Follow Us @soratemplates

Friday 14 January 2011

Bagaimana Aku Bisa Percaya?


Kepercayaan adalah sesuatu hal yang mahal. Kupikir begitu. Bukankah dalam hidup ini pun kita dituntut untuk percaya pada Tuhan? Kurasa ini adalah suatu hal yang mahal. Ya, karena kepercayaan ini akan dibayar dengan kehidupan akhirat yang kekal. Sangat mahal, mungkin terlalu mahal. Aku menggenaralisasi kesimpulanku ini. Kepercayaan itu mahal. Entah pada Tuhan, manusia, atau diri sendiri sekalipun.

Sejujurnya aku bukanlah orang yang mudah percaya pada orang lain. Maka, kali ini aku bertanya, “Bagaimana bisa mempercayai orang lain?”.

Lagi-lagi kepercayaan adalah hal yang mahal yang harus dibayar dengan mencicil pelan-pelan. Kepercayaan tidak mungkin dibangun dalam sekejap mata, butuh waktu lama untuk meletakkan satu demi satu batu bata untuk membangun rumah kepercayaan. Sayangnya kepercayaan yang susah payah terbangun kadang bisa sirna dalam sekali mengedipkan mata. Yah…, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.

Mempercayai orang lain memerlukan sebuah bayaran tersendiri. Baiklah, aku paham dengan istilah don’t judge the book by its cover. Tapi dalam kamus kehidupanku, manusia jelas terpancar dari dirinya. Di depanmu bisa jadi mereka baik-baik saja, tapi di belakangmu tidak ada yang tahu. Dan sedikit mengada-ada, aku punya sedikit intuisi untuk melihat hal itu dari sorot mata mereka. Intuisi, bukan bermaksud berprasangka buruk. Meskipun kadang aku berpikir, betapa tipis antara intuisi dengan prasangka. Tapi, bukankah mata tak pernah bohong? So, rumus kepercayaan pertamaku adalah melihat sorotan matanya.

Sorot mata terlihat tanpa kita harus berinteraksi dengannya. Begitu interaksi terbentuk, rumus lainnya bisa berjalan. Beberapa waktu lalu sebuah tweet menarik dari seorang teman sengaja aku retweet. Kurang lebih isinya begini: never trust to someone who lies to you and never lie to someone who trusts you. Hm…, menarik. Kepercayaan dibayar dengan kejujuran. Tapi, belum tentu diawal kita tahu dia berbohong atau tidak. Lagi-lagi intuisi bermain. Kita bisa menilai apa yang sering dia bicarakan. Tentang dirinyakah atau tentang orang lain kah? Dari sana bisa kita nilai apakah ia termasuk orang yang bisa dipercaya. So, rumus kepercayaan keduaku adalah mulutnya.

Rumus ketiga kurang lebih merupakan perpaduan dari pertama dan kedua. Makin sering berinteraksi tentu kita bisa menilai apakah kita bisa percaya atau tidak. Dilihat dari mana? Dari tingkah lakunya, dari respeknya terhadap kita. Bukan berarti orang yang respek pada kita lantas bisa dipercaya. Lihat situasi dan kondisi karena bisa jadi mereka pun respek hanya pada situasi dan kondisi tertentu saja. Tentu akan aneh kalau orang yang jarang berinteraksi tiba-tiba menawarkan diri menemani jalan-jalan, atau orang yang biasa kita ajak ngobrol tiba-tiba mengacuhkan diri kita. Yup, rumus yang ketiga adalah respeknya atau tingkah lakunya.

Baiklah, mungkin rumus kepercayaan di atas terlalu mengada-ada. Tapi bagi Anda yang sedang merasa sangsi dengan apa itu percaya, mungkin selayaknya patut dicoba. Kita tak tau siapa mereka sebenarnya karena kita bukan Tuhan yang tahu segalanya.



4 comments:

  1. setuju mbak avi..
    nice posting.
    :D

    ReplyDelete
  2. makasih acha'...
    keep posting..

    ReplyDelete
  3. baru-baru ini saya mendapat pelajaran...

    jangan percaya pada orang yang terlalu banyak berjanji atau berlebihan dalam mengucapkan janjinya...

    ReplyDelete
  4. betul sekali mbak..

    saya terinspirasi menulis postingan di atas juga gara-gara itu. mendapati seseorang yang janjinya banyak sekali...

    ReplyDelete