Tadi siang saya berdiskusi dengan seorang teman setelah
menonton sebuah film. Pesan dari film itu mengatakan, “Jangan percaya kepada
siapapun karena dunia terlalu keras untuk bisa menaruh kepercayaan kepada
seseorang”. Sedikit banyak pesan ini juga berlaku di rumah sakit.
Kami diajarkan untuk tidak pernah percaya kepada siapapun,
bahkan pada senior sekalipun. Dalam arti begini. Ketika kami diberi informasi
suatu keadaan dari seorang pasien, kami tidak boleh langsung menerimanya. Kami
harus mengecaknya sendiri, memastikan bahwa keadaan itu memang benar-benar
terjadi.
Barangkali konsep ini seharusnya berlaku dalam semua hal.
Contohnya ketika menerima ilmu atau informasi dalam hal apapun. Misal kita
mendapat mendapat ilmu dari seorang ustadz, kita boleh-boleh saja untuk tidak
percaya. Bukan berarti tidak percaya dalam arti mengingkari ilmunya, melainkan
tidak percaya dengan dasar agar terus belajar lagi dan menemukan kebenaran yang
sejati. Bukankah jika teralu percaya justru ibarat kerbau yang dicocok
hidungnya? Miriplah kiranya seperti taklid buta. Padahal jelas-jelas taklid
buta itu tidak diperkenankan.
Namun tidak semua hal memang bisa disetting dengan dalih
tidak percaya. Dalam hal iman kita tetap harus percaya. Buktinya bisa secara
kauniyah dan juga qauliyah. Demikian juga dalam pemeriksaan pasien. Ada
batas-batas tertentu yang kita harus mengimaninya. Pun dalam teori-teori ilmu
dunia lainnya. Mungkin kita tak bisa memahami bagaimana Edison menemukan
teorinya, bagaimana Einsten menemukan rumus-rumusnya. Karena kita tidak tahu
atau belum tahu, dalam kadar tertentu mau tak mau kita ‘terpaksa’ untuk
menerima mentah-mentah teori itu.
Asas ketidakpercayaan bersahabat erat dengan prinsip kepo.
Bukan bermaksud skeptis, hanya saja manusia memang harus terus belajar.
Bukankah kepuasan dari mencari tahu jauh lebih menarik daripada sekedar menjadi
teko yang hanya menampung ilmu?
No comments:
Post a Comment