Cinta dan benci memiliki kadar yang sama. Jika kamu mencintai seseorang dengan teramat sangat, bisa jadi kau akan membencinya dengan kadar yang sama. Begitu juga sebaliknya.
Rasa cinta atau suka salah satunya muncul ketika seseorang memiliki idola. Terlepas dari definisi bahasa inggris 'idol' yang berarti Tuhan, seseorang sering menganggap idolanya itu serba baik. Tentu saja, jika dia banyak cacat atau cela, rasanya mungkin tidak pantas untuk dijadikan idola. Gampangnya begini. Kita mungkin suka penulis A yang struktur kalimatnya indah, lantas kita mengidolakannya. Ketika ada penulis B yang struktur kalimatnya kacau, maka kita menganggapnya memiliki cela dan lantas kita tidak mengidolakannya.
Masalahnya, seperti kalimat pembuka dalam tulisan ini, kadar cinta dan benci terhadap sesuatu itu cenderung sama. Ketika kita menyukai sesuatu karena kelebihannya, maka kita mungkin mengidolakan atas dasar kelebihan itu. Tetapi andai suatu ketika kita melihat kekurangan dari hal itu, bisa jadi kita tidak terima dan lantas berubah 180 derajat membencinya. Artinya, semakin kita cinta, besar kemungkinan makin dalam juga kita akan membencinya.
Semua itu terjadi karena orang mencoba-coba untuk berekspektasi. Orang berekspektasi bahwa idolanya adalah manusia hebat tanpa cela yang pantas untuk dipuja. Parahnya, barangkali seseorang yang mengidolakan itu bisa sampai tingkat mengkultuskan yang seakan-akan tergila-gila dan terkena waham bahwa idolanya 100% sempurna. Mereka lupa bahwa idolanya tetap saja manusia biasa yang pasti punya cela, hanya saja mungkin tidak mereka ketahui. Bahkan seorang Rasulullah SAW pun yang ma'sum tetap saja tidak boleh dikultuskan dan harus tetap diingat bahwa beliau hanyalah hamba Allah SWT semata.
Dan itulah yang terjadi ketika makhluk yang dikira sempurna itu lantas terbuka celanya. Binar-binar mata yang memandang terpesona seolah-olah runtuh seketika. Maka jatuhlah para pengagum itu dalam lubang kebencian. Boleh jadi dia akan mengutuk idolanya dengan sebutan bermuka dua, pintar bersandiwara, ternyata ga ada apa-apanya, dan lain sebagainya.
Padahal perkaranya hanya itu. Kita sendiri yang terlalu suka mengambil risiko untuk berekspektasi.
Maka, mungkin benar jika ada saran yang mengatakan jangan pernah berekspektasi apapun. Jangan overestimate, tetapi jangan pula underestimate. Ukurlah sesuatu dengan sewajarnya saja. Tak perlu berharap yang muluk-muluk agar tidak kecewa dan sakit hati ketika harapan itu tidak terwujud. Sebaliknya, jangan pernah pula mencela atau membenci sesuatu dengan demikian hebatnya karena siapa tahu dari sesuatu itu ada yang bisa kita kagumi dan kita ambil pelajarannya.
Ya, yang sedang-sedang saja.
No comments:
Post a Comment