Ada obrolan menarik yang saya alami pagi tadi dengan seorang teman laki-laki saya. Awalnya kami membicarakan tentang masa depan profesi seorang dokter. Pada akhirnya kami justru membicarakan sudut pandang laki-laki dan sudut pandang perempuan dalam hal pernikahan.
Teman saya bercerita, perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal pernikahan ada dalam pola pikirnya. Seorang laki-laki ingin agar dia diberi kesempatan, sedangkan seorang perempuan berharap agar dia diberi kepastian.
Perempuan berpikir, "Nikahi aku. Tenang saja, aku rela jika harus hidup susah denganmu. Rejeki itu di tangan Illahi, pasti setelah nikah akan ada jalan-Nya sendiri".
Tetapi tidak demikian dengan laki-laki. Dia berpikir, "Tunggu dulu. Beri aku kesempatan. Sekalipun kamu mau hidup susah, tapi aku ingin membuatmu bahagia".
Jika ada perkataan laki-laki dan perempuan seperi itu, barangkali akan ada yang berkomentar, "Udah, putusin aja! Sampai kapan kamu mau menunggu?". Tapi saya tidak sedang membahas itu, saya sedang membahas tentang pemikiran laki-laki dan perempuan.
Sedikit banyak mindset itu tercipta karena budaya. Seorang laki-laki harus bisa menafkahi istrinya, maka ia merasa lebih galau memikirkan pekerjaan dan mengharapkan ada perempuan yang mau memberinya kesempatan. Sebaliknya, seorang perempuan seakan diberikan budaya untuk patuh pada suaminya, dalam arti dia tidak peduli bagaimana nanti dia akan hidup setelahnya karena dia cukup bergantung pada suami yang harus dipatuhinya. Maka perempuan akan lebih galau menanti siapa yang akan memberinya kepastian dan bukan mengkhawatirkan bagaimana pekerjaanku nanti.
Toh seorang laki-laki juga percaya bahwa rejeki juga berasal dari Illahi, bahwa nanti akan datang sendiri. Seorang laki-laki juga tahu bahwa perempuan bisa saja dibawa lari karena ada sesauatu yang pasti dan telah terjadi. Seorang perempuan juga tahu bahwa semua hal itu ada kesempatannya. Dia tahu bahwa dia harus memberi kesempatan siapapun untuk mengejar riski-Nya, dan dia pun juga pasti ingin hidup bahagia.
Lalu bagaimana? Tenang saja, pasti akan ada lock and key-nya. Akan ada seorang pria yang merasa sudah mendapatkan kesempatan dan akan ada seorang wanita yang merasa mendapatkan kepastian. Kun fayakun, jadilah mereka. Jika belum, barangkali memang laki-laki itu masih harus mencari kesempatan (entah dari manapun), dan perempuan itu masih harus mencari kepastian (entah dari siapapun).
Who knows?
amat sangat suka dengan paragraf terakhir,, nice mb avii,,
ReplyDeleteparagraf terakhir = 'who knows?'
ReplyDelete^^
Jika kamu menganalogikannya dengan "lock" and "key", maka tidaklah cukup saja untuk membuka "lock" dengan menancapkan "key"
ReplyDelete"lock" tidak otomatis terbuka meski "key" sudah menancap.
Pun sebaliknya, "key" tidak akan berfungsi dengan baik untuk "lock" jika hanya diam.
Keduanya memerlukan dorongan, ritme untuk bisa menunjukkan fungsinya. Dorong itu adalah "keberanian"
"key" akan membuka "lock" jika setelah menancap ada energi yang menggerakkanya. Keberanian, niat, ketulusan, adalah energi penggerak, ritme yang menjadi jawaban antara "kepastian-kesempatan".
"Kepastian-kesempatan" ibarat pertanyaan mana yang duluan, telur apa ayam?
Ya klo memang niat sudah betul, tulus untuk menjalani bersama, ya kenapa tidak berani untuk melangkah bersama.
#ditulis sambil ngunyah kripik singkong
salam hangat,
tmy
Hm, sebelumnya tidak pernah terpikirkan tentang energi penggerak lainnya ketika lock bertemu key karena menurut saya energi itu pada dasarnya sudah dimiliki oleh masing-masing lock maupun key. Lock pastilah memiliki ketulusan. Key pastilah memiliki keberanian. Lock dan key pasti juga punya niat untuk saling membuka. Tinggal pertanyaannya apakah niat lock akan sama persis dengan niat key A, apakah key A berani untuk membuka lock, dan lain sebagainya.
ReplyDeleteEntah tepat atau tidak analoginya, mungkin bisa diibaratnya seperti kunci serep. Sama-sama ada kunci yang bisa membuka gembok. Tapi belum tentu semua kunci beruntung bisa membuka. Bisa saja yang 1 cuma disimpan di laci dan akhirnya tidak terpakai. Dan hanya 1 kunci lain yang dipilih oleh si pemilik gembok untuk sehari-hari. Padahal kembali lagi semua kunci bisa terpakai.
Mungkin begitu juga, sebenarnya si A cocok saja sama si B dan C. Si A membutuhkan kepastian dan bisa memberikan kesempatan, Si B dan C begitu pula. Masing-masing mereka punya niat yang tulus, punya keberanian, dan energi lainnya. Tapi apakah kepastian atau kesempatan A akan bertemu dengan kepastian dan kesempatan B, atau justru bersama si C? Entahlah, tinggal kuasa Tuhan sebagai pemilik A B C itulah yang menentukan. Lagi-lagi padahal masing-masing sudah punya energi itu, hanya saja energinya ternyata belum tentu bisa bersatu.