Follow Us @soratemplates

Monday 23 September 2013

Wanita

22:20 0 Comments
Majunya suatu bangsa tergantung wanita. Utuhnya rumah tangga tergantung wanita. Hebatnya seorang anak tergantung wanita. Wanita, demikian besarkah perannya?

Dulu saya sempat menuliskan sedikit tentang kehebatan cinta wanita di artikel Cinta Segunung dan Seujung Kuku. Di artikel itu saya menunjukkan bahwa cinta wanita begitu tegar dan tak peduli bagaimana cinta pria yang mungkin bisa hilang. Saya mengagungkan kehebatan wanita yang kukuh menjaga keutuhan rumah tangga di situ. Tapi kini sebaliknya.

Sebuah bangsa akan hancur karena wanita. Rumah tangga akan bubar karena wanita. Seorang anak akan bobrok karena wanita. Jika wanita bisa memberi dampak besar pada kebaikan, bukankah berarti dia akan memberi dampak besar pula pada kehancuran?

Kalau dipikir-pikir seharusnya tidak semenakutkan itu dampaknya. Bukankah wanita ada di bawah 'wewenang' pria dalam hal ini suaminya? Maka, di sinilah masalahnya.

Wanita memang terkesan hebat karena dia terlihat tegar menjawab permasalahan keluarga. Tapi wanita terkadang lupa dan sok hebat sehingga lalai pada kodratnya. Ketika ia merasa mampu menyelesaikan masalah sendiri lantas ia meremehkan suami. Ia lupa bahwa ia hanyalah pendamping keluarga, bukan pemimpin keluarga.

Oke, ini era kesetaraan gender, silakan protes dengan gugatan sudah selayaknya wanita juga turut tampil menjadi problem solver. Tapi lagi-lagi seorang wanita tak boleh lupa dengan kodratnya. Segala kerusakan terjadi karena manusia lalai, termasuk juga seorang wanita. Sekeren-kerennya wanita, dia hanyalah satu tulang rusuk bengkok. Yang namanya bengkok jelas banyak luputnya. Pun sebatas satu ruas tulang rusuk jelas tak ada apa-apanya dibanding raga lainnya.

Maka, jangan takabur ketika seorang wanita justru terlihat sukses. Bagaimanapun dia tetap harus berada di 'bawah', minimal di bawah suaminya. Barangkali benar kata seorang teman bahwa wanita harus memilih suami yang lebih di atasnya, bukan lelaki yang terlihat lemah di bawah pengaruhnya. Bukan demi gengsi atau apa, tapi semata-mata untuk menjaga arogansi wanita yang banyak hawa nafsu demi agar bisa tetap menurut di bawah komando suaminya.

Kalaupun di masa depan akhirnya sang istri justu semakin berpengaruh besar, barangkali tak ada salahnya jika harus menurunkan egonya sendiri. Bukan untuk membunuh aktualisasi diri, tapi untuk menjaga apakah dirinya yang melambung tinggi sebanding dengan fondasi rumah tangganya yang semakin mengakar kuat? Jika jawabnya ya, silakan saja. Tetapi jika tidak, silakan pikir sendiri.

Barangkali hati juga sudah terlanjur mati hingga yang ada justru menuntut suami yang tak mau mengerti pengembangan diri. Dan ketika dengan suami sudah memandang sebelah mata, bukan tak mungkin mata yang sebelah lagi akan memandang ke dunia luar lainnya. Maka wajar saja jika wanita dengan ego tinggi itulah wanita-wanita penghancur rumah tangga.

Bukan berarti wanita tak boleh punya mimpi dan mengejar egonya. Hanya saja seorang wanita begitu pula posisinya sebagai istri maupun hamba hendaknya memahami kodratnya. Bahwa ia harus menaati perintah Illahi, dan bahwa ia harus mengerti salah satu perintah itu adalah menaati dan menghormati suami.

Wallahua'lam.


Monday 16 September 2013

Ga Sopan, Cewek Kok ....

23:01 0 Comments

Dalam hidup ini orang sering sekali berkomentar dalam hal apapun. Terkadang komentar itu menyakitkan, tapi tidak jarang pula komentar itu justru masukan yang membangun. Salah satu komentar yang kadang kala terdengar adalah tentang perilaku kita sehari-hari, misalnya sikap duduk.


