Follow Us @soratemplates

Wednesday, 11 January 2012

Parade Paradoks




Membaca buku Hidup Itu Indah karangan Aji Prasetyo layaknya membaca sebuah parade yang sarat dengan paradoks. Buku dengan cover berwarna putih dan gambar kartun itu cukup menggelitik hati saya. Halaman covernya saja sudah menampilkan paradoks. Di cover tergambar tiga orang dengan atribut Islam yang kental ditilang polisi karena mengendari motor bertiga. Celoteh pengendara motor tersebut begini, “Melanggar? Ayat yang mana, hadits yang mana!?”

Seperti dalam cover tersebut, sindiran atau sentilan kritis dan menggelitik terus ditampilkan oleh Aji Prasetyo dalam buku komik opininya ini. Buku ini terbagi dalam 5 bab dengan bahasan yang berbeda yaitu hidup itu indah, komoditi itu bernama agama, sekolah itu bernama media, berpolitik tanpa melukai akal sehat, dan sejumput wacana dalam selembar.

Di bab hidup itu indah, Aji menampilkan rumitnya birokrasi di Indonesia. Gambar yang lucu ditampilkan ketika petugas kelurahan hendak menyetempel, sudah tinggal menempelkan stempel saja, ibu petugas justru asyik ngobrol. Suasana kantor pun digambarkan dengan beberapa petugas yang asyik ngrumpi, bermain catur, makan, atau memamerkan barang belian. Demikian juga cerita mengenai rumitnya peraturan birokrasi yang petugas birokrasinya sendiri tidak tahu apa makna peraturan tersebut. Atau tentang prosedur yang begitu didewa-dewakan hingga seseorang terlihat begitu membosankan dan tidak punya daya improvisasi. Di bagian akhir bab digambarkan seorang suami istri yang baru saja menikah. Sang istri merasa bahagia dan berjanji akan merwat rumah dengan sebaik-baiknya. Dia berkata, “Masalahnya tinggal satu, mas. Aku masih takut ketinggian.” Tenyata rumah mereka hanyalah rumah kotak di tepi tebing di bawah kolong jembatan. Sungguh paradoks dengan kebahagiaan kedua pasangan tersebut.

Di bab komoditi itu bernama agama, Aji lebih banyak mengkritisi mengenai kehidupan beragama di Indonesia. Seperti dalam kisah setan menggugat, ketika setan frustasi karena manusia lebih berjiwa setan daripada dirinya sendiri. Atau mengkritisi tindakan perusakan tempat makan yang buka siang hari di bulan Ramadhan tapi tidak ada perusakan untuk McD atau KFC. Atau tentang komentar setan yang justru lebih bangga karena tindakan tersebut justru menunjukkan manusia lebih anarki di bulan Ramadhan. Demikian juga tentang bangganya seseorang yang berkali-kali umrah atau naik haji, padahal di sekitarnya masih banyak tetangga yang hidup susah. Lagi-lagi sebuah paradoks.

Di bab sekolah bangsa itu bernama media, Aji menyentil fenomena yang muncul dari sebuah media. Mulai dari reality show yang terlihat begitu pas angle pengambilan gambarnya, atau reality show minta tolong yang ujung-ujungnya tetap mencari orang dengan wajah dan ekspresi menjual. Demikian juga ajang pencarian bakat di mana seorang mama mengaku syari justru mempromosikan putrinya dengan kemasan lebih banyak yang terbuka daripada yang tertutup.  Hm, paradoks yang sempurna.

Selanjutnya di bab berpolitik tanpa melukai akal sehat, Aji dapat mengkritisi fenomena politik yang berbeda. Lagi-lagi tentang politik suap dan ‘sendiko dhawuh’ agar proyek lancar, atau anggota dewan yang ngantukan dan hanya setuju-setuju saja dengan segala kebijakan. Yang cukup menggelitik yaitu kehebohan selama kampanye. Mulai dari baliho-baliho dengan atribut beraneka rupa atau iklan-iklan TV yang menampilkan pemberian bantuan seakan ingin membentuk image diri yang berbeda. Hm, sebuah paradoks.

Dan bab terakhir  adalah sejumput wacana dalam selembar. Di sini Aji memberikan sebuah sentilan dalam sebuah gambar untuk satu halaman. Meski hanya satu lembar, gambar-gambar itu tetap dapat menampilkan sebuah paradoks.

Meski buku ini sarat dengan kritikan, saya dapat menikmatinya dengan senyum simpul yang tak kunjung lepas. Keadaan-keadaan yang digambarkan Aji dalam komiknya memang benar-benar ada. Pembaca seakan diajak untuk menertawakan sendiri apa yang terjadi di masyarakat tersebut lewat gambar kartun yang Aji suguhkan.

Di sinilah kelebihan Aji. Dia dapat mengungkapkan kritik tanpa menimbulkan rasa ‘sakit’ yang mendalam pada diri pembaca. Meskipun buku ini tetap tergolong sulit di dapat karena khawatir kritikan yang dilontarkan Aji dapat  menjadi sebuah masalah tersendiri. Terlepas dari itu, saya mempelajari bagaimana Aji bisa memberikan sebuah kiritikan yang lugas tanpa tedeng aling-aling namun tidak terlalu terasa efek sarkasmenya.

Namun buku ini memang benar-benar hanyalah subjektif semata karena ini memang komik opini. Segala kritikan maupun paham-paham yang disampaikan dalam buku ini murni adalah pemikiran Aji sendiri. Aji cenderung hanya memaparkan suatu permasalahan dari sudut pandangnya sendiri, dengan tujuan mengkritik dan belum menyertakan atau memberikan celah untuk memperoleh solusi.

Meski begitu, segala permasalahan yang disampaikan oleh Aji dalam buku ini dapat menjadi perenungan tersendiri bagi pembaca. Pembaca diajak untuk lebih mengkritisi segala fenomena yang ada di masyarakat. Tidak adanya solusi dari Aji bisa jadi justru memberikan kesempatan selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk mengatasi masalah dalam masyarakat tersebut dengan lebih bijak sesuai dengan kapasitas dan interpretasi masing-masing.

Bagi saya pribadi, meskipun tidak semua opini Aji dapat saya setujui, saya dapat belajar darinya untuk memperoleh sudut pandang berbeda dalam melihat sebuah masalah. Saya harap demikian pula dengan para pembaca sehingga parade paradoks ini dapat mengena di hati dan dapat segera ditemukan solusi.

No comments:

Post a Comment