Follow Us @soratemplates

Monday 28 March 2011

Diam Bukan Jawaban


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Saat masih duduk di bangku sekolah dulu, saya mendapatkan suatu paham yang menarik. Apabila seorang wanita diajak menikah oleh seorang pria, akan ada dua reaksi sebagai jawaban. Jika wanita tersebut spontan mengatakan tidak, berarti dia memang tidak ingin menikah dengan pria tersebut. Tapi jika wanita itu diam, berarti sejatinya dia menerima tawaran tersebut. Katanya, barangkali karena hati sang wanita terlalu berbunga-bunga hingga tak bisa mengucapkan sepatah kata, atau bisa jadi karena dia jaim tak ingin menunjukkan kalau sebetulnya dia memang benar-benar ingin menikah dengan pria tersebut. Hm…, entahlah. Yang pasti dalam kasus ini, diam dianggap sebagai sebuah jawaban ‘ya’. Tapi benarkah diam merupakan suatu jawaban?

Saya cenderung tidak sependapat. Bagaimana kalau ternyata dia diam karena bingung menyampaikan penolakan? Atau bisa jadi dia diam karena merasa bimbang. Hayo…, bukankah alasan itu masuk akal?

Oke, lupakan masalah lamar-melamar itu. Saya mengalami kasus lain yang meruntuhkan postulat diam sebagai jawaban. Kasus yang terjadi di ruang kuliah. Seorang dosen sedang mengajar di depan kami semua. Lantas beliau melontarkan sebuah pertanyaan untuk menciptakan komunikasi dua arah. Tapi kelas hening. Kami semua diam dan tak ada seorang pun yang menjawab. Lantas dosen itu menunjuk beberapa orang yang duduk di depan. Lagi-lagi hanya diam dan sesekali disertai senyuman. Dosen itu pun berkata, “Diam bukan jawaban. Senyum juga bukan jawaban. Ga mungkin kan kalau kalian ujian nanti trus soalnya hanya disenyumin aja.” Hm…, masuk akal.

Bagi saya, diam bukanlah jawaban karena diam memiliki terlalu banyak arti. Diam memang bisa berarti persetujuan yang identik dengan jawaban ‘ya’. Tapi di lain sisi, diam juga bisa berarti penolakan ketika sang penjawab sudah terlalu muak untuk menjawab sehingga memilih untuk diam saja sebagai bentuk penghindaran. Diam juga bisa menandakan kebimbangan sehingga takut untuk memilih di antara dua pilihan jawaban yang ditawarkan. Diam juga terlalu banyak membawa suasan hati. Entah itu marah, sedih, sepi, miris, dan sejuta perasaan lainnya.

Betapa terlalu simpelnya jika diam lantas diartikan sebagai ya. Bagaimana kalau ternyata hatinya mengatakan tidak, namun karena dia diam saja lantas dianggap ya. Hm…, terlalu banyak salah tafsir jadinya. Jadi, tunggulah jawaban yang sesungguhnya. Sebuah kata atau sekedar anggukan atau gelengan kepala karena diam terlalu berbahaya jika diartikan sebagai ‘ya’.



PS:

Terinspirasi oleh proses ijab qabul mbak Yatmi kemarin. Saat mbak Yatmi ditanya “apakah pernikahan ini pilihan sendiri atau karena paksaan” dan mbak Yatmi hanya diam saja.

Nah lo, jika diartikan karena paksaan gimana coba. Hm…



No comments:

Post a Comment