Ramadhan#2
Saya teringat catatan di Ramadhan dua tahun yang lalu. Tepatnya catatan terakhir dari serial 30 Hari Mencari Cinta. Sebagai akhir pencarian cinta, di situ saya menuliskan pertanyaan “who am I?”. Sudah dua tahun berselang dan lagi-lagi pertanyaan itu kembali membayang.
Saya teringat catatan di Ramadhan dua tahun yang lalu. Tepatnya catatan terakhir dari serial 30 Hari Mencari Cinta. Sebagai akhir pencarian cinta, di situ saya menuliskan pertanyaan “who am I?”. Sudah dua tahun berselang dan lagi-lagi pertanyaan itu kembali membayang.
Orang bisa saja menjawab pertanyaan siapa saya dengan
menyebutkan namanya, profesinya, keluarganya, dan lain sebagainya. Bisa juga
orang akan menyebutkan tentang watak-wataknya, kelebihannya, atau
kekurangannya. Sedikit banyak, apa yang akan orang lontarkan untuk menjawab
pertanyaan itu sebanding dengan seberapa dia mengenal dirinya sendiri.
Ketika mengikuti organisasi dulu, ada sebuah game unik yang berjudul ‘Aku di Matamu’. Permainan
ini sebenarnya adalah sebuah cara untuk mengenal siapa diri kita sebenarnya.
Lewat sebuah kertas, setiap orang menuliskan hal positif, negatif, dan saran
untuk kita. Masing-masing saling mengisi dan kertas terus berputar hingga
akhirnya kertas itu kembali ke tangan kita sendiri.
Ada yang mengatakan bahwa orang lain justru lebih mengerti
bagaimana watak seseorang daripada dirinya sendiri. Maka itulah yang
disampaikan oleh kertas itu. Kita akan mengenal diri kita sendiri setelah
membaca bagaimana penilaian teman-teman terhadap kita.
Jujur saja ketika
membaca kertas itu, ada beberapa kata sifat yang saya bahkan tak menyangka
bahwa itu melekat di diri saya. Ada beberapa faktor yang mendasarinya. Bisa
jadi karena kita masih terselimuti oleh pencitraan tertentu atau karena orang
lain yang kebetulan menuliskan itu tidak cukup mengenal baik siapa diri kita
sebenarnya. Tapi di lain sisi, bisa jadi justru itulah karakter kita yang
sebenarnya yang tak pernah kita sadari sebelumnya.
Siapakah diri kita juga bisa dilihat dari siapakah
teman-teman dekat kita. Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa berteman dengan
penjual minyak wangi akan terkena wanginya dan berteman dengan pandai besi akan
terkena percikan apinya. Begitu juga dengan kita. Seperti apakah diri kita akan
terlihat dari orang-orang yang dekat dengan kita. Bukan berarti kita menjadi
pilih-pilih teman. Tapi, memutuskan siapa yang menjadi teman karib hingga
mempengaruhi rutinitas sehari-hari tentu akan menjadi penilaian tersendiri.
Semua penilaian itu hanyalah cara agar kita lebih mengenal
siapa diri kita sebenarnya. Sedemikian repotkah? Sebegitu perlukah? Tentu saja.
Karena bagaimana kita mau dikenal baik dan diperlakukan dengan baik oleh orang
lain jika kita tidak mengenal siapa diri kita sendiri. Bahkan, dengan cara
mengenal diri sendiri itulah maka kita akan mengenal Tuhan kita.
So, selamat menyelami diri sendiri. Selamat mengenali diri
pribadi.
Bill Cosby, seorang komedian kulit hitam, pernah berkata: "I don't know the key of success. But the key of failure is trying to pleased everybody"
ReplyDeleteMendefinisikan diri kita berdasarkan pemahaman yang disampaikan orang lain menurut saya kurang bijak.
Definisi diri kita, ya enaknya dimulai dengan mengenal diri kita.
Jika kita nyaman dengan ide2 kita tentang kita sendiri, kita memahami gairah, kenyamanan, kekuatan pun kelemahan,, ini ibarat kita memiliki data logistik yang tepat sebelum mengarungi peta kehidupan.
Begitu kuatnya kita mengenal diri kita, menjadi landasan kokoh untuk menggerakkan orang2 sekitar kita. Mengenal diri kita sendiri berarti kita bisa mengenali karakter2 apa yang akan kita tonjolkan.
Karakter yang kuat, ide yang jelas tentang kita inilah, yang akan menarik orang untuk mengenal pribadi kita sebagai orang yang konsisten dengan citra tersebut.
Best,
tmy
Tentu saja definisi diri kita memang dimulai dari mengenal diri kita. Semakin kuat branding kita, semakin kuat pula orang lain menilai diri kita sesuai branding itu tadi. Tapi, ada yang perlu diingat. Ada faktor X yang mungkin tidak kita tahu yang ternyata sudah menjadi penjelmaan diri kita di luar branding yang memang sengaja kita tonjolkan. Di sinilah hal yang saya maksud dalam artikel ini.
ReplyDeleteContoh realnya begini. Sebut saja hasil kertas dari penilaian teman-teman organisasi tentang diri saya. Okelah, saya sudah menganggap sangat biasa jika orang menilai saya pendiam, inspiratif, planner, tegas, galak dll. Tapi betapa terkejutnya saya ketika ternyata ada yang menuliskan bahwa saya terlalu polos atau tak terjangkau. Nah, boleh jadi diri saya memang begitu. Ada orang-orang di organisasi saya yang tidak 'nyaman' dengan saya karena merasa tidak bisa menjangkau saya. Boleh jadi saya terlalu mengeksklusifkan diri. Bukankah itu bisa menjadi masukan agar saya bisa membuat citra yang ingin saya tonjolkan lagi?