Sebagai koas, kami seringkali harus mencari dokter kemana-mana. Seandainya dokter itu sudah ditemukan di mana keberadaannya, belum tentu kami bisa langsung menemui beliau. Akhirnya mau tak mau kami menunggu. Yang melelahkan adalah ketika wilayah tempat menunggu tersebut tidak ada kursi sama sekali. Maka, akhirnya pernah suatu ketika saya dengan beberapa teman perempuan memutuskan bersimpuh di koridor rumah sakit. Lalu lewatlah residen dan berkomentar, "Bangun dek, koas kok jongkok, ga sopan dilihat pasien. Cewek-cewek lagi." Maka, bangkitlah kami.

Di lain kesempatan saat kami menganggur di poli. Pasien tidak ada, semua koas berkumpul di poli tersebut, sedangkan jumlah kursi terbatas. Akhirnya, saya dan seorang teman perempuan memutuskan duduk bersila di lantai di bagian sudut belakang poli agar tidak terlihat. Lalu bangkitlah seorang teman koas laki-laki, "Sini duduk di kursi, ga sopan cewek duduk di lantai."

Begitu juga tadi siang ketika mengunjungi puskesmas. Saat poli kosong, kami duduk-duduk di dalam. Ada tiga kursi di sana dan sudah terisi oleh dua ibu bidan dan seorang teman koas. Saya sadar diri, tidak ada tempat sembunyi di situ. Tempatnya pun tidak memungkinkan untuk duduk atau bersimpuh di lantai, sedangkan jika harus terus berdiri jelas akan melelahkan. Satu-satunya tempat yang memungkinkan adalah bed periksa. Biasanya ketika poli kosong, tempat tidur pasien menjadi salah satu tempat duduk para koas. Maka, saya pun memutuskan duduk di bagian sudut tempat tidur poli. Belum sempurna benar saya memposisikan diri untuk duduk, teman koas laki-laki yang duduk di kursi langsung berdiri, "Duduk kursi aja. Ga pantes cewek duduk penekan (memanjat)"

Ziiink... 

Sebagai perempuan yang ditegur sebenarnya saya mengucapkan terima kasih sekali. Terlebih setelah itu saya mendapat tempat duduk yang lebih 'layak'. Tetapi ada rasa menggelitik juga di hati. Apakah seorang perempuan harus selalu terlihat manis termasuk saat duduk? Padahal ketika kami duduk di lantai, teman-teman koas laki-laki yang lain juga duduk di lantai meskipun di sudut yang berbeda. Demikian juga ketika akhirnya saya duduk di kursi, maka teman saya juga akan duduk di tempat tidur.

Entah apakah ada kepatutan sendiri untuk sikap seorang perempuan dan laki-laki. Padahal menurut saya kalau sama-sama dengan alasan kesopanan, tentunya berlaku secara umum. Jika sama-sama tidak sopan karena duduk di lantai, seharusnya berlaku pula bagi laki-laki. Jika tidak enak harus naik ke tempat tidur yang cukup tinggi untuk duduk, seharusnya demikian pula untuk laki-laki.

Barangkali asas yang dipakai bukan atas dasar kesopanan semata, tetapi justru alasan laki-laki yang seakan dituntut untuk mengalah kepada perempuan. Saya sendiri tidak paham apakah teman-teman lelaki saya merasa demikian sehingga mereka mengutamakan kami untuk duduk layak di kursi. Padahal urusan gender seharusnya tidak menjadi alasan.

Terlepas dari alasan itu, yang penting adalah bagaimana agar kita bisa bersikap sopan. Yah, kepatutan dan kepantasan kita bertingkah laku memang menjadi kunci. Barangkali kita menganggap suatu hal tidak masalah, tapi orang lain sudah merasa risih dengan keadaan tersebut. Kalau memang sikap perempuan harus sedemikian tertatanya demi tidak membuat para pria itu merasa risih, yah apa boleh buat lakukan saja. Toh dengan begitu kita akan menjadi makhluk yang jauh lebih sopan. Tidak ada salahnya untuk bersikap sopan kan?



Sunday 15 September 2013

No Idol

22:44 0 Comments

Cinta dan benci memiliki kadar yang sama. Jika kamu mencintai seseorang dengan teramat sangat, bisa jadi kau akan membencinya dengan kadar yang sama. Begitu juga sebaliknya.

