Pagi yang dingin, namun sepeda motor yang buluk karena belum sempat dicuci harus segera kulajukan. Pretest biokimia! Pasrah, baru belajar satu jam yang lalu. Alhamdulillah, berjalan lancar. Selepasnya, sebuah peringatan SMS masuk dari kakak tingkat menghiasi layar HP-ku.
"Asl. Dek, hari ini yang jaga siapa ya?"
Aku melihat jadwal jaga yang aku simpan di HP-ku. Kosong. Tidak ada yang bertugas jaga. Duh, bagaimana ini. Amanah untuk mencari orang yang jaga, tapi tidak ada yang bersedia. Berpikir sejenak, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Sejurus kemudian melihat dengan sangsi pada jadwal kuliah yang kupampang di halaman depan binderku. Sebuah kilatan mata jahil, aku akan bolos kuliah siang ini.
Sayang, masih terbentur juga. Masih harus mencari satu orang lagi. Dengan berharap cemas, aku bertanya pada kawanku, "Seandainya kita bolos satu kuliah siang ini untuk jaga pos, kamu mau?"
Dan serta merta, kawanku bersedia. Jadilah kami berangkat siang itu.
Siang yang terik, tidak semendung biasanya. Dengan sepeda motor yang makin buluk terkena debu jalan raya Solo-Semarang, kami nekat untuk terus melaju. Hingga akhirnya sepeda motorku berhenti di halaman sebuah SD bertuliskan "SD 9 Boyolali, Posko Bencana Merapi Pengungsi Tupang, Selo, Cepogo".
Dengan berjalan cepat, aku dan kawanku menuju sudut halaman yang terpampang spanduk "Posko Kesehatan MER-C Solo". Sepi. Hanya ada 2 orang kakak tingkat dan 1 orang coass. Kami segera bergabung dengan mereka. Melakukan tugas seperti biasanya, meracik obat.
Sore menjelang, beberapa relawan yang bertugas jaga mulai berdatangan, termasuk seorang pria dengan wajah resah yang bingung menghampiri posko kami. "Mbak, saya dari Universitas Boyolali. Baru saja ada pengungsi datang, dia tidak bisa jalan. Mungkin patah tulang. Kami tidak punya tim medis yang memadai. Seandainya bisa, kami ingin minta tolong MER-C untuk menuju posko kami." kata mas itu pada coass yang memang bertugas di meja periksa.
Tak perlu berlama-lama, Pak Yudhi sebagai koordinator tim medis mobile mengatur tim. 2 orang coass berangkat dan dibutuhkan pre-klinik untuk membantu. Jadilah, aku dan kawanku turut menyertai. Bersama mereka dan tentunya mas UNB tersebut, kami bertolak ke UNB dengan mobil ambulance.
Sesampai di UNB, suasana tidak seramai posko SD 9. Posko baru, begitu katanya, dan masih sedang dalam proses evakuasi pengungsi. Kami segera digiring menuju pengungsi yang dikira mas UNB tadi mengalami patah tulang.
Namanya Muhammad Yasin. Usianya 15 tahun. Wajahnya terlihat bersih, tampan kurasa. Tapi ada yang aneh. Dia selalu menunduk. Bukan..., bukan menunduk dalam arti menjaga pandangan, tapi menunduk karena tak ingin berinteraksi dengan orang. Dengan sabar, kedua orang coass kami mulai melakukan pemeriksaan. Kaki kanannya terlihat tak wajar. Terlihat lebih kecil dan pipih dibanding yang kiri. Telapak kakinya melengkung. Dalam istilah kedokteran, kami menyebutnya talipes. Aku dan kawanku yang masih semester 3, baru saja mendapat materi talipes dan kami lantas menduga, ini kasus talipes. Kami masih mengamati apa yang dilakukan oleh kedua coass di hadapan kami. Melakukan palpasi, sentuhan di bagian kaki. Ternyata tidak nyeri. Seorang coass mencoba meluruskan kaki yang bengkok itu seperti normal, dan ternyata tak nyeri pula. Aku dan kawanku, mulai heran. Kemudian coass meminta ia untuk berdiri tegak sedang coass yang satunya meluruskan telapak kakinya. Ternyata tak sakit juga. Kemudian ia diminta berjalan perlahan. Lagi-lagi ia tak merasakan nyeri.
Ia kembali duduk. Seorang coass kami mulai mengajaknya bicara dan coass kami meminta, "bisa tidak kalau menjawab pertanyaan sambil melihat wajah saya?" Dia pun melirik sedikit. Namun tak berani menatap wajah mbak coass itu. Ketika ditanya, "Sering main ke luar rumah ga?" Dia hanya menggeleng. Tapi mbak coass kami tidak puas. "Coba bilang 'tidak' sambil melihat saya." Dia pun berkata sambil menoleh sedikit dan kembali menunduk lagi.
Sebuah kesimpulan yang kedua coass kami ambil, ternyata berbeda dengan praduga kami. Mbak coass itu berkata, "Ini tidak apa-apa. Kaki kamu sehat kok. Sering dipakai jalan-jalan saja ya." Lalu mas coass kami pun mengajaknya berdiri, "Ayo, jalan-jalan. Kakimu harus dibuat latihan jalan." Jadilah mereka berdua berjalan perlahan-lahan mengelilingi Universitas Boyolali.
