Follow Us @soratemplates

Tuesday, 26 August 2014

Mungkin Kamu Lelah

04:59 0 Comments
Seorang teman menemukanku teronggok tak berdaya di sudut musholla kampus siang tadi. Dia yang semula sekedar lewat lantas terpekik tak menyangka mendapatiku dalam posisi begitu. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir. Maka keluarlah ceritaku, dan dia menanggapi, "Mungkin kamu lelah. Aku sedih ngliat kamu kacau begini, padahal biasanya hidupmu selalu tertata rapi."

Lelah. Bukan sekali ini saja aku menuliskan tentang lelah di sini. Ada banyak tema lelah yang sudah aku keluarkan dari otakku sebelumnya. Lagi-lagi semua dengan sudut pandang berbeda. Semula di artikel lelah? aku mempertanyakan makna syukur bagi orang yang merasa lelah. Lalu di artikel lelah marah aku mempertanyakan tentang manajemen hati betapa lelah harus dikeluarkan dengan keikhlasan agar tidak merusak hati. Dan kali ini aku mempertanyakan lagi tentang keadaan kala lelah ini.

Teman yang menegurku di musholla itu semula sudah menegurku di kamar koas. Kami bercakap-cakap sebentar dan dia berkomentar, "Hei, jaga hati. Kenapa kamu marah-marah sama aku? Aku ga salah apa-apa kok kena semprot?" Asli, aku tidak bermaksud sama sekali untuk marah-marah. Nyatanya, temanku menganggapku begitu.

Aku pernah sedih dan menangis karena lelah. Bukan, bukan karena terlalu lelah hingga kesal dan menangis, tapi aku menangis kenapa aku harus mengalami kelelahan fisik yang mempengaruhi kelelahan hati. Di tulisan sebelumnya aku sudah menulis tentang makna ikhlas agar lelah fisik tidak merembet menjadi lelah hati. Sayangnya, tidak melulu aku bisa seperti itu dan pada akhirnya hati pun ikut lelah dan aku menangisi hal itu.

Saat itu aku lelah dan dalam bayanganku aku ingin segera pulang untuk beristirahat. Aku ingin tidur dulu untuk membayar hutang tidur jaga malamku. Pun aku ingin mendinginkan hati dulu setelah dicerca tekanan ini itu. Bayanganku rumah adalah tempat yang indah. Tidur, dan sirna sudah lelah fisik dan hati itu. Nyatanya, tidak bisa demikian. Di rumah aku dituntut menjalankan peranku sebagai anggota rumah. Ada keluarga yang menunggu yang berharap aku melakukan ini itu. Lelah? Entahlah, semula aku paham bahwa semua orang punya kelelahannya masing-masing. Maka, tak peduli dengan lelahku, aku seharusnya tetap melakukan pekerjaanku itu. Dan itulah yang terjadi, lelah, marah, yang akhirnya berujung dengan air mata yang menetes. Bukan apa-apa. Itu hanyalah air mata penyelasan, kenapa pula aku harus melibatkan amarah ketika lelah. Dan semua tinggal sebuah penyesalan.

Beberapa teman yang tahu kondisiku saat itu berkomentar bahwa mereka pernah mengalami keadaan itu pula. Bayangan rumah yang tenang menjadi awut-awutan karena kita sendiri yang uring-uringan. Sebenarnya kami sudah tahu juga bahwa urusan kerja (koas) biarlah urusan di rumah sakit, dan urusan rumah tetap urusan rumah. Aku juga pernah menuliskan begitu sebelumnya tentang jangan bawa-bawa urusan pekerjaan dalam rumah tangga. Nyatanya kami belum cukup mahir untuk itu, dan kami masih terbawa emosi ketika terjadi intrik yang seharusnya bisa ditanggapi biasa-biasa saja dengan keluarga.

Kami menyesal. Sungguh kami sedih ketika harus marah saat lelah. Lagi-lagi setan yang menguasai, dan pada akhirnya setan akan tertawa sedangkan kami hanya menangis. Sudah terlanjur marah, sudah terlanjur lelah, sudah terlanjur ada noda dalam interaksi dengan orang lain.

Seorang teman akhirnya berpendapat, "Memang harus banyak-banyak istigfar. Usahakan dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, bibir tidak pernah berhenti untuk beristigfar. Mohon ampun atas semua kesalahan di rumah sakit. Mohon ampun untuk hati yang terlanjur panas. Mohon ampun agar sesampai di rumah semua telah sirna dan hati menjadi tenang."

