Follow Us @soratemplates

Monday, 22 April 2013

Ambil Suara


“Pilihlah intonasi terbaikmu, lalu pertahankan itu”

Pesan di atas saya dapatkan ketika menjalani pradik koas tiga minggu yang lalu. Apakah kita akan menyanyi? Tidak. Kita hanya diminta memilih nada dasar, intonasi, tempo, dan lain-lain sebagai modal seorang pemberi layanan jasa.

Sebagai makhluk sosial, tentu kita pernah menggunakan tenaga pemberi layanan jasa. Dari pemberi layanan jasa tersebut ada beberapa jasa yang memiliki ciri khas intonasi suara. Sebut saya pegawai bank atau operator telekomunikasi. Setiap kita menemui mereka, pasti intonasi suaranya sama. Tak peduli yang ditemui adalah orang muda, orang tua, atau anak-anak, mereka dipaksa ‘ramah’ dan menuruti pakem intonasi yang telah mereka pilih.

Demikian pula yang dipesankan kepada kami. Sebagai seorang dokter yang juga pemberi layanan jasa, kami juga diminta untuk mempunya standar intonasi suara. Tak peduli nanti yang dihadapi siapa dan dalam keadaan apa, intonasi suara keramahan itulah yang kita gunakan. Mungkin perkara ini terkesan remeh dan tidak penting, tapi hanya lewat suara yang ramah saja kadangkala bisa membuat pasien menjadi lebih nyaman.

Disadari atau tidak, manusia cenderung memiliki intonasi suaranya masing-masing. Ada yang suka berbicara dengan nada tinggi layaknya orang marah-marah. Padahal itu memang sudah kebiasaan. Ada pula yang suka berbicara pelan dan perlahan-lahan layaknya orang minder dan ketakutan. Padahal dia tidak merasa takut sama sekali. Begitu seterusnya.

Intonasi suara memang sering dikaitkan dengan emosi seseorang. Ketika orang itu senang, nada bicaranya pun cenderung lebih riang. Ketika orang marah, intonasinya menjadi lebih kasar. Ketika sedih, rasa duka itu juga seakan terpancar dari suaranya. Namun sebagai pelayan jasa, tetap saja yang diharapkan adalah intonasi stabil yang tidak membeda-bedakan dan tak terpengaruh mood sendiri.

Lalu bagaimana agar intonasi suara kita tidak berubah-ubah? Barangkali kita bisa belajar dari penyiar radio. Seorang penyiar radio yang mengandalkan audio tanpa visual jelas hanya menjual suaranya. Ketika dia larut terbawa emosi dan suaranya tak stabil, artinya tak laku juga barang dagangannya. Maka, apapun kondisi jiwa itu tetap harus disembunyikan. Salah satu cara menyembunyikan perasaan adalah dengan tersenyum.

Mungkin memang ada istilah senyum palsu. Namun bukan perkara murni atau tidaknya senyum itu yang kita bicarakan. Kita sedang mencoba mempertahankan intonasi suara dari senyum yang disunggingkan. Coba saja. Kata seorang teman penyiar, ketika kita berbicara sambil tersenyum maka nada suara kita akan menjadi lebih enak.

Barangkali memang harus demikian. Apakah kita pernah melihat teller bank yang melayani sambil menangis? Tentu tidak. Mereka selalu tersenyum, dan nada bicara mereka pun selalu stabil.

Maka, tersenyumlah dan milikilah intonasi suara terindah.



No comments:

Post a Comment