Kali ini saya belajar menulis resensi. Buku ini berjudul Embroideries, karangan Marjane Satradi yang mendapatkan penghargaan karena keberaniannya menulis buku ini. Sebuah buku yang cukup tebal tapi cukup dibaca sekitar 1 jam saja karena murni gambar alias komik dengan mengangkat tema tentang feminisme.
Sejujurnya, saya tidak tertarik dengan feminisme. Tetapi
membaca halaman pertama saja, kening saya telah berkerut saking tertariknya.
“Katanya, istri harus menghormati suami.”
Diikuti dengan kalimat di halaman berikutnya, “Selesai makan
siang, seperti biasanya kaum pria pergi tidur siang, sementara kami, kaum
wanita, mulai membereskan meja dan piring-piring.”
Dari dua halaman itu saja, perbedaan antara wanita dan
laki-laki telah begitu ditonjolkan. Ya, buku ini memang bercerita tentang
laki-laki dan perempuan, lebih tepatnya tentang sudut pandang perempuan
mengenai laki-laki yaitu suaminya sendiri.
Buku ini disetting dalam keadaan para tokoh perempuan sedang
mengobrol sambil minum teh selepas makan siang. Setiap tokoh menceritakan
pengalamannya masing-masing. Berhubung saya belum menikah, saya cukup kaget
dengan pengalaman yang dituturkan. Betapa seorang perempuan telah melakukan
segala cara dalam hal perkawinannya. Betapa seorang perempuan memiliki
pemikiran yang mengagetkan terhadap suaminya.
Seorang tokoh berdandan mati-matian untuk menarik perhatian
laki-laki, hingga akhirnya dia memiliki 3 suami. Dia mengatakana kalau dia
tidak berdandan, mana mungkin para suaminya itu mau dengannya. Tokoh tersebut juga
menceritakan wanita lain yang telah meninggal. Wanita tersebut sudah tidak
perawan ketika menikah. Karena takut ketahuan, dia pun melakukan segala cara hingga
justru melukai organ genital suaminya. Katanya, laki-laki tak akan protes
karena alat vitalnya juga telah terluka.
Lain lagi dengan tokoh yang dinikahkan ketika masih kecil
dengan seorang yang lanjut usia hanya karena harta. Karena tidak berhasil
menolak, tokoh tersebut hanya bisa berdoa agar suaminya cepat mati. Atau kisah
tokoh yang mengeluh karena suaminya gemar main wanita atau justru homoseksual.
Hingga mereka memilih pergi dari suami.
Ada lagi kisah tokoh yang tidak direstui oleh calon
mertuanya hingga pergi ke dukun agar mertuanya itu mau memberikan restu. Atau
kisah tokoh yang berusaha agar suaminya tidak berpaling dengan cara operasi
plastik di bagian pinggul dan payudara. Dan dia menertawakan suaminya yang
menyukai hasil operasi payudaranya tersebut, padahal sebenarnya itu adalah
daging dari pantatnya.
Ada juga tokoh yang menikah karena calon suaminya begitu
berharta. Namun selepas menikah dan sang istri mendapatkan begitu banyak hadiah
perhiasan ketika pernikahan, semua perhiasan itu dibawa pergi dan istrinya pun
diceraikan.
Ah, begitu banyak kisah ‘keluhan’ atau ‘perjuangan’ istri
demi suaminya dalam buku ini. Tapi semua itu membuat saya miris. Semua cerita
di atas sungguh bertolak belakang dengan kalimat di halaman pertama, “Katanya,
istri harus menghormati suami.”
Jikalau seorang istri menghormati suami, tentunya dia tidak
berdandan begitu rupa hingga menarik perhatian laki-laki lain dan menikah
sampai 3 kali. Jika seorang istri menghormati suami, tentunya dia tidak
menghalalkan segala cara untuk menutup aib dirinya yang sudah tidak perawan
atau memakai jampi-jampi untuk mendapat restu calon mertua. Jika seorang istri
menghormati suami, tentunya dia tidak menertawakan suaminya yang menyukai
payudara buatan dari pantatnya. Jika seorang istri menghormati suami (seorang
calon istri yang memang benar-benar akan menghormati suami), tentunya dia tidak
menikah dengan suaminya hanya lantaran harta.
Sebagai penutup di buku tersebut, suami dari tuan rumah
diusir dan disuruh tidur siang lagi oleh istrinya karena tak sengaja mencuri
dengar obrolan para perempuan itu. Sang suami itu pun berkata, “Mentang-mentang
aku sudah tua, aku diperintah-perintah begitu saja.”
Ada dua makna dalam kalimat tersebut. Bisa jadi laki-laki
merasa bahwa dia tidak berhak diperintah oleh perempuan. Dalam hal ini saya
tidak akan membahas karena keluar dari konteks di atas. Tapi dari sisi kedua
bisa diartikan bahwa ketika muda seorang istri bisa jadi begitu menghormati
suaminya hingga tidak pernah memerintah. Namun ketika sudah tua, istri mulai
berani untuk memerintah seenaknya. Apakah berarti bahwa semakin tua atau
semakin lama usia perkawinan maka rasa hormat istri pada suami akan luntur?
Entahlah.
Terlepas dari itu semua, jikalau cerita itu benar-benar
nyata dengan setting yang sama, saya merasa tidak nyaman dengan setting
tersebut. Bagaimana bisa seorang wanita yang katanya menghormati suaminya
justru ngrumpi untuk membicarakan urusan rumah tangganya dengan wanita lain.
Bagaimana bisa seorang istri yang menghormati suaminya justru menertawakan
suaminya sendiri bersama kawan-kawannya.
Padahal jelas dikatakan dalam Islam bahwa urusan rumah
tangga sendiri adalah aib untuk dibicarakan. Namun penulis justru mengangkat hal
tersebut dengan setting negara Iran yang mana termasuk negara dengan nuansa
Islam yang kental. Ingin menjatuhkan
Islam atau mengungkap bahwa umat Islam pun sejatinya ada yang demikian?
Entahlah.
No comments:
Post a Comment