Follow Us @soratemplates

Monday 23 January 2012

3B Kuadrat (Bibit, Bobot, Bebet & Brain, Beauty, Behavior)

Dalam satu bulan terakhir ini, empat orang teman saya telah melepas masa lajangnya. Beberapa teman  yang masih menjomblo dibuat gelisah karenanya. Beberapa karena tak tahan ingin menyusul, beberapa lagi gelisah karena tak kunjung jua mendapat sosok yang pantas menjadi tambatan hati. Untuk kasus yang terakhir ini seringkali menjadi sebuah masalah tersendiri.

Para orang tua sering berkata, mencari jodoh itu harus memperhatikan bibit, bobot, dan bebet. Harus melihat bibitnya dulu, apakah calon itu berasal dari keluarga baik-baik? Lihat pula bobotnya, apakah pribadi calon itu berkualitas, entah berbobot dari segi pendidikan atau kepribadian. Tak lupa diperhatikan pula bebetnya, apakah secara finansial mampu bertanggung jawab pada keluarga?

Bagi orang Jawa, kriteria 3B tersebut mungkin masih menjadi dasar mutlak untuk memilih pasangan hidup. Meski tanpa diakui secara lisan, kecenderungan untuk memenuhi kriteria tersebut dalam hati para orang tua masih cukup dilestarikan. Cinta antaranak boleh saja tumbuh, tapi kalau orang tua masih saklek dengan aturan tersebut, merelakan cinta kandas pun harus dijalani.

Asas kepatutan bibit, mungkin masih menjadi pertimbangan. Sejak awal anak seakan dikenalkan dengan lingkungan yang sederajat. Hingga ujung-ujungnya akan mendapat pasangan hidup dengan bibit yang serasa sudah tepat. Seperti pepatah Jawa, witing tresna jalaran saka kulina yang mungkin diplesetkan menjadi witing tresna jalaran ora ana sing liya. Mungkin kalangan menengah ke bawah bergaulnya dengan orang menengah ke bawah. Orang desa yang tak kemana-mana, bisa jadi dapatnya jodoh tetangga desanya saja. Bagi mereka, bibit sesama desa pun sudah menjadi bibit yang tepat.

Dari segi bobot dan bebet pun demikian. Seseorang serasa tak ‘menjual’ jika tidak berbobot dan berbebet. Seandainya bobotnya kurang, barangkali muncul perasaan sepatutnya mencari calon yang bobotnya sepadan juga. Jika bebetnya masih tak cukup, mungkin mereka ragu jika mencari pasangan yang bebetnya selangit. Perasaan pekewuh agaknya menjadi alasan terbesar dalam hal ini.

Kalau dipikir-pikir, ujung-ujungnya pernikahan terjadi antarkasta yang sama. Anak seorang pejabat menikah dengan anak pejabat pula. Seorang dokter dapat pasangan hidup dokter pula. Seorang aktivis organisasi dapat ativis pula. Orang rumahan di desa dapat orang desa pula. Apakah memang begini tujuannya?

Ada lagi kriteria yang terkesan lebih modern. Mengadopsi dari ajang pemilihan ratu kecantikan, kriteria 3B yaitu brain, beauty, behavior pun menjadi alternatif yang dipilih beberapa kalangan muda. Tak jarang teman-teman saya sering berceloteh, “Dia itu udah cantik, pinter, baik, kurang apa lagi coba?” Atau seorang teman yang berkata, “Pokoknya harus punya brain, beauty, behavior. Brain biar nyambung kalau ngobrol, beauty biar enak dilihat, dan behavior biar tidak malu-maluin.” Hm, kalau begini, rasanya sosok yang diharapkan itu sudah terlihat begitu sempurna.

Coba tanya ke semua orang, siapa yang tidak ingin memiliki pasangan dengan kriteria sangat sempurna seperti itu? Jawabnya pasti tidak ada. Siapapun pasti ingin mendapatkan yang terbaik.

Tetapi nyatanya, menemukan orang dengan memenuhi kriteria bibit, bobot, bebet atau brain, beauty, behavior tidak semudah yang dikira. Ada seorang gadis cantik dan pintar, namun sayangnya kelakuannya tak baik. Ada seorang pria yang bibit dan bobotnya baik, namun sayangnya bebet belum terpenuhi.

Lalu, apakah harus menunggu sampai ada seseorang yang memenuhi semua kriteria itu? Jangan-jangan karena asyik menunggu sosok luar biasa itu justru membuat hati tak kunjung berpaut jua.

Bagaimanapun kita harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Pernah di suatu kajian, seorang ustadzah berkata, “Di awal menikah jangan hanya melihat kesempurnaanya, tapi lihat juga keburukannya. Ketika sudah bisa menerima keburukannya, artinya sudah siap untuk menjalani hidup bersama.”

Barangkali memang begitu adanya. Bisakah kita menerima sosok yang cantik dan pintar itu dengan sedikit cacat dalam bersikap. Hingga nantinya berusaha bersama untuk saling memperbaiki diri. Bisakah kita mengakui pria dengan bibit dan bobot yang baik itu meski bebet belum mencukupi. Hingga nantinya bertekad untuk berjuang mencukupi bebet bersama. Andai kita bisa menerima, tentu perkara menautkan hati pun menjadi mudah kiranya.

Saya jadi teringat sebuah hikmah dari buku yang dulu pernah saya baca. Kurang lebih pesannya begini, “Jika nanti ada seorang pria dengan keimanan pada Allah SWT menemuimu, maka tak ada alasan untuk mengatakan tidak.” Wow, sesimpel itukah?

Mungkin yang harus disadari adalah, asal iman masih di hati maka semua masalah menjadi tak berarti. Ketika iman di hati, maka kita akan percaya bahwa itulah jodoh terbaik yang Allah hadiahkan untuk kita. Bibit, bobot, bebet atau brain, beauty, behavior? Itu sih bisa diperbaiki.


4 comments:

  1. Pertanyaan yang muncul kemudian adalaah..

    bagaimana kita mau menilai keimanan seseorang, mbakyu..?

    ReplyDelete
  2. Dalam hadits disebutkan jika datang seorang laki-laki yang kamu ridhai (senangi) agamanya. Artinya menilai iman tergantung dari si wanita, apakah dia senang atau tidak dengan agama si pria.

    ReplyDelete
  3. maka, bagaimana kita mengukur konsentrasi agama seseorang, mbakyu?

    seingat saya, "kamu" dalam hadits itu menunjuk kepada wali si wanita..? betulkah? atau saya yang salah?

    ReplyDelete
  4. Oh, iya benar. Yang dimaksud kamu adalah wali yang menerima lamaran dari seorang pria.
    Secara lengkapnya kurang lebih begini haditsnya, "Jika ada seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya datang melamar (putri) mu maka nikahkanlah dia, jika kalian tidak melakukakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan keurasakan yang meluas”. (HR. Bukhari)
    Di situ disebutkan agama dan akhlak. Agama sendiri dalam hal ini iman adalah sesuatu yang tidak hanya dalam hati, tetapi juga amalan dan perkataan. Jadi, barangkali bisa dilihat dari amalan dan perkataannya alias akhlaknya itu sendiri.
    Perkara bagaimana hatinya, itulah mengapa orang tetap butuh berdoa.

    ReplyDelete