Satu hal yang sangat diwanti-wanti oleh bagian pendidikan
kepada kami para koas adalah jangan lupa cuci tangan. Tentu saja ini bukan
sekedar ucapan perhatian untuk cuci tangan sebelum makan atau sebelum beranjak
tidur, melainkan ini adalah anjuran sebagai standar higinitas.
Ada lima waktu standar cuci tangan, antara lain adalah
sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Prinsip cuci tangan ini adalah untuk
melindungi diri. Sebelum kontak dengan pasien artinya dokter melindungi pasien
dari kemungkinan kontak penyakit yang dibawa oleh dokter. Sebaliknya, cuci
tangan setelah kontak dengan pasien memberi harapan agar dokter melindungi
dirinya sendiri dari kemungkinan tertular penyakit dari pasien. Dari sudut
pandang dokter, prinsip cuci tangan ini memberi makna agar tindakan diawali dan
diakhiri dengan bersih, serta tidak memberi maupun mendapat kerugian.
Kalau dipikir-pikir, konsep bermula dan berakhir dengan
bersih itu memang seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Anggaplah
ini adalah sebuah arena kehidupan manusia. Seorang manusia terlahir dalam
keadaan bersih. Ketika meninggal pun ia dalam keadaan bersih. Dari segi fisik,
memang demikian adanya. Mayat dimandikan, dikafani, suci. Bersih layaknya bayi.
Namun tentunya yang diharapkan tidak sekedar bersih secara fisik. Alangkah
indahnya jika hati pun kembali bersih.
Sayangnya, manusia bukanlah makhluk maksum yang terbebas
dari kesalahan. Selalu ada khilaf dan dosa yang melekat di hati. Lalu, apakah
lantas didiamkan saja karena fitrohnya hati akan kembali terkotori? Tentu saja
tidak. Prinsipnya hampir sama dengan cuci tangan tadi.
Dokter yang cuci tangan pasti akan kontak dengan pasien
lagi, pasti ada kemungkinan terjadi transmisi penyakit lagi. Apakah dokter
lantas diam saja? Tidak. Lagi dan lagi, dokter akan kembali cuci tangan. Begitu
seterusnya.
Demikian pula dalam arena kehidupan. Sekalipun kita memang
tempatnya salah dan dosa, bukan tidak mungkin kita untuk selalu melakukan cuci
tangan dalam bentuk minta ampun kepada Yang Maha Kuasa. Layaknya tim rumah
sakit yang mewajibkan dokter untuk cuci tangan sebagai syarat higinitas,
demikian pula Allah SWT yang selalu meminta hamba-Nya untuk bertaubat dan mohon
ampun demi kesucian jiwanya.
Apakah lantas benar-benar suci? Wallaha’lam. Cuci tangan pun
belum tentu membunuh 100% kuman. Mungkin masih ada bakter-bakteri resisten yang
tak bisa hilang. Tapi, bukankah sudah cukup mengurangi? Demikian pula dengan hati.
Barangkali memang ada noda membandel yang masih membuat hati pekat, tapi dengan
istigfar bukankah lebih mengurangi?
Semua bertujuan untuk safety.
Jika cuci tangan adalah safety untuk
dokter sendiri, demikian juga istigfar bagi manusia sebagai safety untuk hidup kekal di akhirat
nanti. Astagfirullah…
No comments:
Post a Comment