“Pilihlah intonasi terbaikmu, lalu pertahankan itu”
Pesan di atas saya dapatkan ketika menjalani pradik koas
tiga minggu yang lalu. Apakah kita akan menyanyi? Tidak. Kita hanya diminta
memilih nada dasar, intonasi, tempo, dan lain-lain sebagai modal seorang
pemberi layanan jasa.
Sebagai makhluk sosial, tentu kita pernah menggunakan tenaga
pemberi layanan jasa. Dari pemberi layanan jasa tersebut ada beberapa jasa yang
memiliki ciri khas intonasi suara. Sebut saya pegawai bank atau operator
telekomunikasi. Setiap kita menemui mereka, pasti intonasi suaranya sama. Tak
peduli yang ditemui adalah orang muda, orang tua, atau anak-anak, mereka
dipaksa ‘ramah’ dan menuruti pakem intonasi yang telah mereka pilih.
Demikian pula yang dipesankan kepada kami. Sebagai seorang
dokter yang juga pemberi layanan jasa, kami juga diminta untuk mempunya standar
intonasi suara. Tak peduli nanti yang dihadapi siapa dan dalam keadaan apa,
intonasi suara keramahan itulah yang kita gunakan. Mungkin perkara ini terkesan
remeh dan tidak penting, tapi hanya lewat suara yang ramah saja kadangkala bisa
membuat pasien menjadi lebih nyaman.
Disadari atau tidak, manusia cenderung memiliki intonasi
suaranya masing-masing. Ada yang suka berbicara dengan nada tinggi layaknya
orang marah-marah. Padahal itu memang sudah kebiasaan. Ada pula yang suka
berbicara pelan dan perlahan-lahan layaknya orang minder dan ketakutan. Padahal
dia tidak merasa takut sama sekali. Begitu seterusnya.
Intonasi suara memang sering dikaitkan dengan emosi
seseorang. Ketika orang itu senang, nada bicaranya pun cenderung lebih riang.
Ketika orang marah, intonasinya menjadi lebih kasar. Ketika sedih, rasa duka
itu juga seakan terpancar dari suaranya. Namun sebagai pelayan jasa, tetap saja
yang diharapkan adalah intonasi stabil yang tidak membeda-bedakan dan tak
terpengaruh mood sendiri.
Lalu bagaimana agar intonasi suara kita tidak berubah-ubah?
Barangkali kita bisa belajar dari penyiar radio. Seorang penyiar radio yang
mengandalkan audio tanpa visual jelas hanya menjual suaranya. Ketika dia larut
terbawa emosi dan suaranya tak stabil, artinya tak laku juga barang
dagangannya. Maka, apapun kondisi jiwa itu tetap harus disembunyikan. Salah
satu cara menyembunyikan perasaan adalah dengan tersenyum.
Mungkin memang ada istilah senyum palsu. Namun bukan perkara
murni atau tidaknya senyum itu yang kita bicarakan. Kita sedang mencoba
mempertahankan intonasi suara dari senyum yang disunggingkan. Coba saja. Kata
seorang teman penyiar, ketika kita berbicara sambil tersenyum maka nada suara
kita akan menjadi lebih enak.
Barangkali memang harus demikian. Apakah kita pernah melihat
teller bank yang melayani sambil menangis? Tentu tidak. Mereka selalu
tersenyum, dan nada bicara mereka pun selalu stabil.
Maka, tersenyumlah dan milikilah intonasi suara terindah.
No comments:
Post a Comment