Seorang teman menemukanku teronggok tak berdaya di sudut musholla kampus siang tadi. Dia yang semula sekedar lewat lantas terpekik tak menyangka mendapatiku dalam posisi begitu. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir. Maka keluarlah ceritaku, dan dia menanggapi, "Mungkin kamu lelah. Aku sedih ngliat kamu kacau begini, padahal biasanya hidupmu selalu tertata rapi."
Lelah. Bukan sekali ini saja aku menuliskan tentang lelah di sini. Ada banyak tema lelah yang sudah aku keluarkan dari otakku sebelumnya. Lagi-lagi semua dengan sudut pandang berbeda. Semula di artikel lelah? aku mempertanyakan makna syukur bagi orang yang merasa lelah. Lalu di artikel lelah marah aku mempertanyakan tentang manajemen hati betapa lelah harus dikeluarkan dengan keikhlasan agar tidak merusak hati. Dan kali ini aku mempertanyakan lagi tentang keadaan kala lelah ini.
Teman yang menegurku di musholla itu semula sudah menegurku di kamar koas. Kami bercakap-cakap sebentar dan dia berkomentar, "Hei, jaga hati. Kenapa kamu marah-marah sama aku? Aku ga salah apa-apa kok kena semprot?" Asli, aku tidak bermaksud sama sekali untuk marah-marah. Nyatanya, temanku menganggapku begitu.
Aku pernah sedih dan menangis karena lelah. Bukan, bukan karena terlalu lelah hingga kesal dan menangis, tapi aku menangis kenapa aku harus mengalami kelelahan fisik yang mempengaruhi kelelahan hati. Di tulisan sebelumnya aku sudah menulis tentang makna ikhlas agar lelah fisik tidak merembet menjadi lelah hati. Sayangnya, tidak melulu aku bisa seperti itu dan pada akhirnya hati pun ikut lelah dan aku menangisi hal itu.
Saat itu aku lelah dan dalam bayanganku aku ingin segera pulang untuk beristirahat. Aku ingin tidur dulu untuk membayar hutang tidur jaga malamku. Pun aku ingin mendinginkan hati dulu setelah dicerca tekanan ini itu. Bayanganku rumah adalah tempat yang indah. Tidur, dan sirna sudah lelah fisik dan hati itu. Nyatanya, tidak bisa demikian. Di rumah aku dituntut menjalankan peranku sebagai anggota rumah. Ada keluarga yang menunggu yang berharap aku melakukan ini itu. Lelah? Entahlah, semula aku paham bahwa semua orang punya kelelahannya masing-masing. Maka, tak peduli dengan lelahku, aku seharusnya tetap melakukan pekerjaanku itu. Dan itulah yang terjadi, lelah, marah, yang akhirnya berujung dengan air mata yang menetes. Bukan apa-apa. Itu hanyalah air mata penyelasan, kenapa pula aku harus melibatkan amarah ketika lelah. Dan semua tinggal sebuah penyesalan.
Beberapa teman yang tahu kondisiku saat itu berkomentar bahwa mereka pernah mengalami keadaan itu pula. Bayangan rumah yang tenang menjadi awut-awutan karena kita sendiri yang uring-uringan. Sebenarnya kami sudah tahu juga bahwa urusan kerja (koas) biarlah urusan di rumah sakit, dan urusan rumah tetap urusan rumah. Aku juga pernah menuliskan begitu sebelumnya tentang jangan bawa-bawa urusan pekerjaan dalam rumah tangga. Nyatanya kami belum cukup mahir untuk itu, dan kami masih terbawa emosi ketika terjadi intrik yang seharusnya bisa ditanggapi biasa-biasa saja dengan keluarga.
Kami menyesal. Sungguh kami sedih ketika harus marah saat lelah. Lagi-lagi setan yang menguasai, dan pada akhirnya setan akan tertawa sedangkan kami hanya menangis. Sudah terlanjur marah, sudah terlanjur lelah, sudah terlanjur ada noda dalam interaksi dengan orang lain.
Seorang teman akhirnya berpendapat, "Memang harus banyak-banyak istigfar. Usahakan dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, bibir tidak pernah berhenti untuk beristigfar. Mohon ampun atas semua kesalahan di rumah sakit. Mohon ampun untuk hati yang terlanjur panas. Mohon ampun agar sesampai di rumah semua telah sirna dan hati menjadi tenang."
Ya, barangkali memang begitu. Perjalanan pulang haruslah menjadi ajang introspeksi, bukan sekedar ajang pengharapan kenikmatan istirahat yang sudah di angan-angan. Pun diingat pula sepertinya bahwa manusia cuma bisa berharap yang belum tentu semua terlaksana. Aku boleh saja berharap segera merebahkan badan begitu sampai di rumah, nyatanya belum tentu keadaan di rumah akan benar-benar mendukung untuk melakukan demikian.
Maka istigfar saja. Ketika fisik mulai terasa lelah, mohon ampun saja sebelum hati terlanjur merasakan lelah pula. Lebih baik mohon ampun di awal daripada mohon ampun di akhir dengan air mata penyesalan. Semoga kita masih tetap ikhlas menjalani rutinitas hingga tak perlu merasa lelah. Semoga jikalau akhirnya lelah sudah mendera fisik tak sampai merembet hingga lelah hati. Semoga... Aamiin...
Tuesday, 26 August 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment