Follow Us @soratemplates

Thursday, 26 September 2019

Clutter? Yuk decluttering!

22:56 0 Comments


Materi pertama di kelas Gemar Rapi adalah tentang clutter. Apa itu clutter? Mudahnya, segala yang tak sedap dipandang, tak enak didengar, tak nyaman dirasa itulah clutter.

Segala clutter ini harus dibereskan alias dirapikan. Proses ini dinamakan decluttering. Nah, lewat Gemar Rapi inilah nanti kami diajak step by step merapikan semua clutter.

Setelah paham tentang konsep clutter, tugas pertama adalah mengidentifikasi apa saja clutter di rumah masing-masing. Tentunya dengan mengidentifikasi maka kita jadi tahu bagian-bagian mana yang akan di-decluttering. Namun prinsip decluttering ini memakai prinsip berlaku untuk barang milik sendiri. Karena bagaimana pun hak untuk merawat atau bahkan membuang barang tentu saja harus seizin dari yang punya. Berhubung saya tinggal dengan mertua maka ada spot-spot tertentu yang sebenarnya bukan bagian saya.

Clutter yang saya identifikasi mulai dari kamar yaitu baju-baju di almari, khususnya baju anak-anak. Berhubung suka pilih baju sendiri, risikonya penataan baju jadi terkesan tidak rapi.
Di sisi atas almari juga masih menjadi clutter karena seolah menjadi space untuk meletakkan segalanya. Ada buku yang masih dalam proses baca di situ, ada laptop dan chargernya, ada topi dan asesoris, kertas-kertas dll. Menurut saya ini clutter paling wow di sudut kamar.

Beranjak keluar, di ruang tamu yang sekaligus jadi ruang keluarga adalah meja besar yang berisi segala toples-toples makanan. Ini bukan milik saya. Tapi mungkin bisa saya rapikan saja.

Ruang keluarga yang sesungguhnya beralih fungsi jadi 'ruang galon' karena menyetok galon 10 biji. Awalnya karena dengan mendaftar jadi agen maka harga lebih miring. Hanya saja memang negatifnya menjadi clutter dan galon pun memakan ruang tersendiri. Mungkin nantinya perlu dicarikan 'rumah' galon dulu.
Ditambah lagi akhirnya mainan anak yang berukuran besar seperti sepeda atau mobil ikut parkir di situ. 
Pun buku-buku dagangan dan stok-stok apapun ikut teronggok di tempat ini. Tak nyaman sebenarnya, tapi memang beberapa bukan ranah saya.

Di dapur, tak banyak yang bisa saya otak-atik. Hampir 100% barang di sana bukan milik saya.

Di ruang kerja suami, cukup clutter juga. Karena beberapa bulan yang lalu sedang ada renovasi di dapur dan kamar mandi, jadilah barang-barang dapur masih berantakan dan sebagian masuk ke ruang kerja. Sayangnya belum sempat untuk ditata ulang. Mungkin nanti bisa dikerahkan untuk menata bersama, biar masing-masing ruang kembali sesuai fungsinya.

Terakhir kamar tidur tamu yang beralih fungsi jadi tempat persembunyian. Baju-baju yang sudah niat dishodaqohkan sejak tahun lalu masih teronggok di situ. Kado-kado, baju-baju yang sengaja disimpan untuk next generation, 'koleksi' tas, dan apapun yang tak terpakai tapi masih belum dieksekusi semua masuk di kamar ini. Sekalipun masih bisa ditempati, tapi kamar ini kesannya penuh. Mungkin memang harus segera dieksekusi agar terkesan lapang dan bukan jadi clutter lagi.

Kesannya sepele memang, atau mungkin dianggap biasa karena memang sudah begitu dari dulunya. Tapi sebenarnya clutter ini memang mengganggu.
Suami misalnya, ketika harus menerima tamu dan biasa dijamu di ruang kerja (kantor) terpaksa di ruang teras karena ruang kerjanya penuh barang rumah tangga.
Pun ketika ada acara keluarga yang harus menggunakan ruang keluarga, terpaksa galon-galon yang di sana pun dipindahkan dulu tempatnya.

Harapannya dengan nanti semua sudah memiliki tempatnya, maka rumah menjadi lebih rapi. Semua berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada kerepotan-kerepotan ini itu karena moment-moment tertentu. Setidaknya dari decluttering barang milik saya, perlahan akan sedap dipandang pula untuk spot-spot lainnya.

Apakah terkesan mulul-muluk? Tidak, sewajarnya saja.

Bukan karena trend atau apa. Hanya saja memikirkan hisab kelak di akhirat itu cukup menjadi pengingat juga. Ketika semua barang menumpuk di rumah dan itu semua atas nama kita, bukankah akan lama waktu yang dipakai untuk menghisab barang itu satu per satu.

Sebaliknya jika barang-barang itu ada yang berpindah tangan barangkali di akhirat nanti barang-barang itu justru kembali datang pada kita dan menambah timbangam pahala sedekah kita.
Wallahua'lam...

Sunday, 22 September 2019

Gemar Rapi, Menata Diri Menata Negeri

09:29 0 Comments


Bismillahirrahmanirrahim...

Minggu ini saya mulai mengikuti kelas gemar rapi. Adakah yang pernah mendengar tentang komunitas ini?

