas dalam diri kita.

Jadi yang terpenting adalah bagaimana kita melalui proses dengan sebaik-baiknya. Dalam proses itu pasti ada niat pula. Ketika niatnya baik, akan baik pula proses yang dilalui. Dan jika prosesnya baik, sangat besar kemungkinannya pula kalau hasilnya pun akan baik.

So, perbaiki niatnya, jalani prosesnya, nikmati hasilnya. Dengan keyakinan akan tiga hal itu, insya Allah tak akan ada lagi khawatir yang coba-coba mampir.



Wednesday, 26 December 2012

Noda Belajar

04:05 0 Comments

Ga ada noda, ga belajar! Rasanya, kita sudah sangat sering mendengar slogan ini di layar kaca atau media-media lainnya.

Bagi sebagian orang, mungkin slogan ini dipandang dengan sebelah mata plus dengan bibir mencibir pula. Barangkali dalam hati mereka berkata, "Buat belajar dengan noda? Kalau bisa tetap belajar dengan bersih, kenapa harus dengan noda? Tanpa noda juga tetap bisa belajar kok"

Ya, memang benar. Siapapun tetap bisa belajar tanpa harus dengan menciptakan noda. Terlebih untuk mereka-mereka yang memang dituntut untuk selalu steril dan bersih dalam proses belajar atau bekerjanya. So, slogan di atas memang tidak berlaku dalam hal ini. Tentunya juga akan sangat bersyukur sekali jika kita tetap bisa belajar tanpa menciptakan noda apapun juga.


Tapi, makna slogan di atas memiliki sudut pandang yang berbeda. Noda yang tercipta justru sebagai sarana belajar itu sendiri. Orang yang menciptakan noda justru akan bertambah 'ilmunya', tentunya jika disikapi dengan baik. Ketika noda itu muncul, orang tadi lantas bertanya-tanya, "Kenapa bisa muncul noda? Apa dampaknya kalau ada noda ini? Bagaimana saya harus menghilangkan noda?" dan seterusnya, maka orang yang memiliki noda inilah yang akan jauh lebih banyak belajar. Artinya, dengan noda itulah dia tahu dimana letak kesalahannya sekaligus tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya. Di lain sisi, orang yang selalu steril boleh jadi hanya tahu bagaimana yang sebenarnya, dan hanya mereka-reka saja kira-kira seperti apakah keadaan yang bernoda itu.

Lantas, apakah kita harus menciptakan noda itu? Tidak juga. Bukan berarti kita harus menciptakan noda sebanyak-banyaknya dengan dalih ingin lebih pintar dari yang steril. Selagi mampu membuat sesuatu dengan steril, lakukan saja. Andai suatu ketika muncul noda, jadikan sebagai sarana belajar baru buat kita.

Seperti kata seorang teman, "Kita memang harus berjalan lurus. Tapi jika hanya berjalan lurus, kita tidak tahu apa yang ada di kanan kiri kita. Jika terus berjalan lurus, suatu waktu kita akan terbentur ujung jalan juga. Maka, berbeloklah sedikit. Bukan karena mengingkari jalan yang lurus, tapi justru agar kita tak terhenti dan kembali menemukan jalan lurus tadi".

Perumpamaan teman saya ini berlaku dalam banyak hal. Sebagai contoh, jalan lurus ini bisa diartikan dengan kehidupaan perkuliahan di kampus. Kita boleh saja berharap kehidupan kuliah kita lancar maju terus tanpa hambatan. Tapi, bukan tidak mungkin akhirnya kita terpentok pada ujung jalan. Tidak lulus, remed, mengulang, dan beberapa keadaan lainnya. Apakah akan berhenti? Tentu saja tidak. Kita harus berbelok sedikit untuk bisa berjalan lurus lagi. Tak ada salahnya kita berbelok dengan mengikuti perkuliahan bersama adik tingkat karena mengulang, tak ada salahnya pula jika kita berbelok sejenak untuk masuk pit stop karena remed ujian.

Intinya, tak ada alasan untuk terhenti. Sekalipun itu noda, pasti akan hilang dengan detergen ampuh. Sekalipun itu ujung jalan, pasti ada belokan untuk melaju lagi. Insya Allah..