Follow Us @soratemplates

Wednesday, 25 January 2012

Berani Menulis Artikel #3: Kritis Membingkai Pembaca

09:51 0 Comments


Sebuah tulisan tak akan ada artinya jika tak ada yang membaca. Maka, di bab ketiga dari buku Berani Menulis Artikel (BMA) karya Wahyu Wibowo ini mulai sedikit disinggung mengenai bagaimana merebut hati para pembaca. Sebuah kalimat kunci yang saya temukan di bab ini adalah “Kita akan mampu melebur ke komunitas apa pun yang hendak kita jamah melalui tulisan , karena kita telah memiliki kesadaran kritis berbahasa dan telah memahami struktur dasar organisasi tulis-menulis”. Dari sini ada dua poin yang digarisbawahi yaitu kritis berbahasa dan struktur dasar tulis-menulis.

Pertanyaan menyindir dilontarkan oleh Wahyu Wibowo, “Selama ini mereka menulis dalam bahasa Indonesia, akan tetapi boleh dipertanyakan, pahamkah mereka terhadap eksistensi bahasa Indonesia?” Bahasa bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Bahkan Aldous Huxley berani berkata bahwa manusia tanpa (memahami) bahasa tak ubahnya monyet.

Bahasa Indonesia yang susah payah diperjuangkan dalam Sumpah Pemuda seharusnya tetap dijunjung tinggi. Caranya? Tentunya dengan menggunakan bahasa dengan baik dan benar. Benar dalam arti tunduk dengan kaidah gramatika, kaidah ejaan, dan kaidah istilah, serta baik dalam arti memperhatikan situasi, konteks, dan segmen pendengar.

Di bab ini pula, Wahyu Wibowo mulai menunjukkan sepak terjangnya dengan memberikan kiat praktis secara teknis dalam menulis artikel. Teknis tersebut terangkum dalam poin kedua yaitu mengenai struktur dasar organisasi tulis-menulis. Tiga hal penting dari struktur dasar tulis-menulis yang harus dikuasai sehingga bisa memikat pembaca yaitu menentukan topik, tema, dan judul tulisan.

Topik berbeda dengan tema. Topik adalah pokok masalah atau pokok pembicaraan, sedangkan tema adalah dasar cerita, amanat utama yang ingin disampaikan, atau garis besar dari sebuah karangan.

Sebagai penulis, kita harus memilih topik dengan tepat. Topik tersebut harus bermanfaat dan layak dibahas dan bukan perkara remeh yang sebenarnya tak perlu untuk ditulis. Topik juga harus topic yang menarik minat kita sehingga kita memiliki passion untuk menuliskannya. Topik yang kita tulis hendaknya topik yang kita kenal sehingga kita menguasai tulisan kita dan dapat mempertanggungjawabkannya. Dan yang terakhir topik jangan terlalu baru. Kita memang dituntut up to date, tetapi kalau terlalu up to date kita justru tak memiliki data yang relevan untuk sumber tulisan kita. Karena bagaimanapun sebuah artikel jurnalistik membutuhkan keseriusan yang dibuktikan dengan kelengkapan data.

Demikian pula dalam memilih judul. Seorag penulis dikatakan piawai apabila dia memperhatikan judul tulisannya. Judul yang kita pilih hendaknya singkat-padat, kreatif, dan berkonotasi positif sehingga pembaca akan tertarik untuk membaca tulisan kita karena judul kita yang unik tersebut. Judul seharusnya mencerminkan isi tulisan sehingga pembaca dapat mengetahui apa yang kira-kira akan kita paparkan hanya dengan membaca judul kita. Judul hendaknya mudah dibaca dan diucapkan sehingga pembaca tak ilfil dan mendadak malas membaca tulisan kita karna judul yang terkesan aneh-aneh. Dalam menulis judul, sebaiknya dibuat dalam bentuk frase dan dapat diterima secara umum. Sah-sah saja menggunakan bahasa asing sebagai judul, namun jika itu terkesan lebay bisa jadi pembaca pun menjadi mual untuk sekadar membaca tulisan kita.

Intinya, penguasaan bahasa dan struktur tulis-menulis adalah sebuah bingkai untuk modal utama menguasai pembaca. Namun terlepas hal teknis dan teoritis di atas, yang tak kalah penting adalah menjaga keselarasan antara hati dan pikiran. Kita tak mungkin bisa memikat pembaca jika ternyata apa yang kita tulis hanyalah bualan semata, seakan kita hanya bisa menulis tanpa mau menerapkan sendiri apa yang kita sampaikan dalam tulisan. Maka, kuasai dulu hati dan pikiran kita sebelum kita menguasa hati dan pikiran pembaca. 


