Yup, beberapa waktu yang lalu saya membuat postingan tentang bagaimana saya bisa percaya. Saya mengatakan bahwa saya tak mudah percaya orang. Tapi saya teringat sesuatu. Pengalaman saya dua tahun yang lalu, saat saya masih merantau di Depok.
Waktu itu Depok hujan deras. Seperti biasa. Petir, halilintar, angin. Seakan membuat cuaca mencekam bagi saya. Yah, saya takut hujan deras. Dan saya hanya mendekam di sudut lobby kampus, berharap cemas hujan segera berhenti sembari menatap jarum jam yang tetap berputar tak pusing-pusingnya. Sekitar pukul 4 sore. Rasanya semakin gelisah. Saya ada janji sore itu.
Akhirnya hujan reda juga. Bergegas saya berlari pulang ke kos, melewati jalan-jalan becek, menyusuri rel. Tak ada waktu lagi. Saya harus segera mandi, mengemas pakaian, lantas pergi. Dengan tergesa saya membeli tiket KRL dan menaiki sebuah kereta yang kebetulan berhenti tanpa peduli bagaimana sesaknya kereta sore itu. Pukul 5 sore, jam-jam kereta penuh karena orang pulang kerja. Tapi saya masih bersyukur. Tujuan saya ke arah Jakarta. Meski jam pulang kerja, kereta dari Bogor masih terlihat manusiawi dibandingkan kereta dari Jakarta yang sudah tak pantas diibaratkan dengan apapun jua.
Tiap stasiun saya melongok di antara kepala-kepala manusia yang berjejalan. Mencari-cari plakat yang tergantung di stasiun. Maklum, saya masih pendatang baru kala itu. Belum ada 1 semester. Saya tak hafal berapa stasiun yang harus saya lewati. Saat itu saya sempat berniat, lain kali akan saya hitung berapa stasiun kereta harus berhenti hingga akhirnya saya turun. Yang saya hafal hanyalah saya akan turun di stasiun Tebet, sebuah stasiun yang harus melewati terowongan lebih dahulu.
Sesampai di Tebet, saya masih harus oper ke sebuah metromini. Ah, saya lupa. Metromini atau kopaja. Saya juga sudah lupa nomor berapa. Saat itu saya mengikuti intruksi yang saya terima di SMS. Menyeberang jalan terlebih dahulu lantas menunggu bus jurusan tertentu. Bus itu datang, saya menyetopnya tapi sopir bus tak berhenti sama sekali. Seorang ibu yang berjalan searah dari datangnya bus menghampiri saya.
“Agak ke sana mbak. Busnya ga mau berhenti kalau di sini.”
Ibu itu berjalan melewati saya menuju segerombolan orang yang tengah menanti bus juga. Hm, ternyata karena ada seorang polisi yang sibuk mengatur lalu lintas. Tak mungkin bus itu mau berhenti dengan polisi mengawasi seperti itu. Baiklah, saya mengalah. Saya pun melangkahkan kaki untuk bergabung dengan orang-orang yang bernasib sama.
Bus pun datang dan saya bergegas naik. Kebetulan sekali, ibu yang mengingatkan saya tadi juga naik bus yang sama. Dia duduk di samping saya.
“Mau ke mana, Mbak?” tanya ibu itu melawan deru mesin bus.
“Ke rumah saudara saya, bu, di perumahan X” (hehe.., saya lupa nama perumahannya)
“Perumahan X? Apa lewat situ mbak? Yakin ga salah bus?” ibu itu bertanya lagi.
“Ga bu. Saya sudah pernah ke sana seminggu yang lalu. Memang tidak lewat di depannya. Nanti masuk dari samping di sekitar tanah yang baru dibangun trus masuk ke perumahannya.” Saya menjawab dengan yakin.
Ibu itu hanya manggut-manggut tanda paham.
Hari sudah lewat senja dan keadaan sekitar mulai gelap. Bus tetap melaju meski lambat karena berbagi tempat dengan kendaraan lain yang merayap. Di bagian kanan jalan mulai terlihat hamparan tanah luas tanda daerah yang baru dibangun. Tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Di bagian kanan jalan tak ada penerangan sama sekali. Bagaimana saya bisa mengenali gang masuk untuk jalan menuju perumahan? Ya Allah…
Ibu di samping saya sesekali masih mengajak bercakap-cakap.
“Dari jalan dijemput saudaranya mbak?” tanya ibu itu lagi.
“Ga bu. Tadi diberi tahu kalau naik becak saja. Di pinggir jalan ada pangkalan becak katanya.”
“Wah, sudah malam gini ga ada becak, mbak. Adanya ojek.”
Masya Allah, saya baru menyadarinya juga. Seminggu yang lalu saya memang mengunjungi rumah saudara saya dan saya melihat pangkalan becak. Tapi itu di pagi hari, tidak dalam keadaan gelap seperti ini. Kekhawatiran saya makin bertambah.
“Kalau perumahan X sepertinya saya tahu, mbak. Nanti ikut turun saja dengan saya di jalan depan masjid itu. Kayaknya ada pangkalan ojek. Sudah deket itu mbak dengan perumahannya.” Ibu itu menawarkan.
Daerah yang dibangun di sisi kanan jalan masih saja terlihat. Saya sudah pasrah tak tahu gang mana saya harus berhenti. Mau tak mau saya mengiyakan juga tawaran ibu tadi. Sayangnya, karena terlalu asyik mengobrol, masjid yang dimaksud ibu tadi terlewati. Ibu tadi segera meminta sopir untuk berhenti. Kami pun turun.
“Maaf mbak, saya mau langsung masuk gang yang ini saja. Mbak jalan balik aja ke sana. Di dekat masjid itu kayaknya ada pangkalan ojek.” Ibu itu memberi intruksi.