Rasa cinta atau suka salah satunya muncul ketika seseorang memiliki idola. Terlepas dari definisi bahasa inggris 'idol' yang berarti Tuhan, seseorang sering menganggap idolanya itu serba baik. Tentu saja, jika dia banyak cacat atau cela, rasanya mungkin tidak pantas untuk dijadikan idola. Gampangnya begini. Kita mungkin suka penulis A yang struktur kalimatnya indah, lantas kita mengidolakannya. Ketika ada penulis B yang struktur kalimatnya kacau, maka kita menganggapnya memiliki cela dan lantas kita tidak mengidolakannya.

Masalahnya, seperti kalimat pembuka dalam tulisan ini, kadar cinta dan benci terhadap sesuatu itu cenderung sama. Ketika kita menyukai sesuatu karena kelebihannya, maka kita mungkin mengidolakan atas dasar kelebihan itu. Tetapi andai suatu ketika kita melihat kekurangan dari hal itu, bisa jadi kita tidak terima dan lantas berubah 180 derajat membencinya. Artinya, semakin kita cinta, besar kemungkinan makin dalam juga kita akan membencinya.

Semua itu terjadi karena orang mencoba-coba untuk berekspektasi. Orang berekspektasi bahwa idolanya adalah manusia hebat tanpa cela yang pantas untuk dipuja. Parahnya, barangkali seseorang yang mengidolakan itu bisa sampai tingkat mengkultuskan yang seakan-akan tergila-gila dan terkena waham bahwa idolanya 100% sempurna. Mereka lupa bahwa idolanya tetap saja manusia biasa yang pasti punya cela, hanya saja mungkin tidak mereka ketahui. Bahkan seorang Rasulullah SAW pun yang ma'sum tetap saja tidak boleh dikultuskan dan harus tetap diingat bahwa beliau hanyalah hamba Allah SWT semata.

Dan itulah yang terjadi ketika makhluk yang dikira sempurna itu lantas terbuka celanya. Binar-binar mata yang memandang terpesona seolah-olah runtuh seketika. Maka jatuhlah para pengagum itu dalam lubang kebencian. Boleh jadi dia akan mengutuk idolanya dengan sebutan bermuka dua, pintar bersandiwara, ternyata ga ada apa-apanya, dan lain sebagainya.

Padahal perkaranya hanya itu. Kita sendiri yang terlalu suka mengambil risiko untuk berekspektasi.

Maka, mungkin benar jika ada saran yang mengatakan jangan pernah berekspektasi apapun. Jangan overestimate, tetapi jangan pula underestimate. Ukurlah sesuatu dengan sewajarnya saja. Tak perlu berharap yang muluk-muluk agar tidak kecewa dan sakit hati ketika harapan itu tidak terwujud. Sebaliknya, jangan pernah pula mencela atau membenci sesuatu dengan demikian hebatnya karena siapa tahu dari sesuatu itu ada yang bisa kita kagumi dan kita ambil pelajarannya.

Ya, yang sedang-sedang saja.



Saturday 14 September 2013

Kesempatan vs Kepastian

11:16 4 Comments

Ada obrolan menarik yang saya alami pagi tadi dengan seorang teman laki-laki saya. Awalnya kami membicarakan tentang masa depan profesi seorang dokter. Pada akhirnya kami justru membicarakan sudut pandang laki-laki dan sudut pandang perempuan dalam hal pernikahan.

Teman saya bercerita, perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal pernikahan ada dalam pola pikirnya. Seorang laki-laki ingin agar dia diberi kesempatan, sedangkan seorang perempuan berharap agar dia diberi kepastian.

Perempuan berpikir, "Nikahi aku. Tenang saja, aku rela jika harus hidup susah denganmu. Rejeki itu di tangan Illahi, pasti setelah nikah akan ada jalan-Nya sendiri". 

Tetapi tidak demikian dengan laki-laki. Dia berpikir, "Tunggu dulu. Beri aku kesempatan. Sekalipun kamu mau hidup susah, tapi aku ingin membuatmu bahagia".

Jika ada perkataan laki-laki dan perempuan seperi itu, barangkali akan ada yang berkomentar, "Udah, putusin aja! Sampai kapan kamu mau menunggu?". Tapi saya tidak sedang membahas itu, saya sedang membahas tentang pemikiran laki-laki dan perempuan.

