Follow Us @soratemplates

Saturday, 31 December 2011

Difabel Juga Capable


Beberapa waktu lalu, Indonesia mengadakan perhelatan besar. Salah satunya dilaksanakan di kota Solo, Jawa Tengah. Apa lagi kalau bukan Asean Paragames 2011. Paragames bukan sekedar games biasa. Ada yang berbeda dari diri para pemain paragames. Mereka disebut sebagai orang difabel yang merupakan pleseten dari difable, sebuah akronim frase different ability.

Mereka memang memiliki kemampuan yang berbeda. Tubuh sempurna yang dimiliki oleh atlet games biasa tak masuk dalam kriteria fisik mereka. Justru orang-orang dengan satu kaki, satu tangan, atau dengan gangguan penglihatanlah yang berlaga. Memang mereka memiliki fisik yang berbeda sehingga kemampuan mereka pun berbeda pula.

Tapi perhatikan di sini. Mereka disebut difabel, bukan disable (tidak mampu). Mereka dikatakan sebagai orang dengan kemampuan berbeda, bukan orang yang tidak memiliki kemampuan. Memang istilah difabel dan disable masih menjadi perdebatan. Tetapi marilah kita lihat buktinya.

Meski fisik mereka terbatas, mereka mampu untuk mengikuti kompetisi. Mereka mampu memainkan bola, membantai kok, berenang, dan kemampuan lainnya. Bukankah itu artinya mereka ‘mampu’ dan bukan ‘tidak mampu’?

Ada pula yang kita pelajari di sini. Meski mereka memiliki keterbatasan fisik, mereka tetap memanfaatkan apa yang mereka punya. Tubuh yang seadanya tetap digunakan untuk melakukan hal semaksimal mungkin. Jika kaki tak sempurna, masih dapat duduk untuk melempar bola voli. Meski penglihatan seadanya, masih bisa menggunakan indra peraba untuk mengenali bidak catur.

Tentunya ini menjadi pelajaran bagi kita yang barangkali memiliki keadaan fisik yang sempurna. Apakah fisik kita ini telah benar-benar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya? Apakah penciptaan Allah SWT yang sempurna ini hanya sia-sia belaka? Atau jangan-jangan justru kesempurnaan fisik ini menjadi sumber maksiat dan malapetaka.

Bisa jadi fisik mereka yang terbatas justru menjaga mereka dari kemaksiatan. Barangkali justru gangguan panglihatan itu membuat mereka terjaga dari pandangan yang tak seharusnya. Barangkali tangan mereka yang buntung justru mencegah mereka untuk mengambil yang bukan haknya. Barangkali kaki mereka yang lumpuh justru menghambat mereka melangkah menuju kemaksiatan.

Seperti itu pula yang dikisahkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam bukunya. Diceritakan bahwa Abu Ibrahim suatu ketika berjalan-jalan di padang pasir dan tersesat tak bisa pulang. Pada saat itu dia menemukan sebuah kemah yang sangat lusuh. Ketika dia mendekat, dia melihat di dalam kemah itu ada seorang lelaki tua yang duduk di atas tanah dalam keadaan sangat tenang. Ternyata orang tua ini kedua tangannya buntung, matanya buta, dan sebatang kara. Ketika dia mendekat, dia melihat mulut orang tua itu komat-kamit mengucapkan dzikir, “Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…”

Tentu saja Abu Ibrahim merasa kaget. Bagaimana mungkin orang yang kedua tangannya buntung, matanya buta, dan tinggal sebatang kara masih bisa merasa bersyukur karena mendapat kelebihan dari Allah SWT dibandingkan banyak manusia. Maka, Abu Ibrahim pun bertanya mengapa dia bisa begitu bersyukur dan merasa mendapat kelebihan disbanding banyak manusia.

Orang tua itu menjawab, “Bukankah aku memiliki akal sehat sehingga aku bisa memahami dan berpikir, sedangkan banyak orang yang gila dan tak bisa berpikir. Bukankah Allah memberiku pendengaran yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekililingku, sedangkan banyak orang yang tuli. Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku, sedangkan banyak orang yang bisu. Dan bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya, mengharap pahala-Nya, dan bersabar atas musibahku, sedangkan di luar sana banyak orang yang menyembah berhala padahal mereka juga sakit. Maka, segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.”

Subhanallah… Kiranya kita perlu belajar dari kisah di atas tentang bagaimana bersabar dengan kekurangan yang kita miliki dan tetap bersyukur atas apa yang Allah beri. Janganlah menjadi orang yang mudah mengeluh hanya karena kekurangan sedikit saja pada diri kita. Apalagi hanya karena merasa iri atas kelebihan fisik yang dimiliki oleh orang lain.

Marilah kita teladani semangat beramal orang tua dalam kisah di atas dan juga semangat berjuang para atlet difabel di ajang paragames itu. Apakah keadaan fisik kita telah membawa kemaslahatan seperti ibadah dzikir yang senantiasa orang tua tersebut ucapkan atau telah membuahkan prestasi seperti yang dilakukan para atlet paragames?

Marilah kita kembali merenungkan keadaan fisik kita, agar kita lebih bisa memaksimalkannya dalam kebaikan dan menjaganya dari kemaksiatan. Kalau para difabel saja capable besyukur dan memanfaatkan fisiknya, jangan sampai kita justru disable mensyukuri dan mengoptimalkan diri kita.


2 comments:

  1. Subhanallah.... Maka nikmat dari Tuhan kamu yang manakah yang engkau dustakan? (QS Ar Rahman)

    ReplyDelete
  2. Benar sekali dan sangat besyukur karena CIQAL concern di bidang ini.

    ReplyDelete