“Ya, bu. Terima kasih.”
“Hati-hati ya mbak. Keburu gelap dan hujan lagi.” Ibu itu masih sempat mengingatkan.
Saya hanya mengangguk. Say berjalan seorang diri melawan arah datangnya bus. Dari kejauhan tampak masjid yang dimaksud ibu itu. Begitu sampai di sana, tubuh saya terasa lemas. Tak ada sebuah motor pun di sana. Hanya tersisa tulisan pangkalan ojek tanpa sebuah bukti kalau-kalau ada tukang ojek.
Di seberan jalan tetap saja terlihat tanah luas yang akan dibangun. Tanpa ada petunjuk sama sekali. Saya tak tahu di mana saya berada. Lemah saya mengambil handphone saya. Yang satu tak ada sinyal. Yang lain tak cukup pulsa untuk telepon. Parah nian. Ingin menelepn saudara saya tapi pulsa tak ada, kalaupun ada agaknya saya juga tak bisa menunjukkan di mana saya. Saudara saya juga tak mungkin bisa menjemput. Besok adalah resepsi pernikahannya dan dia sudah memesan kepada saya agar naik becak saja seperti intruksi dalam SMS-nya.
Hari semakin gelap. Saya berjalan pasrah. Mencoba mencari-cari petunjuk barangkali ada daerah yang saya kenali atau orang untuk saya tanyai. Di ujung jalan terlihat sebuah bengkel yang masih buka. Seorang ibu yang dari gelagatnya tanpak sebagai pemilik bengkel sedang berdiri di depan begkelnya. Saya berjalan menghampirinya.
“Maaf, bu. Saya mau tanya pangkalan ojek paling dekat dari sini di mana ya?”
Ibu itu berpaling dari saya dan bertanya pada salah seorang pegawainya.
“Ojek yang dekat sini mana?” tanya ibu itu.
Salah seorang pegawainya menjawab, “Ga ada bu. Di dekat masjid ada, tapi kalau hujan udah pada pergi ojeknya.”
Malang nian nasib saya. Tak ada jalan keluar lagi. Saya tak tau harus dengan cara bagaimana saya bisa sampai ke rumah saudara saya. Mungkin saya harus berjalan lagi, mencari orang jual pulsa untuk mengisi pulsa saya dan mencari bantuan.
“Memangnya mau ke mana mbak?” ibu itu membuyarkan angan-angan saya.
“Ke perumahan X bu.”
“Wah, masih jauh itu dari sini. Ga ada ojek mbak. Kalau jalan kaki jauh banget.” Ibu itu menerangkan. Keterangan ibu itu justru membuat saya makin lemas. Yah, mana saya tahu kalau perumahan itu masih jauh. Di sepanjang jalan hanya tanah kosong yang akan dibangun. Satu-satunya gang penyelamat saya ada di antara tanah lapang itu.
“Gini aja mbak. Biar mbak diantar sama pegawai saya.” Ibu itu memberikan tawaran.
Tanpa saya iyakan, ibu itu sudah menyuruh pegawainya tadi untuk mengantar saya.
“Sebentar ya mbak. Biar nutup bengkel dulu. Sekalian dia juga mau pulang kok mbak.”
“Terima kasih banyak bu” Hanya itu yang bisa saya ucapkan. Satu-satunya jalan keluar hanyalah itu. Atau saya harus kembali berjalan tak tau arah demi mengisi pulsa.
“Mari mbak” Seorang pegawai bengkel ibu tadi sudah siap dengan motornya. Saya pun berjalan mendekat.
“Tenang aja mbak. Kalau di tengah jalan dia macam-macam, pukul aja” ibu itu mengingatkan setengah bercanda.
Saya sudah mendapat tumpangan tapi kekhawatiran saya bukan berarti telah berakhir. Saya belum pernah naik ojek sebelumnya. Dan pegawai bengkel ibu ini pun bukan tukang ojek. Entah mengapa, peringatan ibu bengkel yang bercanda tadi justru membuat saya takut. Dalam hati saya terus berdoa. Memohon ketenangan dan memasrahkan diri luar biasa kepada Allah.
“Mbak, gang masuk perumahannya yang ini bukan?” tiba-tiba pegawai bengkel tadi mengagetkan saya.
Saya mengamati sekeliling. Ah, saya mulai mengenali daerah ini. “Iya, mas. Yang ini.”
Sepeda motor pun memasuki perumahan tersebut dan saya memberikan intruksi gang-gang yang harus dilewati. Akhirnya sampai juga di depan sebuah rumah yang memang saya cari-cari dari tadi. Saat saya turun dari sepeda motor dan hendak membuka tas untu mencari dompet saya, pegawai bengkel itu berkata.
“Ga usah dibayar mbak. Saya kan bukan ojek. Niatnya mau nolongin kok mbak.”
“Terima kasih, Mas.” Hanya itu yang saya ucapkan.
Saya pun masuk ke dalam rumah saudara saya, dengan perasaan syukur yang entah tak tau digambarkan dengan bagaimana.
Hikmah:
Saya tahu, bisa saja saya dibohongi oleh ibu-ibu di bus yang mengatakan bahwa ada pangkalan ojek. Atau bisa saja ibu begkel ataupun pegawainya itu berniat mencelakakan saya. Tapi kepasrahan atau tawakal yang luar biasa akan mewujudkan kepercayaan yang mungkin tak bisa dipercaya. So, tawakallah pada Allah…
PS:
I trust You, God.
Saya percaya bahwa di luar sana masih ada orang-orang asing tanpa topeng kebohongan yang memiliki jiwa kebaikan.
No comments:
Post a Comment