Beberapa waktu lalu, Indonesia mengadakan perhelatan
besar. Salah satunya dilaksanakan di kota Solo, Jawa Tengah. Apa lagi kalau
bukan Asean Paragames 2011. Paragames bukan sekedar games biasa. Ada yang
berbeda dari diri para pemain paragames. Mereka disebut sebagai orang difabel
yang merupakan pleseten dari difable,
sebuah akronim frase different ability.
Mereka memang memiliki kemampuan yang berbeda. Tubuh
sempurna yang dimiliki oleh atlet games biasa tak masuk dalam kriteria fisik mereka.
Justru orang-orang dengan satu kaki, satu tangan, atau dengan gangguan
penglihatanlah yang berlaga. Memang mereka memiliki fisik yang berbeda sehingga
kemampuan mereka pun berbeda pula.
Tapi perhatikan di sini. Mereka disebut difabel,
bukan disable (tidak mampu). Mereka
dikatakan sebagai orang dengan kemampuan berbeda, bukan orang yang tidak
memiliki kemampuan. Memang istilah difabel dan disable masih menjadi perdebatan. Tetapi marilah kita lihat
buktinya.
Meski fisik mereka terbatas, mereka mampu untuk
mengikuti kompetisi. Mereka mampu memainkan bola, membantai kok, berenang, dan
kemampuan lainnya. Bukankah itu artinya mereka ‘mampu’ dan bukan ‘tidak mampu’?
Ada pula yang kita pelajari di sini. Meski mereka
memiliki keterbatasan fisik, mereka tetap memanfaatkan apa yang mereka punya.
Tubuh yang seadanya tetap digunakan untuk melakukan hal semaksimal mungkin. Jika
kaki tak sempurna, masih dapat duduk untuk melempar bola voli. Meski
penglihatan seadanya, masih bisa menggunakan indra peraba untuk mengenali bidak
catur.
Tentunya ini menjadi pelajaran bagi kita yang
barangkali memiliki keadaan fisik yang sempurna. Apakah fisik kita ini telah
benar-benar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya? Apakah penciptaan Allah SWT
yang sempurna ini hanya sia-sia belaka? Atau jangan-jangan justru kesempurnaan
fisik ini menjadi sumber maksiat dan malapetaka.
Bisa jadi fisik mereka yang terbatas justru menjaga
mereka dari kemaksiatan. Barangkali justru gangguan panglihatan itu membuat
mereka terjaga dari pandangan yang tak seharusnya. Barangkali tangan mereka
yang buntung justru mencegah mereka untuk mengambil yang bukan haknya. Barangkali
kaki mereka yang lumpuh justru menghambat mereka melangkah menuju kemaksiatan.
Seperti itu pula yang dikisahkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam bukunya. Diceritakan bahwa Abu Ibrahim suatu ketika berjalan-jalan di padang pasir dan tersesat tak bisa pulang. Pada saat itu dia menemukan sebuah kemah yang sangat lusuh. Ketika dia mendekat, dia melihat di dalam kemah itu ada seorang lelaki tua yang duduk di atas tanah dalam keadaan sangat tenang. Ternyata orang tua ini kedua tangannya buntung, matanya buta, dan sebatang kara. Ketika dia mendekat, dia melihat mulut orang tua itu komat-kamit mengucapkan dzikir, “Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…”
Tentu saja Abu Ibrahim merasa kaget. Bagaimana mungkin orang yang kedua tangannya buntung, matanya buta, dan tinggal sebatang kara masih bisa merasa bersyukur karena mendapat kelebihan dari Allah SWT dibandingkan banyak manusia. Maka, Abu Ibrahim pun bertanya mengapa dia bisa begitu bersyukur dan merasa mendapat kelebihan disbanding banyak manusia.
Orang tua itu menjawab, “Bukankah aku memiliki akal sehat sehingga aku bisa memahami dan berpikir, sedangkan banyak orang yang gila dan tak bisa berpikir. Bukankah Allah memberiku pendengaran yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekililingku, sedangkan banyak orang yang tuli. Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku, sedangkan banyak orang yang bisu. Dan bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya, mengharap pahala-Nya, dan bersabar atas musibahku, sedangkan di luar sana banyak orang yang menyembah berhala padahal mereka juga sakit. Maka, segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.”
Subhanallah… Kiranya kita perlu belajar dari kisah di atas tentang bagaimana bersabar dengan kekurangan yang kita miliki dan tetap bersyukur atas apa yang Allah beri. Janganlah menjadi orang yang mudah mengeluh hanya karena kekurangan sedikit saja pada diri kita. Apalagi hanya karena merasa iri atas kelebihan fisik yang dimiliki oleh orang lain.
Marilah kita teladani semangat beramal orang tua
dalam kisah di atas dan juga semangat berjuang para atlet difabel di ajang
paragames itu. Apakah keadaan fisik kita telah membawa kemaslahatan seperti
ibadah dzikir yang senantiasa orang tua tersebut ucapkan atau telah membuahkan
prestasi seperti yang dilakukan para atlet paragames?
Marilah kita kembali merenungkan keadaan fisik kita,
agar kita lebih bisa memaksimalkannya dalam kebaikan dan menjaganya dari
kemaksiatan. Kalau para difabel saja capable
besyukur dan memanfaatkan fisiknya, jangan sampai kita justru disable mensyukuri dan mengoptimalkan
diri kita.
Subhanallah.... Maka nikmat dari Tuhan kamu yang manakah yang engkau dustakan? (QS Ar Rahman)
ReplyDeleteBenar sekali dan sangat besyukur karena CIQAL concern di bidang ini.
ReplyDelete