Beberapa teman yang sudah masuk stase koas mulai bercerita
satu demi satu. Ada yang bersyukur bisa merebahkan badan di tempat tidur. Ada
yang lega karena bisa mengistirahatkan kakinya. Ada pula yang tersenyum lebar
karena bisa kembali mengisi perutnya. Semua komentar mereka mengisyaratkan satu
hal, mereka lelah.
Ya, koas itu lelah. Begitu katanya. Tapi, pak dekan kembali
mengingatkan, “Yang namanya koas memang harus lelah. Berlelah-lelah dahulu,
bersenang-senang kemudian.”
Mungkin terkesan menyebalkan kata-kata itu, tapi anggapan
menyebalkan itu muncul karena kita hanya melihat satu sisi saja.
Lantas seorang dokter berkata, “Saya nggak habis pikir kalau koas zaman sekarang itu banyak mengeluh. Kalian masih bisa tidur waktu jaga malam, sekalipun hanya setengah jam. Kalian
ga perlu menangkap status pasien yang dibuang di depan muka kalian. Kalian
tidak perlu meringis kesakitan karena dilempar spidol di jidat kalian. Lalu,
kenapa kalian masih saja mengeluh?”
Kata-kata dokter itu menohok. Seorang teman saya juga pernah
berkata ketika saya sempat mengeluh di suatu keadaan. Dia menyindir, “Buat apa
kamu sholat setiap hari kalau masih saja mengeluh?”
Ya, benar. Sholat adalah bukti syukur. Seharusnya ketika
seseorang sudah sholat, dia sudah pintar untuk bersyukur. Tapi tetap saja leher
manusia itu terlalu kaku. Teman yang lain berkata, “Di atas langit memang masih
ada langit. Tapi jangan lupa kalau di bawah juga ada bumi.” Dia mengajak kami
untuk berpikir, bisa saja seseorang iri (dan jadi tidak bersyukur) karena
melihat orang lain terasa lebih enak. Sayangnya, dia lupa kalau di bawahnya ada
orang yang lebih tidak beruntung.
Ya, ada orang yang mungkin ingin jadi dokter tapi tidak
diterima di fakultas kedokteran. Ada orang yang bahkan untuk membayar biaya SPP
SD saja masih harus berjuang mati-matian. Itulah, karena leher manusia terlalu
kaku sehingga tak mau menatap ke bawah.
Merasa lelah tentu boleh saja. Wajar, bahkan rasa lelah itu
juga peringatan dari Allah agar kita tidak mendzalimi diri kita sendiri. Tapi,
kelelahan yang jadi keluhan itu yang menjadi masalah. Apapun yang terjadi,
minimalkan untuk mengajak lisan. Urusan perasaan (lelah, sedih, marah, ataua apapun
itu) adalah perkara hati. Tak perlu mengajak lidah yang sering justru
memperparah.
No comments:
Post a Comment