Monday, 23 January 2012

3B Kuadrat (Bibit, Bobot, Bebet & Brain, Beauty, Behavior)

20:09 4 Comments
Dalam satu bulan terakhir ini, empat orang teman saya telah melepas masa lajangnya. Beberapa teman  yang masih menjomblo dibuat gelisah karenanya. Beberapa karena tak tahan ingin menyusul, beberapa lagi gelisah karena tak kunjung jua mendapat sosok yang pantas menjadi tambatan hati. Untuk kasus yang terakhir ini seringkali menjadi sebuah masalah tersendiri.

Para orang tua sering berkata, mencari jodoh itu harus memperhatikan bibit, bobot, dan bebet. Harus melihat bibitnya dulu, apakah calon itu berasal dari keluarga baik-baik? Lihat pula bobotnya, apakah pribadi calon itu berkualitas, entah berbobot dari segi pendidikan atau kepribadian. Tak lupa diperhatikan pula bebetnya, apakah secara finansial mampu bertanggung jawab pada keluarga?

Bagi orang Jawa, kriteria 3B tersebut mungkin masih menjadi dasar mutlak untuk memilih pasangan hidup. Meski tanpa diakui secara lisan, kecenderungan untuk memenuhi kriteria tersebut dalam hati para orang tua masih cukup dilestarikan. Cinta antaranak boleh saja tumbuh, tapi kalau orang tua masih saklek dengan aturan tersebut, merelakan cinta kandas pun harus dijalani.

Asas kepatutan bibit, mungkin masih menjadi pertimbangan. Sejak awal anak seakan dikenalkan dengan lingkungan yang sederajat. Hingga ujung-ujungnya akan mendapat pasangan hidup dengan bibit yang serasa sudah tepat. Seperti pepatah Jawa, witing tresna jalaran saka kulina yang mungkin diplesetkan menjadi witing tresna jalaran ora ana sing liya. Mungkin kalangan menengah ke bawah bergaulnya dengan orang menengah ke bawah. Orang desa yang tak kemana-mana, bisa jadi dapatnya jodoh tetangga desanya saja. Bagi mereka, bibit sesama desa pun sudah menjadi bibit yang tepat.

Dari segi bobot dan bebet pun demikian. Seseorang serasa tak ‘menjual’ jika tidak berbobot dan berbebet. Seandainya bobotnya kurang, barangkali muncul perasaan sepatutnya mencari calon yang bobotnya sepadan juga. Jika bebetnya masih tak cukup, mungkin mereka ragu jika mencari pasangan yang bebetnya selangit. Perasaan pekewuh agaknya menjadi alasan terbesar dalam hal ini.

Kalau dipikir-pikir, ujung-ujungnya pernikahan terjadi antarkasta yang sama. Anak seorang pejabat menikah dengan anak pejabat pula. Seorang dokter dapat pasangan hidup dokter pula. Seorang aktivis organisasi dapat ativis pula. Orang rumahan di desa dapat orang desa pula. Apakah memang begini tujuannya?

Ada lagi kriteria yang terkesan lebih modern. Mengadopsi dari ajang pemilihan ratu kecantikan, kriteria 3B yaitu brain, beauty, behavior pun menjadi alternatif yang dipilih beberapa kalangan muda. Tak jarang teman-teman saya sering berceloteh, “Dia itu udah cantik, pinter, baik, kurang apa lagi coba?” Atau seorang teman yang berkata, “Pokoknya harus punya brain, beauty, behavior. Brain biar nyambung kalau ngobrol, beauty biar enak dilihat, dan behavior biar tidak malu-maluin.” Hm, kalau begini, rasanya sosok yang diharapkan itu sudah terlihat begitu sempurna.

Coba tanya ke semua orang, siapa yang tidak ingin memiliki pasangan dengan kriteria sangat sempurna seperti itu? Jawabnya pasti tidak ada. Siapapun pasti ingin mendapatkan yang terbaik.

Tetapi nyatanya, menemukan orang dengan memenuhi kriteria bibit, bobot, bebet atau brain, beauty, behavior tidak semudah yang dikira. Ada seorang gadis cantik dan pintar, namun sayangnya kelakuannya tak baik. Ada seorang pria yang bibit dan bobotnya baik, namun sayangnya bebet belum terpenuhi.