Aku dan kawanku yang masih kaget kalau ternyata dia tidak apa-apa segera diberi penjelasan oleh mbak coass kami. "Dia memang tidak apa-apa. Kelainan di kakinya muncul karena dia minder. Dia hanya sekolah sampai SD kelas 6. Sedangkan teman-temannya bisa melanjutkan sekolah. Dia punya teman sebenarnya, tapi karena minder, dia tidak mau diajak main. Akibatnya dia hanya di rumah dan mendekam, duduk tanpa berbuat apa-apa."
Hm..., sebuah pelajaran baru buat kami. Tak semuanya hanya diputuskan dari inspeksi pemeriksaan fisik. Harus ada anamnesis yang matang karena bisa saja fatal, sesuatu yang sebenarnya tidak apa-apa tapi kami kira terjadi apa-apa.
Sambil menunggu mas coass dan Yasin berjalan-jalan, kami duduk-duduk sambil mengobrol. Mencoba menyerap lebih banyak ilmu dari mbak coass yang terlihat sangat piawai menangani kasus tadi. Tiba-tiba seorang bapak-bapak datang dengan menggendong wanita yang terlihat lemah. Lantas, mas UNB menghampiri kami dan berkata, "Mbak, tolong pengungsi itu juga diperiksa." Kami pun bergerak.
Mbak coass menyerahkan stetoskop dan tensimeternya padaku. "Dek, cek tensinya." Aku pun melakukan perintah mbak coass. Dia sendiri mulai melakukan anamnesis pada wanita itu dan seorang ibu yang ternyata adalah kakak iparnya. Usut punya usut, wanita itu menderita Ca mammae. Ketika dilakukan anamnesis, wanita itu menangis. Tenyata dia ditinggal pergi oleh suami dan anaknya. Mereka kerepotan mengurus wanita itu dan menitipkan wanita itu pada kakak iparnya. Biaya untuk operasi tak ada, sehingga mereka hanya bisa menunggu. Mbak coass kami mulai menguatkan, bahwa di RS Moewardi asalkan memiliki jaminan kesehatan pasti akan gratis. Sayang, meski sudah memiliki jaminan kesehatan, mereka tak tau prosedur apa yang harus dilakukan. Hm..., informasi yang kurang..
Lagi-lagi, aku dan kawanku surprise. Dua blok yang lalu kami mendapatkan materi tentang neoplasma yang mana lebih banyak membahas kanker payudara. Sekarang di depan mata kami ada pasien dengan kasus Ca mammae dan seorang coass melakukan pemeriksaan fisik persis seperti teori yang kami dapati selama ini.
Keputusan diambil. Mumpung kasus ini ketahuan, mbak coass meminta untuk dirujuk. Meskipun bukan kegawatdaruratan akibat bencana merapi, tetapi pasien ini akan lebih baik jika berada di rumah sakit. Keluarganya sepakat, karena mereka pun merasa mendapat jalan untuk mengobati saudaranya itu.
Dan di sinilah kami sekarang. Di dalam mobil ambulance yang meraung-raung menerobos jalan untuk membawanya menuju RS Pandanaran.
PS:
Terima kasih untuk Dahniar yang mau menemaniku menjadi 'relawan' (rela mengorbankan kuliah). hehe..
Maaf kalau malamnya saat pulang kamu harus aku 'hujan-hujankan'. Semoga tidak sakit...
Hari itu benar-benar amazing.
Dan ingat kesimpulanmu sendiri, "Ternyata teori-teori kuliah itu ga ngapusi..." Haha...
Boyolali, 8 November 2010
subhanallah.. semangat, Mbak!
ReplyDeletebtw, 'ngapusi' itu apa ya, Mbak?
syukron sebelumnya, Mbak..
Ngapusi itu bohong, mbak..
ReplyDelete(Ternyata teori-teori kuliah itu ga bohong...)
sebenernya relawan ato relawati sih kalo cewek,.hehe,.ini peljaran EYD Indonesia juga e...
ReplyDeletehehe,.
Insya Allah tetap relawan.
ReplyDeleteDalam KBBI (kamus besar bahasa indonesia), tidak ada kata 'relawati'.
Kata 'relawan' itu sendiri merupakan kata benda yang menjadi kata dasar yang berdiri sendiri, bukan sebagai derivat dari kata 'rela'.
Jadi penggunaannya tetap memakai relawan meskipun dilekatkan pada subjek wanita.
PS: terima kasih sdh menanyakan ini. Membuat saya mengingat lagi bahasa Indonesia dan kembali membuka KBBI.
kemarin sempat dapet sms dari teman juga, "berangkat ke Jogja nggak kang?"
ReplyDeleteketika membaca sms itu, sebenarnya hati langsung tergerak ingin langsung berangkat dan membantu teman-teman yang ada di sana.
tapi apa daya, ketika musibah itu terjadi di kampus saya jadwal perkuliahan masih berlangsung seperti biasanya, dengan praktikum dan laporannya yang tak bisa untuk ditunda dahulu.
jadi ya, hanya bisa berdoa untuk yang terbaik saat itu.
*agak nggak nyambung ya?
hm..nyambung kok. kan judulnya antara relawan, kuliah, dan kenyataan.
ReplyDeleteya, yang penting selalu ada do'a untuk mereka..