Dalam satu
bulan terakhir ini, empat orang teman saya telah melepas masa lajangnya.
Beberapa teman yang masih menjomblo dibuat
gelisah karenanya. Beberapa karena tak tahan ingin menyusul, beberapa lagi
gelisah karena tak kunjung jua mendapat sosok yang pantas menjadi tambatan hati.
Untuk kasus yang terakhir ini seringkali menjadi sebuah masalah tersendiri.
Para orang
tua sering berkata, mencari jodoh itu harus memperhatikan bibit, bobot, dan
bebet. Harus melihat bibitnya dulu, apakah calon itu berasal dari keluarga
baik-baik? Lihat pula bobotnya, apakah pribadi calon itu berkualitas, entah berbobot
dari segi pendidikan atau kepribadian. Tak lupa diperhatikan pula bebetnya, apakah
secara finansial mampu bertanggung jawab pada keluarga?
Bagi orang
Jawa, kriteria 3B tersebut mungkin masih menjadi dasar mutlak untuk memilih
pasangan hidup. Meski tanpa diakui secara lisan, kecenderungan untuk memenuhi
kriteria tersebut dalam hati para orang tua masih cukup dilestarikan. Cinta antaranak
boleh saja tumbuh, tapi kalau orang tua masih saklek dengan aturan tersebut, merelakan
cinta kandas pun harus dijalani.
Asas
kepatutan bibit, mungkin masih menjadi pertimbangan. Sejak awal anak seakan
dikenalkan dengan lingkungan yang sederajat. Hingga ujung-ujungnya akan
mendapat pasangan hidup dengan bibit yang serasa sudah tepat. Seperti pepatah
Jawa, witing tresna jalaran saka kulina
yang mungkin diplesetkan menjadi witing
tresna jalaran ora ana sing liya. Mungkin kalangan menengah ke bawah
bergaulnya dengan orang menengah ke bawah. Orang desa yang tak kemana-mana,
bisa jadi dapatnya jodoh tetangga desanya saja. Bagi mereka, bibit sesama desa
pun sudah menjadi bibit yang tepat.
Dari segi
bobot dan bebet pun demikian. Seseorang serasa tak ‘menjual’ jika tidak
berbobot dan berbebet. Seandainya bobotnya kurang, barangkali muncul perasaan sepatutnya
mencari calon yang bobotnya sepadan juga. Jika bebetnya masih tak cukup,
mungkin mereka ragu jika mencari pasangan yang bebetnya selangit. Perasaan pekewuh agaknya menjadi alasan terbesar
dalam hal ini.
Kalau
dipikir-pikir, ujung-ujungnya pernikahan terjadi antarkasta yang sama. Anak
seorang pejabat menikah dengan anak pejabat pula. Seorang dokter dapat pasangan
hidup dokter pula. Seorang aktivis organisasi dapat ativis pula. Orang rumahan
di desa dapat orang desa pula. Apakah memang begini tujuannya?
Ada lagi
kriteria yang terkesan lebih modern. Mengadopsi dari ajang pemilihan ratu
kecantikan, kriteria 3B yaitu brain, beauty, behavior pun menjadi alternatif
yang dipilih beberapa kalangan muda. Tak jarang teman-teman saya sering
berceloteh, “Dia itu udah cantik, pinter, baik, kurang apa lagi coba?” Atau
seorang teman yang berkata, “Pokoknya harus punya brain, beauty, behavior.
Brain biar nyambung kalau ngobrol, beauty biar enak dilihat, dan behavior biar
tidak malu-maluin.” Hm, kalau begini, rasanya sosok yang diharapkan itu sudah
terlihat begitu sempurna.
Coba tanya
ke semua orang, siapa yang tidak ingin memiliki pasangan dengan kriteria sangat
sempurna seperti itu? Jawabnya pasti tidak ada. Siapapun pasti ingin
mendapatkan yang terbaik.
Tetapi nyatanya, menemukan orang dengan
memenuhi kriteria bibit, bobot, bebet atau brain, beauty, behavior tidak
semudah yang dikira. Ada seorang gadis cantik dan pintar, namun sayangnya
kelakuannya tak baik. Ada seorang pria yang bibit dan bobotnya baik, namun
sayangnya bebet belum terpenuhi.
Lalu,
apakah harus menunggu sampai ada seseorang yang memenuhi semua kriteria itu? Jangan-jangan
karena asyik menunggu sosok luar biasa itu justru membuat hati tak kunjung
berpaut jua.
Bagaimanapun
kita harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Pernah di suatu
kajian, seorang ustadzah berkata, “Di awal menikah jangan hanya melihat
kesempurnaanya, tapi lihat juga keburukannya. Ketika sudah bisa menerima
keburukannya, artinya sudah siap untuk menjalani hidup bersama.”
Barangkali
memang begitu adanya. Bisakah kita menerima sosok yang cantik dan pintar itu
dengan sedikit cacat dalam bersikap. Hingga nantinya berusaha bersama untuk
saling memperbaiki diri. Bisakah kita mengakui pria dengan bibit dan bobot yang
baik itu meski bebet belum mencukupi. Hingga nantinya bertekad untuk berjuang mencukupi
bebet bersama. Andai kita bisa menerima, tentu perkara menautkan hati pun
menjadi mudah kiranya.
Saya jadi
teringat sebuah hikmah dari buku yang dulu pernah saya baca. Kurang lebih
pesannya begini, “Jika nanti ada seorang pria dengan keimanan pada Allah SWT
menemuimu, maka tak ada alasan untuk mengatakan tidak.” Wow, sesimpel itukah?
Mungkin
yang harus disadari adalah, asal iman masih di hati maka semua masalah menjadi
tak berarti. Ketika iman di hati, maka kita akan percaya bahwa itulah jodoh
terbaik yang Allah hadiahkan untuk kita. Bibit, bobot, bebet atau brain,
beauty, behavior? Itu sih bisa diperbaiki.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalaah..
ReplyDeletebagaimana kita mau menilai keimanan seseorang, mbakyu..?
Dalam hadits disebutkan jika datang seorang laki-laki yang kamu ridhai (senangi) agamanya. Artinya menilai iman tergantung dari si wanita, apakah dia senang atau tidak dengan agama si pria.
ReplyDeletemaka, bagaimana kita mengukur konsentrasi agama seseorang, mbakyu?
ReplyDeleteseingat saya, "kamu" dalam hadits itu menunjuk kepada wali si wanita..? betulkah? atau saya yang salah?
Oh, iya benar. Yang dimaksud kamu adalah wali yang menerima lamaran dari seorang pria.
ReplyDeleteSecara lengkapnya kurang lebih begini haditsnya, "Jika ada seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya datang melamar (putri) mu maka nikahkanlah dia, jika kalian tidak melakukakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan keurasakan yang meluas”. (HR. Bukhari)
Di situ disebutkan agama dan akhlak. Agama sendiri dalam hal ini iman adalah sesuatu yang tidak hanya dalam hati, tetapi juga amalan dan perkataan. Jadi, barangkali bisa dilihat dari amalan dan perkataannya alias akhlaknya itu sendiri.
Perkara bagaimana hatinya, itulah mengapa orang tetap butuh berdoa.