Lalu, apakah harus menunggu sampai ada seseorang yang memenuhi semua kriteria itu? Jangan-jangan karena asyik menunggu sosok luar biasa itu justru membuat hati tak kunjung berpaut jua.

Bagaimanapun kita harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Pernah di suatu kajian, seorang ustadzah berkata, “Di awal menikah jangan hanya melihat kesempurnaanya, tapi lihat juga keburukannya. Ketika sudah bisa menerima keburukannya, artinya sudah siap untuk menjalani hidup bersama.”

Barangkali memang begitu adanya. Bisakah kita menerima sosok yang cantik dan pintar itu dengan sedikit cacat dalam bersikap. Hingga nantinya berusaha bersama untuk saling memperbaiki diri. Bisakah kita mengakui pria dengan bibit dan bobot yang baik itu meski bebet belum mencukupi. Hingga nantinya bertekad untuk berjuang mencukupi bebet bersama. Andai kita bisa menerima, tentu perkara menautkan hati pun menjadi mudah kiranya.

Saya jadi teringat sebuah hikmah dari buku yang dulu pernah saya baca. Kurang lebih pesannya begini, “Jika nanti ada seorang pria dengan keimanan pada Allah SWT menemuimu, maka tak ada alasan untuk mengatakan tidak.” Wow, sesimpel itukah?

Mungkin yang harus disadari adalah, asal iman masih di hati maka semua masalah menjadi tak berarti. Ketika iman di hati, maka kita akan percaya bahwa itulah jodoh terbaik yang Allah hadiahkan untuk kita. Bibit, bobot, bebet atau brain, beauty, behavior? Itu sih bisa diperbaiki.


Wednesday, 18 January 2012

Ekspresikan Aksimu !

07:25 0 Comments


Beberapa waktu lalu, saya terlibat diskusi dengan ibu saya. Pada mulanya, saya tak sengaja menemukan hasil psikotes ketika sedang ‘iseng’ merapikan bahan kuliah semester lalu. Di kertas itu tertuliskan beberapa sifat saya berdasarkan tes tersebut. Dan karena iseng pula, saya menunjukkan kertas itu pada ibu. Awalnya hanya minta pendapat, nyatanya ada banyak yang bisa direnungkan dari obrolan ringan kala itu.

Ada beberapa saran yang dilontarkan ibu. Salah satunya, kata beliau saya harus lebih ekspresif. Ibu bilang, “Makanya, ayo nonton film. Kalau diajak ke bioskop sama ibu ya mbok mau. Biar lebih ekspresif dan belajar banyak hal.”

Saya hanya mengulum senyum.

Kenapa ibu sampai bilang begitu? Diakui atau tidak, kata ibu, saya terlalu asyik dengan dunia saya sendiri. Dunia baca tulis adalah dunia yang egois. Dunia yang asing dan senyap. Hanya asyik sendiri untuk membaca atau menulis. Dan kata ibu, itu kurang ekspresif. Yah, memang ekspresi kita tertuang dalam tulisan, tapi lagi-lagi itu adalah keegoisan.

Mungkin dulu saya tak pernah menonton film. Daftar referensi perfilman saya pun semua terjadi karena orang-orang di sekitar saya. Saat SMA, seorang sahabat merekomendasikan film untuk saya tonton dan kami mendiskusikannya. Lalu ketika di UI dulu, beberapa teman yang maniak film sesekali mengajak saya nonton atau memberikan softfile film pada saya. Seorang sahabat berkata, “Ah, ngomongnya ga pernah nonton film, nyatanya penikmat film juga.” Tanggapan saya? Hanya tersenyum malu karena tak menyangka saya akan begitu ekspresif menikmatinya.

Ketika di UNS seorang teman mengiming-imingi saya film tentang kedokteran. Dan tak disangka, saya sedikit ketagihan. Secara beruntun teman-teman pun mulai memberi saya softfile film. Yah, saya sangat bergantung pada teman saya untuk rekomendasi film apa yang sebaiknya saya tonton. Syaratnya cuma satu, harus ada pelajarannya, harus ada filosofinya.

Hingga beberapa waktu saya melupakan beberapa softfile film yang masih memenuhi harddisk laptop saya. Saya makin asyik dengan dunia egois saya. Hingga suatu ketika dunia film kembali mengusik.