Ya, barangkali memang begitu. Perjalanan pulang haruslah menjadi ajang introspeksi, bukan sekedar ajang pengharapan kenikmatan istirahat yang sudah di angan-angan. Pun diingat pula sepertinya bahwa manusia cuma bisa berharap yang belum tentu semua terlaksana. Aku boleh saja berharap segera merebahkan badan begitu sampai di rumah, nyatanya belum tentu keadaan di rumah akan benar-benar mendukung untuk melakukan demikian.

Maka istigfar saja. Ketika fisik mulai terasa lelah, mohon ampun saja sebelum hati terlanjur merasakan lelah pula. Lebih baik mohon ampun di awal daripada mohon ampun di akhir dengan air mata penyesalan. Semoga kita masih tetap ikhlas menjalani rutinitas hingga tak perlu merasa lelah. Semoga jikalau akhirnya lelah sudah mendera fisik tak sampai merembet hingga lelah hati. Semoga... Aamiin...



Monday, 25 August 2014

Menulis, Mengganggu

01:24 0 Comments
Menulis adalah pekerjaan yang menyenangkan. Tapi, bagi sebagian orang, menulis juga bisa dianggap sebagai suatu aktivitas yang memberatkan. Banyak yang mengeluh terbengkalai ini itu karena harus menulis. Lantas tiba-tiba terbersit pertanyaan, apakah menulis itu pekerjaan yang mengganggu?

Seorang teman yang ditanya tentang progres menulisnya berkata, "Maaf, aku sedang sibuk menggantikan peran sebagai seorang ibu." Lain lagi teman berkata, "Aku tidak menulis, aku mau fokus skripsi dulu." Begitu juga beberapa alasan serupa yang mengesankan bahwa menulis adalah kegiatan menyita waktu dan mungkin akan mengganggu rutinitas lainnya.

Sebaliknya, ada yang berkomentar pada orang yang konsisten menulis, "Kok bisa masih sempat menulis?" Atau mereka bertanya-tanya, "Ga terganggu aktivitasnya dengan menulis?" Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya yang mengesankan keraguan mengapa harus repot-repot menulis di tengah rutinitas lainnya.

Bagi sebagian orang, menulis adalah caranya untuk bersenang-senang. Maka, ketika waktu begitu padat, bukan tidak mungkin dia justru menulis untuk membuat dirinya tetap senang. Ini bukan perkara sempat atau tidak sempat untuk menulis, atau tentang mengganggu waktu lainnya atau tidak, tetapi ini tentang pemuasan kebutuhan untuk menulis yang mungkin justru akan terus disempatkan agar aktivitas lain tidak terganggu karena otak yang keburu mendidih kepanasan.

Barangkali pertanyaan ini serupa dengan pertanyaan membaca itu memanfaatkan waktu atau justru membuang waktu? Seseorang yang sedang memiliki banyak pekerjaan memilih menggunakan waktunya untuk membaca terlebih dahulu. Lantas orang lain berkata, "Kenapa malah membuang-buang waktu dengan membaca, segera kerjakan tugasmu". Padahal di mata orang itu bisa saja dia berpikir, "Lebih baik aku memanfaatkan waktu dengan membaca, daripada justru aku membuang waktu karena belum menemukan jawaban dari tugas-tugasku."

Seorang teman pernah menanggapi pertanyaan itu. Baginya, kalau bacaan yang dia baca itu baik, berarti dia memanfaatkan waktu. Tapi jika bacaan yang dia baca tidak ada gunanya, berarti dia membuang-buang waktu. Jika dikembalikan ke masalah semula terkait menulis, akankah berarti jika tulisan itu berguna maka dia tidak mengganggu dan jika tulisan itu tak bermutu maka ia hanyalah sebagai pengganggu? 

Padahal ada orang di luar sana yang beranggapan tak ada bacaan yang tak berguna dan tak ada tulisan yang tak bermutu. Sekalipun itu bacaan buruk, tinggal pintar-pintar bagaimana si pembaca mampu menangkap hikmahnya. Ambil baiknya, buang buruknya, jadikan pembelajaran. Maka bacaan itu tetap menjadi bacaan yang berguna. Berlaku pula bagi suatu tulisan. Tak ada istilah tulisan baik atau buruk karena semua dinilai menurut selera pembaca. Tulisan yang dianggap sampah bahkan ternyata mengandung nilai yang bisa terbaca oleh mereka yang pandai mengungakapnya.

Lalu? Apakah itu artinya membaca tetaplah berguna dan menulis tak seharusnya mengganggu?