Gemar rapi adalah komunitas berbenah yang terinspirasi dari metode berbenah ala Jepang yaitu konmari. Awalnya komunitas ini pun bernama Konmari Indonesia. Tapi nyatanya berbenah ala Jepang belum tentu cocok diaplikasikan di Indonesia. Jadilah komunitas ini bertransformasi menjadi Gemar Rapi, komunitas berbenah yang memakai tagline menata diri menata negeri.

Memangnya saya suka berbenah? 
Yah, walaupun kualitas berbenah saya sekedar dalam batas normal, tapi melihat rumah yang rapi itu rasanya sungguh menyenangkan.

Pernah suatu ketika saya berkunjung ke rumah saudara. Karena anak saya ngantuk dan tertidur, saya dipersilakan untuk menidurkan anak di salah satu kamar. Begitu saya masuk, masya Allah rapinya bukan main. Tempat tidur tertata rapi dengan bantal, guling, selimut ditumpuk di sudutnya. Buku-buku pelajaran sekolah anaknya pun tersusun rapi. Tas-tas ada tempatnya sendiri. Mainan anaknya juga ada space tersendiri di pojok kamar. Bahkan baju-baju yang tergantung pun tetap sedap dipandang.

Lalu saya berpikir, nggak mungkin ini kalau baru saja dibersihkan total satu kamar. Pasti ada habit yang sudah tertata sedemikian lama sehingga seluruh sudut kamar tampat tertata. 

Saya pun merefleksikan diri saya. Ah, betapa banyak hal yang bisa saya tata sebenarnya. Betapa kamar dan rumah saya jadi terlihat sangat berantakan jika dibandingkan punya saudara.

Maka saya pun memutuskan mulai berbenah sejak itu. Namun saya tergelitik untuk tahu ilmunya. Biar berbenah saya bukan sekedar aktivitas insidental, lalu kembali berantakan lagi dan harus berbenah lagi. Saya ingin jiwa rapi itu pun menjadi habit baru dalam diri. Maka saya memilih untuk ikut join komunitas gemar rapi.

Sayangnya batch pertama sudah berjalan waktu itu, dan pembukaan sesi berikutnya belum dimulai. Ketika akhirnya ada info pembukaan batch kedua, saya buru-buru menyalakan notifikasi demi agar tidak ketinggalan berita.

Saat berhasil mendaftar pun aura semangat berbenah sudah mulai terasa. Siapa sangka sejak awal bulan ini saya sudah mulai berbenah 'lagi'. Padahal kelas baru dibuka di minggu ketiga. 

Beberapa sudut kamar sudah dieksekusi. Memang hanya berbenah kecil. Belum sampai merombak total isi kamar atau rumah. Ya, sedikit demi sedikit saja. Tapi yang sedikit begini saja sudah sangat berasa dampaknya.

Rasanya tak sabar untuk mulai belajar di minggu-minggu berikutnya. Semoga saya bisa benar-benar mengaplikasikan ilmu yang didapat nanti. Dan semoga benar-benar seperti tagline gemar rapi, mulai dari menata diri, maka akan menata negeri. Insya Allah

Saturday, 7 September 2019

Bebas

15:25 0 Comments


Seseorang yang merasa terkekang dalam hidupnya terbersit sebuah pikiran, "Alangkah indahnya hidup bebas". Segala hal yang berbau bebas memang terkesan menyenangkan. Kebebasan finansial contohnya, atau kebebasan berpendapat misalnya. Rasanya seseorang dengan finansial yang bebas sudah lepas dari belenggu permainan uang dan terkesan menyenangkan.

Nyatanya tidak semua yang diberi kebebasan itu berdampak sebuah kesenangan. Ada kalanya bebas itu justru membingungkan. Tak jarang pula bebas justru menjadi sesuatu yang tak mengenakkan.

Misalkan ketika akan menentukan sebuah pilihan. Ketika beberapa pilihan ditawarkan lalu muncul jawaban bebas alias terserah, mungkin justru menjadi buah simalakama tersendiri. Ada rasa khawatir jika nanti yang dipilih ternyata tidak sesuai hati. Tentu akan lebih pasti andai langsung saja menjawab pilih A atau B.

Bahkan boleh jadi bebas justru menyiksa. Seorang narapidana yang bertahun-tahun hidup di lingkungan penjara terkadang justru mengalami shock culture ketika bisa menghirup udara bebas. Biasanya hidup sudah diatur, makan tersedia, rutinitas begitu-begitu saja, lantas harus keluar dari balik jeruji dan menentukan nasib sendiri dengan sebebas-bebasnya. Hingga ada perkara yang muncul kembali justru karena merasa terlanjur nyaman dengan ikatan pidana.

Begitu juga ketika harus menuliskan sesuatu atau menciptakan sebuah karya. Tema bebas bisa menjadi pisau bermata dua. Bagi sebagian orang terasa menyenangkan, tapi bagi sebagian yang lain tema ini justru lebih menyiksa.

Masalahnya ada di ide. Bagaimana kita bisa menangkap ide untuk menghasilkan karya. Apa yang terlintas di pikiran, itu saja yang dituliskan. Bingung? Tulis saja kalau sedang bingung. Terpikir naskah, tulis saja tentang sulitnya membuat naskah. Begitu seterusnya hingga tanpa sadar kita sudah menjawab tema itu sendiri.

Masa cuma begitu? Tak masalah, karena tak ada yang salah dengan apapun yang tercipta. Bukankah ini bebas?