Follow Us @soratemplates

Monday, 15 April 2013

Harus Pintar


Kemarin, saya melakukan refleksi dengan teman-teman saya. Kami mengingat-ingat ilmu apa saja yang sudah kami dapatkan selama belajar di preklinik, saat hanya duduk manis di dalam ruang kelas menerima kucuran ilmu dari para dosen. Bisa dikatakan ilmu itu sering hanya numpang lewat. Lewat selama beberapa hari, mengendap sebentar, dikeluarkan saat ujian, lantas menghilang, tertumpuk dengan materi ilmu baru.

Rasanya menyedihkan. Ilmu dari semester satu mungkin tak sekuat ilmu ketika semester tujuh. Apakah ada yang salah?

Mekanisme lupa dan mengingat yang baru sebenarnya adalah mekanisme yang normal dan sangat wajar. Hanya saja, tidak semua orang menerima faktor lupa yang kita miliki. Misal, ada seorang pasien datang dan bertanya, “dok, penyakit ini maksudnya gimana ya?” lantas dokter tersebut hanya diam dan dalam hati berkata, “duh, saya lupa”.

Saat preklinik dulu orang-orang masih sering memaklumi, “Ya maklum lah, masih kuliah. Mungkin belum dapat materi itu”. Ketika koas, pemakluman itu sedikit berkurang, tetapi setidaknya kita masih bisa berlindung di bawah ketiak residen atau dokter dan berkata, “Nanti dikonsulkan dengan dokter saja”. Tapi, jika sudah menjadi dokter kelak, rasanya tak ada lagi tameng untuk kita. Mau tak mau kita harus menjawabnya. Bahkan bisa jadi kitalah yang dijadikan tameng selanjutnya dan harus melindungi orang lain di bawah ketiak kita.

Lalu bagaimana jika lupa? Padahal orang lain terus menuntut dan menuntut. Masyarakat menganggap bahwa dokter tahu segalanya. Ya, segalanya. Dan jika dokter tidak tahu, cap bodohlah yang melekat. Jika cap bodoh terlanjur melekat, pergilah pasien-pasien itu.

Seorang kakak tingkat pernah berkata, “Kuncinya adalah ulang-ulang, ulang-ulang, ulang-ulang.” Persis ketika seseorang akan menghafal Al-Qur’an. Proses menghafalnya mungkin mudah saja, tetapi proses membuat hafalan itu mengendap dan tak kan terlupalah tantangannya. Maka perlu muroja’ah.

Pak Dekan sendiri pernah berkata, “Jadilah orang yang paling pintar. Jika tidak pintar, jadilah orang yang paling rajin. Saya tidak pintar, maka saya harus rajin. Kalau teman saya membaca buku satu kali, saya harus membaca buku itu mungkin sampai sepuluh kali.” Hm…, barangkali memang harus begitu. Menyadari jika kemampuan sedikit di bawah, lantas memberikan usaha lebih agar bisa tetap berdiri sama tinggi.

Prinsipnya tetap sama. Ulang-ulang, ulang-ulang, ulang-ulang. Maka, tak ada kata berhenti untuk belajar. Tak ada alasan untuk tidak tahu. Tak ada toleransi untuk dokter bodoh. Karena di depan mata sana ada pasien yang menunggu, ada pasien yang bertanya dan benar-benar butuh jawaban darimu.

Bisa? Insya Allah bisa…



No comments:

Post a Comment