Mungkin value dari sebuah aktivitas yang kita lakukan hanyalah diri kita yang merasakan. Orang mungkin tak habis pikir melihat orang lain yang tengah malam menulis tidak penting di blog. Bukankah lebih baik dia istirahat? Orang mungkin tak habis pikir pula melihat orang lain yang membaca buku pengembangan diri padahal ada setumpuk diktat kuliah yang belum dikuasai. Bukankah dia lebih baik segera menyelesaikan buku-buku kuliahnya? Tapi, siapa kita dan siapa mereka? Apa hak kita melarang orang lain mendapatkan nilai dari aktivitas baca dan tulisnya?

Jikalau kita terganggu karena orang lain yang menganggap baca tulis kita adalah kegiatan yang tak bermutu, biarkan saja. Atau, bagi Anda yang masih merasa bahwa baca tulis hanyalah sambilan yang cukup mengganggu, mungkin perlu dicari lagi value-nya. Karena semua aktivitas kita akan kembali berarti ketika kita mampu mengambil nilainya. Insya Allah.


Saturday, 2 August 2014

Harta Tahta Wanita

17:15 0 Comments

Ada sebuah anggapan di masyarakat bahwa manusia sering terjebak pada tiga nafsu dunia. Nafsu tersebut adalah tentang harta, tahta, dan wanita. Hal ini tentu saja berlaku untuk pria, sedangkan bagi kaum wanita tentu akan beralih menjadi harta, tahta, dan pria. Intinya sama saja bahwa keinginan seseorang berkutat pada kekayaan, posisi, dan lawan jenis.

Ketika seseorang mentas dan berlepas dari kehidupan orang tuanya selepas menikah, sangat wajar jika faktor ekonomi menjadi prioritas utama. Bagaimana seorang suami mampu menafkahi istrinya, pun bagaimana seorang istri mampu mengelola nafkah suami untuk kebutuhan sehari-harinya. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan di sektor ekonomi ini semakin bertambah. Lahirlah anak, muncullah keinginan-keinginan yang pada akhirnya semua berujung pada ada tidaknya uang. Maka mungkin benar adanya jika nafsu pertama yang membuat manusia tergila-gila pada dunia adalah nafsu harta.

Ketika hidup sudah mulai mapan, kebutuhan ini itu sudah tidak sempoyongan, manusia lagi-lagi mencari tantangan. Apa lagi sekarang? Harta sudah ada, saatnya aku membuktikan bahwa aku bisa. Barangkali begitu pemikirannya. Maka kebutuhan akan aktualisasi diri pun muncul. Ada yang mewujudkannya dengah terjun ke politik mencalonkan diri sebagai anggota legislatif misalnya atau dengan makin menyelam ke dunia bisnis untuk mengguritakan ladang bisnisnya. Bukan semata-mata untuk uang karena keuangan bukan lagi menjadi suatu permasalahan, melainkan karena manusia butuh pengakuan. Itulah mungkin yang membuat tahta sebagai nafsu dunia selanjutnya.

Ketika pengakuan sudah di tangan, lagi-lagi manusia tidak merasa terpuaskan. Tantangan demi tantangan menggelitik ingin ditaklukkan. Harta sudah ada, kuasa juga sudah punya, untuk apa lagi sekarang. Dengan harta dan kekuasaannya bukan tidak mungkin manusia menjadi makhluk mempesona untuk memikat lawan jenisnya. Pejabat-pejabat punya pria atau wanita idaman lain, sepertinya bukan lagi sekedar kisah sinetron di layar kaca. Satu demi satu lawan jenis dijerat. Seringnya masa ini muncul di usia separuh baya, ketika hidup susah mengejar harta dan tahta sudah terlewat. Maka muncullah istilah puber kedua, ketika lagi-lagi tertarik pada lawan jenis karena sudah memiliki segalanya. Lepas dari satu wanita boleh jadi berganti ke wanita berikutnya. Begitu seterusnya demi memberinya tantangan hidup untuk menaklukkan dunia, yaitu nafsu wanita.

Pertanyaan yang kini muncul adalah hingga kapan keinginan ini berakhir? Keping-keping uang tetap ditumpuk, tingkatan-tingkatan posisi terus didaki, satu demi satu lawan jenis terus dijajaki. Mungkinkah barangkali hanya ajal yang akan menghentikan? Tapi jika memang hanya ajal yang mengakhiri, apakah lantas semua manusia akan melalui fase ini? Wallahu'alam. Na`udzubillahimindzalik.

Mungkin memang benar tidak seharusnya dunia disandarkan di hati. Cukuplah ia di tangan untuk digenggam dan mudah dilepaskan hingga kita tak perlu mengalami rasanya gila harta, tahta, dan wanita. Semoga Allah SWT tidak menjadikan kita cinta dunia hingga lupa negeri kekal di akhirat sana. Aamiin...