Follow Us @soratemplates

Sunday, 8 January 2012

Katanya, Istri Harus Menghormati Suami



Kali ini saya belajar menulis resensi. Buku ini berjudul Embroideries, karangan Marjane Satradi yang mendapatkan penghargaan karena keberaniannya menulis buku ini. Sebuah buku yang cukup tebal tapi cukup dibaca sekitar 1 jam saja karena murni gambar alias komik dengan mengangkat tema tentang feminisme.

Sejujurnya, saya tidak tertarik dengan feminisme. Tetapi membaca halaman pertama saja, kening saya telah berkerut saking tertariknya.

“Katanya, istri harus menghormati suami.”

Diikuti dengan kalimat di halaman berikutnya, “Selesai makan siang, seperti biasanya kaum pria pergi tidur siang, sementara kami, kaum wanita, mulai membereskan meja dan piring-piring.”

Dari dua halaman itu saja, perbedaan antara wanita dan laki-laki telah begitu ditonjolkan. Ya, buku ini memang bercerita tentang laki-laki dan perempuan, lebih tepatnya tentang sudut pandang perempuan mengenai laki-laki yaitu suaminya sendiri.

Buku ini disetting dalam keadaan para tokoh perempuan sedang mengobrol sambil minum teh selepas makan siang. Setiap tokoh menceritakan pengalamannya masing-masing. Berhubung saya belum menikah, saya cukup kaget dengan pengalaman yang dituturkan. Betapa seorang perempuan telah melakukan segala cara dalam hal perkawinannya. Betapa seorang perempuan memiliki pemikiran yang mengagetkan terhadap suaminya.

Seorang tokoh berdandan mati-matian untuk menarik perhatian laki-laki, hingga akhirnya dia memiliki 3 suami. Dia mengatakana kalau dia tidak berdandan, mana mungkin para suaminya itu mau dengannya. Tokoh tersebut juga menceritakan wanita lain yang telah meninggal. Wanita tersebut sudah tidak perawan ketika menikah. Karena takut ketahuan, dia pun melakukan segala cara hingga justru melukai organ genital suaminya. Katanya, laki-laki tak akan protes karena alat vitalnya juga telah terluka.

Lain lagi dengan tokoh yang dinikahkan ketika masih kecil dengan seorang yang lanjut usia hanya karena harta. Karena tidak berhasil menolak, tokoh tersebut hanya bisa berdoa agar suaminya cepat mati. Atau kisah tokoh yang mengeluh karena suaminya gemar main wanita atau justru homoseksual. Hingga mereka memilih pergi dari suami.

Ada lagi kisah tokoh yang tidak direstui oleh calon mertuanya hingga pergi ke dukun agar mertuanya itu mau memberikan restu. Atau kisah tokoh yang berusaha agar suaminya tidak berpaling dengan cara operasi plastik di bagian pinggul dan payudara. Dan dia menertawakan suaminya yang menyukai hasil operasi payudaranya tersebut, padahal sebenarnya itu adalah daging dari pantatnya.

Ada juga tokoh yang menikah karena calon suaminya begitu berharta. Namun selepas menikah dan sang istri mendapatkan begitu banyak hadiah perhiasan ketika pernikahan, semua perhiasan itu dibawa pergi dan istrinya pun diceraikan.

Ah, begitu banyak kisah ‘keluhan’ atau ‘perjuangan’ istri demi suaminya dalam buku ini. Tapi semua itu membuat saya miris. Semua cerita di atas sungguh bertolak belakang dengan kalimat di halaman pertama, “Katanya, istri harus menghormati suami.”

Jikalau seorang istri menghormati suami, tentunya dia tidak berdandan begitu rupa hingga menarik perhatian laki-laki lain dan menikah sampai 3 kali. Jika seorang istri menghormati suami, tentunya dia tidak menghalalkan segala cara untuk menutup aib dirinya yang sudah tidak perawan atau memakai jampi-jampi untuk mendapat restu calon mertua. Jika seorang istri menghormati suami, tentunya dia tidak menertawakan suaminya yang menyukai payudara buatan dari pantatnya. Jika seorang istri menghormati suami (seorang calon istri yang memang benar-benar akan menghormati suami), tentunya dia tidak menikah dengan suaminya hanya lantaran harta.

Sebagai penutup di buku tersebut, suami dari tuan rumah diusir dan disuruh tidur siang lagi oleh istrinya karena tak sengaja mencuri dengar obrolan para perempuan itu. Sang suami itu pun berkata, “Mentang-mentang aku sudah tua, aku diperintah-perintah begitu saja.”

Ada dua makna dalam kalimat tersebut. Bisa jadi laki-laki merasa bahwa dia tidak berhak diperintah oleh perempuan. Dalam hal ini saya tidak akan membahas karena keluar dari konteks di atas. Tapi dari sisi kedua bisa diartikan bahwa ketika muda seorang istri bisa jadi begitu menghormati suaminya hingga tidak pernah memerintah. Namun ketika sudah tua, istri mulai berani untuk memerintah seenaknya. Apakah berarti bahwa semakin tua atau semakin lama usia perkawinan maka rasa hormat istri pada suami akan luntur? Entahlah.

Terlepas dari itu semua, jikalau cerita itu benar-benar nyata dengan setting yang sama, saya merasa tidak nyaman dengan setting tersebut. Bagaimana bisa seorang wanita yang katanya menghormati suaminya justru ngrumpi untuk membicarakan urusan rumah tangganya dengan wanita lain. Bagaimana bisa seorang istri yang menghormati suaminya justru menertawakan suaminya sendiri bersama kawan-kawannya.

Padahal jelas dikatakan dalam Islam bahwa urusan rumah tangga sendiri adalah aib untuk dibicarakan. Namun penulis justru mengangkat hal tersebut dengan setting negara Iran yang mana termasuk negara dengan nuansa Islam yang kental.  Ingin menjatuhkan Islam atau mengungkap bahwa umat Islam pun sejatinya ada yang demikian? Entahlah.

No comments:

Post a Comment