Kemarin, saya melakukan refleksi dengan teman-teman saya.
Kami mengingat-ingat ilmu apa saja yang sudah kami dapatkan selama belajar di
preklinik, saat hanya duduk manis di dalam ruang kelas menerima kucuran ilmu
dari para dosen. Bisa dikatakan ilmu itu sering hanya numpang lewat. Lewat
selama beberapa hari, mengendap sebentar, dikeluarkan saat ujian, lantas
menghilang, tertumpuk dengan materi ilmu baru.
Rasanya menyedihkan. Ilmu dari semester satu mungkin tak
sekuat ilmu ketika semester tujuh. Apakah ada yang salah?
Mekanisme lupa dan mengingat yang baru sebenarnya adalah
mekanisme yang normal dan sangat wajar. Hanya saja, tidak semua orang menerima
faktor lupa yang kita miliki. Misal, ada seorang pasien datang dan bertanya, “dok,
penyakit ini maksudnya gimana ya?” lantas dokter tersebut hanya diam dan dalam
hati berkata, “duh, saya lupa”.
Saat preklinik dulu orang-orang masih sering memaklumi, “Ya
maklum lah, masih kuliah. Mungkin belum dapat materi itu”. Ketika koas,
pemakluman itu sedikit berkurang, tetapi setidaknya kita masih bisa berlindung
di bawah ketiak residen atau dokter dan berkata, “Nanti dikonsulkan dengan
dokter saja”. Tapi, jika sudah menjadi dokter kelak, rasanya tak ada lagi
tameng untuk kita. Mau tak mau kita harus menjawabnya. Bahkan bisa jadi kitalah
yang dijadikan tameng selanjutnya dan harus melindungi orang lain di bawah
ketiak kita.
Lalu bagaimana jika lupa? Padahal orang lain terus menuntut
dan menuntut. Masyarakat menganggap bahwa dokter tahu segalanya. Ya, segalanya.
Dan jika dokter tidak tahu, cap bodohlah yang melekat. Jika cap bodoh terlanjur
melekat, pergilah pasien-pasien itu.
Seorang kakak tingkat pernah berkata, “Kuncinya adalah
ulang-ulang, ulang-ulang, ulang-ulang.” Persis ketika seseorang akan menghafal
Al-Qur’an. Proses menghafalnya mungkin mudah saja, tetapi proses membuat
hafalan itu mengendap dan tak kan terlupalah tantangannya. Maka perlu muroja’ah.
Pak Dekan sendiri pernah berkata, “Jadilah orang yang paling
pintar. Jika tidak pintar, jadilah orang yang paling rajin. Saya tidak pintar,
maka saya harus rajin. Kalau teman saya membaca buku satu kali, saya harus
membaca buku itu mungkin sampai sepuluh kali.” Hm…, barangkali memang harus
begitu. Menyadari jika kemampuan sedikit di bawah, lantas memberikan usaha
lebih agar bisa tetap berdiri sama tinggi.
Prinsipnya tetap sama. Ulang-ulang, ulang-ulang,
ulang-ulang. Maka, tak ada kata berhenti untuk belajar. Tak ada alasan untuk
tidak tahu. Tak ada toleransi untuk dokter bodoh. Karena di depan mata sana ada
pasien yang menunggu, ada pasien yang bertanya dan benar-benar butuh jawaban
darimu.
Bisa? Insya Allah bisa…
No comments:
Post a Comment