Dulu, saya pernah menulis tentang perkara memberikan pujian.
Waktu itu saya melihat dari sudut pandang orang yang dipuji. Ada yang merasa
senang hingga menyombongkan diri. Ada yang bahagia dan hanya diam saja. Ada
yang suka lantas bertasbih pada yang Maha kuasa, tapi ada juga yang marah
hingga ibarat menyemburkan pasir ke wajah orang yang memujinya.
Sekarang, coba kita lihat dari sudut pandang orang yang
memberikan pujian. Ketika seseorang melontarkan pujian, tentu dia memiliki
beberapa maksud tertentu. Boleh jadi dia hanya mencari muka bak seorang
penjilat. Namun bisa juga dia memang kagum dan merasa ingin memuji orang tersebut.
Ada yang perlu digarisbawahi di sini. Kembali ke rumus yang
pertama bahwa segala puji hanya bagi Allah, maka ketika kita merasa ingin
memuji sesuatu, ingatlah bahwa Allah-lah yang selayaknya menjadi sasaran pujian
itu. Misal, kita melihat seseorang yang demikian mempesona. Alih-alih memujinya
secara langsung, lebih baik kita jika kita mengucap “Masya Allah..., Maha suci
Allah yang telah menciptakan makhluk yang sungguh mempesona”.
Ucapan di atas memiliki beberapa makna. Secara tidak
langsung ucapan itu akan menambah keimanan dan kesyukuran kita kepada Allah Ta’ala.
Kita akan semakin menyadari bahwa Allah-lah yang Maha kuasa atas segala
sesuatu. Di satu sisi, kita pun akan membantu saudara kita yang mempesona itu
tadi dari penyakit-penyakit hati. Mengapa demikian? Karena kita tidak tahu, apa
yang akan terjadi pada dirinya jika kita benar-benar memuji di hadapannya.
Boleh jadi dia menjadi lupa diri dan sombong, mungkin juga dia akan merasa
bangga tapi melupakan kekuasaan Allah ta’ala, atau bisa jadi juga dia justru
menjadi marah kepada kita. Jika dia marah karena dipuji, jangan-jangan justru kita
yang akan sakit hati, merasa sudah memberi pujian tapi tidak dihargai. Nah,
justru semakin panjang urusannya kan?
Menjaga lisan untuk tidak memberikan pujian khususnya secara
berlebihan sedikit banyak memang benar-benar akan membantu saudara kita. Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW pernah mendengar seorang laki-laki yang memuji
laki-laki lain dengan berlebihan dalam pujiannya. Beliau bersabda, “Kamu
membinasakannya dan memotong punggung orang itu” (H.R. Bukhari).
Na’udzubillahimindzalik. Coba bayangkan, kita yang demikian
kagum dengan seseorang berniat untuk memberikan pujian agar orang itu senang,
tapi di lain sisi yang kita lakukan justru membinasakan dan memotong punggung
orang tersebut. Bukankah itu sangat kontradiktif? Sayangnya, orang yang kita
puji belum tentu sadar bahwa dia telah binasa atau telah terpotong punggungnya.
Sungguh, kita ibarat musuh dalam selimut, bersikap manis padahal sebenarnya
kita membunuh. Na’udzubillah...
Maka, jika kita memang benar-benar mengaguminya, tentu kita
akan berusaha untuk menjaga. Artinya, bukan dengan memberikan pujian yang
demikian hebatnya, tapi justru dengan mengagumi Allah SWT dan berdoa atasnya. Selain
terhindar dari membinasakan saudara kita, cara ini juga akan menghindarkan kita
dari ancaman kufur terhadap Sang Maha kuasa. Di samping itu, boleh jadi kita
justru akan mendapat pahala karena bertasbih dan mengingat Allah SWT dalam
berbagai kondisi.
Jadi, jangan salahkah kami yang mungkin tidak pernah memuji.
Bukan berarti kami iri hati hingga tak mau memuji, atau bukan berarti kami
demikian tinggi hati hingga tak sudi untuk memuji, tetapi justru kami ingin
menjagamu dan berusaha untuk menyelamatkan diri.