Membaca buku Hidup Itu Indah karangan Aji Prasetyo layaknya
membaca sebuah parade yang sarat dengan paradoks. Buku dengan cover berwarna
putih dan gambar kartun itu cukup menggelitik hati saya. Halaman covernya saja
sudah menampilkan paradoks. Di cover tergambar tiga orang dengan atribut Islam
yang kental ditilang polisi karena mengendari motor bertiga. Celoteh pengendara
motor tersebut begini, “Melanggar? Ayat yang mana, hadits yang mana!?”
Seperti dalam cover tersebut, sindiran atau sentilan kritis
dan menggelitik terus ditampilkan oleh Aji Prasetyo dalam buku komik opininya
ini. Buku ini terbagi dalam 5 bab dengan bahasan yang berbeda yaitu hidup itu
indah, komoditi itu bernama agama, sekolah itu bernama media, berpolitik tanpa
melukai akal sehat, dan sejumput wacana dalam selembar.
Di bab hidup itu indah, Aji menampilkan rumitnya birokrasi
di Indonesia. Gambar yang lucu ditampilkan ketika petugas kelurahan hendak
menyetempel, sudah tinggal menempelkan stempel saja, ibu petugas justru asyik
ngobrol. Suasana kantor pun digambarkan dengan beberapa petugas yang asyik
ngrumpi, bermain catur, makan, atau memamerkan barang belian. Demikian juga
cerita mengenai rumitnya peraturan birokrasi yang petugas birokrasinya sendiri
tidak tahu apa makna peraturan tersebut. Atau tentang prosedur yang begitu
didewa-dewakan hingga seseorang terlihat begitu membosankan dan tidak punya
daya improvisasi. Di bagian akhir bab digambarkan seorang suami istri yang baru
saja menikah. Sang istri merasa bahagia dan berjanji akan merwat rumah dengan
sebaik-baiknya. Dia berkata, “Masalahnya tinggal satu, mas. Aku masih takut
ketinggian.” Tenyata rumah mereka hanyalah rumah kotak di tepi tebing di bawah
kolong jembatan. Sungguh paradoks dengan kebahagiaan kedua pasangan tersebut.
Di bab komoditi itu bernama agama, Aji lebih banyak
mengkritisi mengenai kehidupan beragama di Indonesia. Seperti dalam kisah setan
menggugat, ketika setan frustasi karena manusia lebih berjiwa setan daripada
dirinya sendiri. Atau mengkritisi tindakan perusakan tempat makan yang buka
siang hari di bulan Ramadhan tapi tidak ada perusakan untuk McD atau KFC. Atau
tentang komentar setan yang justru lebih bangga karena tindakan tersebut justru
menunjukkan manusia lebih anarki di bulan Ramadhan. Demikian juga tentang
bangganya seseorang yang berkali-kali umrah atau naik haji, padahal di
sekitarnya masih banyak tetangga yang hidup susah. Lagi-lagi sebuah paradoks.
Di bab sekolah bangsa itu bernama media, Aji menyentil
fenomena yang muncul dari sebuah media. Mulai dari reality show yang terlihat
begitu pas angle pengambilan gambarnya, atau reality show minta tolong yang ujung-ujungnya
tetap mencari orang dengan wajah dan ekspresi menjual. Demikian juga ajang
pencarian bakat di mana seorang mama mengaku syari justru mempromosikan
putrinya dengan kemasan lebih banyak yang terbuka daripada yang tertutup. Hm, paradoks yang sempurna.
Selanjutnya di bab berpolitik tanpa melukai akal sehat, Aji
dapat mengkritisi fenomena politik yang berbeda. Lagi-lagi tentang politik suap
dan ‘sendiko dhawuh’ agar proyek
lancar, atau anggota dewan yang ngantukan dan hanya setuju-setuju saja dengan
segala kebijakan. Yang cukup menggelitik yaitu kehebohan selama kampanye. Mulai
dari baliho-baliho dengan atribut beraneka rupa atau iklan-iklan TV yang
menampilkan pemberian bantuan seakan ingin membentuk image diri yang berbeda.
Hm, sebuah paradoks.
Dan bab terakhir adalah sejumput wacana dalam selembar. Di sini
Aji memberikan sebuah sentilan dalam sebuah gambar untuk satu halaman. Meski
hanya satu lembar, gambar-gambar itu tetap dapat menampilkan sebuah paradoks.
Meski buku ini sarat dengan kritikan, saya dapat
menikmatinya dengan senyum simpul yang tak kunjung lepas. Keadaan-keadaan yang
digambarkan Aji dalam komiknya memang benar-benar ada. Pembaca seakan diajak
untuk menertawakan sendiri apa yang terjadi di masyarakat tersebut lewat gambar
kartun yang Aji suguhkan.
Di sinilah kelebihan Aji. Dia dapat mengungkapkan kritik
tanpa menimbulkan rasa ‘sakit’ yang mendalam pada diri pembaca. Meskipun buku
ini tetap tergolong sulit di dapat karena khawatir kritikan yang dilontarkan
Aji dapat menjadi sebuah masalah
tersendiri. Terlepas dari itu, saya mempelajari bagaimana Aji bisa memberikan
sebuah kiritikan yang lugas tanpa tedeng
aling-aling namun tidak terlalu terasa efek sarkasmenya.
Namun buku ini memang benar-benar hanyalah subjektif semata
karena ini memang komik opini. Segala kritikan maupun paham-paham yang
disampaikan dalam buku ini murni adalah pemikiran Aji sendiri. Aji cenderung hanya
memaparkan suatu permasalahan dari sudut pandangnya sendiri, dengan tujuan
mengkritik dan belum menyertakan atau memberikan celah untuk memperoleh solusi.
Meski begitu, segala permasalahan yang disampaikan oleh Aji
dalam buku ini dapat menjadi perenungan tersendiri bagi pembaca. Pembaca diajak
untuk lebih mengkritisi segala fenomena yang ada di masyarakat. Tidak adanya
solusi dari Aji bisa jadi justru memberikan kesempatan selebar-lebarnya bagi
masyarakat untuk mengatasi masalah dalam masyarakat tersebut dengan lebih bijak
sesuai dengan kapasitas dan interpretasi masing-masing.
Bagi saya pribadi, meskipun tidak semua opini Aji dapat saya
setujui, saya dapat belajar darinya untuk memperoleh sudut pandang berbeda
dalam melihat sebuah masalah. Saya harap demikian pula dengan para pembaca
sehingga parade paradoks ini dapat mengena di hati dan dapat segera ditemukan
solusi.
No comments:
Post a Comment