Follow Us @soratemplates

Thursday 13 May 2010

Hidup Itu Konsekuensi

Terinspirasi dari sebuh posting yang tak sengaja dibaca di sebuah blog. Judulnya dilema hati dokter muda vs ibu muda. Penulisnya seorang akhwat yang telah dikaruniai 2 orang anak dan sekarang tengah menjalani proses untuk memperoleh gelar dokter plus ditambah tanggung jawab mempersiapkan kelahiran anak ketiganya. Saya trenyuh membacanya. Melihat perjuangan beliau bagaimana untuk tetap fokus belajar dan hati beliau yang begitu merindukan anak dan suaminya. Subhanallah... Saya melihat perjuangan beliau sebagai sebuah konsekuensi dan saya mengacungkan jempol pada beliau atas keteguhannya untuk menghadapi semua konsekuensi.

Ya, hidup memang sebuah konsekuensi. Kamu hidup, maka kamu harus menjalankan konsekuensinya. Apa? Beribadah pada Allah tentunya. Karena Allah menciptakan jin dan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Kamu lapar, maka kamu harus mengeluarkan usaha untuk mendapat makanan. Apapun usahanya. Meskipun dengan cara meminta-minta, tapi tetap dianggap sebagai sebuah usaha untuk memenuhi konsekuensi perut yang lapar. Begitu seterusnya, tak ada henti-hentinya.

Namun terkadang manusia serasa ingin lari dari konsekuensi. Wajar, manusia memang serasa ingin menang sendiri, semaunya sendiri. Seperti akhir-akhir ini, saya belajar begitu banyak konsekuensi.

Kampus sedang sibuk dengan beberapa acara besar. Angkatan sedang disibukkan dengan Porsanti, semacam pertandingan dan perlombaan antar-angkatan dan antar-jurusan. BEM sedang disibukkan dengan persiapat try out SNMPTN. SKI pun tak mau kalah sibuk dengan membuat seminar. Repot? Ya. Banyak yang ribut ke sana ke mari. Sebenarnya saya hanya mengamati, namun justru dari mengamati itulah saya memaknai konsekuensi.

Seperti hari ini. Libur satu hari tapi besok pagi ada pretest yang bahannya cukup banyak. Kebetulan, SKI akan mengadakan outbond. Do you know? Dari sekitar 100 orang pengurus SKI, tampaknya tak ada 50 orang yang berniat untuk bergabung. Alasannya? Ingin belajar untuk pretest besok pagi. Seorang teman yang memang diberi tanggng jawab untuk mendata pengurus sedikit kecewa. Katanya, "Mana loyalitasnya? Ini konsekuensi."

Saya sependapat. Ketika kita berani mengambil risiko untuk terjun dalam sebuah organisasi, berarti berani pula untuk menanggung sebuah konsekuensi, salah satunya acara-acara wajib yang menuntut loyalitas anggota. Begitu pun ketika kita berani mengambil risiko kuliah di kedokteran, berarti kita harus berani pula menanggung konsekuensi belajar berbagai materi dalam waktu bagaimanapun. Begitu seterusnya...

Sebenarnya tak akan ada alasan bagi seseorang yang sudah benar-benar memahami pilihan dalam hidupnya. Seperti seorang kawan yang super aktif tadi, walaupun ribut dengan BEM-nya, ruwet dengan seminarnya, tetap merasa ringan untuk menghadiri acara SKI. Untuk belajar? Ada alokasi waktu sendiri.

Terkadang kuping sering terasa gatal jika ada orang yang diberi tugas lalu berkata, "Jangan aku. Besok aku ada acara.", atau "Aku ga mau ikut, harus belajar untuk pretest besok". Rasanya sangat ironi karena orang lain yang juga berprofesi yang sama dengannya dengan tugas yang sama dan konsekuensi yang sama juga bisa untuk melakukannya. Kalau begitu, kenapa dulu menyatakan diri dan bersumpah setia sebagai anggota?

Hm..., jawabnya kembali kepada menejemen diri dan menejemen waktu. Itu untuk yang sudah terlanjur terikat pada suatu hal yang menuntut konsekunsi. Jika belum, pikir dulu masak-masak apakah sanggup untuk menjalani konsekuensi dari sebuah pilihan. Daripada di tengah jalan justru mati dan menjadi beban atau melukai hati orang lain. Ya, hidup itu pilihan dan setiap pilihan disertai konsekuensi.

No comments:

Post a Comment