Sedikit banyak mindset itu tercipta karena budaya. Seorang laki-laki harus bisa menafkahi istrinya, maka ia merasa lebih galau memikirkan pekerjaan dan mengharapkan ada perempuan yang mau memberinya kesempatan. Sebaliknya, seorang perempuan seakan diberikan budaya untuk patuh pada suaminya, dalam arti dia tidak peduli bagaimana nanti dia akan hidup setelahnya karena dia cukup bergantung pada suami yang harus dipatuhinya. Maka perempuan akan lebih galau menanti siapa yang akan memberinya kepastian dan bukan mengkhawatirkan bagaimana pekerjaanku nanti.

Toh seorang laki-laki juga percaya bahwa rejeki juga berasal dari Illahi, bahwa nanti akan datang sendiri. Seorang laki-laki juga tahu bahwa perempuan bisa saja dibawa lari karena ada sesauatu yang pasti dan telah terjadi. Seorang perempuan juga tahu bahwa semua hal itu ada kesempatannya. Dia tahu bahwa dia harus memberi kesempatan siapapun untuk mengejar riski-Nya, dan dia pun juga pasti ingin hidup bahagia.

Lalu bagaimana? Tenang saja, pasti akan ada lock and key-nya. Akan ada seorang pria yang merasa sudah mendapatkan kesempatan dan akan ada seorang wanita yang merasa mendapatkan kepastian. Kun fayakun, jadilah mereka. Jika belum, barangkali memang laki-laki itu masih harus mencari kesempatan (entah dari manapun), dan perempuan itu masih harus mencari kepastian (entah dari siapapun).

Who knows?


Harta dan Keluarga

10:50 2 Comments


Jika kamu sudah berkarier nanti, mana yang kamu pilih antara harta dan keluarga? Ada yang memilih harta dengan alasan toh harta yang didapat akan diberikan pada keluarga. Tapi ada juga yang lebih memilih keluarga dengan alasan justru keluarga itulah hartanya.

Inilah yang terjadi di dunia sekitar saya. Tidak sedikit saya menjumpai dokter-dokter yang terpaksa harus berpisah dari keluarganya. Tapi di lain sisi tidak sedikit juga saya mendapati beberapa dokter yang mengatur aktivitas kariernya demi tetap bisa bersama keluarga.


Saya pernah menonton film tentang ini, tapi saya lupa judulnya. Di film itu diceritakan seorang pria demikian terobsesi dengan kariernya. Awalnya semua baik-baik saja. Semua keluarga menyemangati dirinya agar kariernya terus menanjak. Status keluarga tersebut pun meningkat dan mereka menjadi keluarga terpandang. Tapi, tunggu beberapa tahun kemudian.

Bisnisnya memang semakin menggurita, tapi istri pria itu akhirnya selingkuh. Entah karena tidak ada perhatian atau apa. Kedua anaknya juga tidak ada yang mengurus. Barangkali istilahnya adalah menjadi anak salah pergaulan. Hingga di akhir cerita akhirnya pria itu hampir meninggal dalam posisi masih memikirkan pekerjaannya.

Di akhir film itu sebelum si pria menghembuskan nafas terakhirnya, dia berpesan pada anak laki-lakinya, "Jangan hanya mengejar karier, utamakan keluarga!"

Jika melihat dari kacamata negeri akhirat, keduanya sama-sama penting sekaligus tidak penting. Dikatakan tidak penting karena mereka semua hanyalah pelengkap di dunia. Harta tak akan dibawa mati. Keluarga juga tak akan sudi ikut kita mati. Tapi, mereka juga tetap penting.

Jika kita punya harta, kita bisa lebih banyak sedekah. Tapi sebenarnya tak peduli berapapun banyaknya harta itu, kita akan tetap bersedekah. Maka, bukan seharusnya menghabiskan waktu demi mendapatkan tambahan income semata.

Jika kita mendekatkan diri pada keluarga, kita juga akan mendapat keberkahan silaturahim. Andai dia anak, maka orang tua akan mendapat kiriman doa ketika sudah mati karena sang anak paham dia harus berbakti pada orang tuanya yang telah menyayanginya.

Proporsional, barangkali itu kuncinya. Kebutuhan finansial terpenuhi tetapi kebutuhan orang-orang terdekat dari keluarga juga tercukupi. Apakah bisa? Barangkali. Asalkan ada pengertian dari semuanya untuk saling mengingatkan setiap perannya insya Allah semua juga akan berjalan dengan seimbang. Mudah-mudahan.