Seorang teman meminta sebuah cerpen saya untuk dijadikan film. Sudah lama saya tak menggoreskan pena atau menekan keyboard untuk sebuah cerpen. Maka ekspresi saya pun biasa-biasa saja. Tapi begitu film itu jadi dan saya menyaksikannya (terlebih ketika film itu menerima penghargaan), lagi-lagi ada sebuah rasa membuncah. Teman saya berkata, “Hm, sepertinya harus banyak-banyak dicekoki film nih.” Saya pun hanya tertawa mendengar saran konyolnya.

Dan tadi malam saya tak bisa tidur. Karena kemarin seorang teman main ke rumah dan lagi-lagi memberi saya softfile film, maka saya memutuskan untuk menonton film itu.

Apa perasaan saya setelah menonton film itu? Ekspresif. Ya, saya merasa diri saya lebih ekspresif. Ada sebuah semangat meletup-letup dari film itu. Ada beberap quote yang saya suka di film itu. Dan saya mengenang beberapa film yang pernah saya tonton. Ada banyak pelajaran yang bisa saya petik dari kisah haru ataupun cerita mendebarkan di setiap film yang saya saksikan.

Kiranya benar apa kata ibu, “Lihat film, biar lebih ekspresif dan banyak belajar.” Sepertinya benar kata sahabat saya, “Sebenarnya kamu itu penikmat film juga,” Dan agaknya saya sepakat dengan teman saya, “Harus dicekoki banyak film nih.”

Yah, mungkin tujuan saya menulis ini tidak semata-mata mengajak untuk menonton film, tapi lebih untuk mengajak bagaimana bisa berekspresi. Tak masalah seperti apa ekspresinya. Contohnya teman saya yang waktu main ke rumah kemarin menyanyikan lagu ciptaannya. Itu bentuk ekspresinya. Atau sejatinya menulis pun menjadi wujud ekspresi perasaan dari jiwa.

Apapun itu, mari kita buat hidup kita lebih ekspresif. Karena ekspresif itu menyenangkan, membuat hati lebih ringan dan menjalani kehidupan dengan nyaman. Dan mari kita banyak belajar dari kehidupan melalui ekspresi yang begitu banyak mengandung pelajaran. Agar kita lebih bijak menjalani hidup ini lewat pelajaran yang dipetik dengan penuh ekspresif. Yup, ekspresikan aksimu!


PS: Terima kasih untuk semuanya, yang telah memberikan wahana bagi saya untuk belajar mengekspresikan diri.
Btw, film apa ya yang harus saya tonton liburan ini? Hm… :)


Sunday, 15 January 2012

Beda Itu Indah, Beda Itu Masalah

19:09 0 Comments



Buku yang kali ini saya baca mengungkap tentang sebuah perbedaan. Biasanya, sebuah perbedaan berusaha untuk ditutupi dan diminimalisasi. Tapi dalam buku ini, perbedaan justru ditajamkan dan dibangun sebuah jurang yang amat dalam. Perbedaan apakah gerangan? Yup, perbedaan antara pria dan wanita.

Semua perbedaan itu terangkum manis dalam buku Truly Mars & Venus karya John Gray, Ph.D. Sejak awal, John Gray sudah menciptakan bibit-bibit perbedaan itu. Halaman pertama saja bertuliskan “Bila pria dan wanita menghormati perbedaan-perbedaan mereka, cinta memiliki kesempatan untuk bertumbuh.”

Saya pribadi sepakat dengan kalimat itu. Coba lihat, bagi pasangan yang sedang kasmaran, mereka bisa saja berkata, “Perbedaan itu indah”. Tapi coba saja kalau pasangan tersebut akan bercerai pasti bilang, “Kami sudah tidak cocok lagi, terlalu banyak perbedaan di antara kami”. Nah lo, bukankah dari awal mereka juga menyadari ada perbedaan itu tapi menganggapnya sesuatu yang indah?

Maka di sinilah tujuan hadirnya buku ini. John Gray memang sengaja membuat jelas bahwa perbedaan itu memang ada dan mengajak setiap pasangan untuk menyadari hal tersebut sehingga berusaha untuk mengantisipasinya. Dalam buku ini John Gray dengan sengaja memaparkan perbedaan antara pria dan wanita dalam menghadapi situasi. Ujung-ujungnya yang terjadi adalah banyaknya kesalahpahaman yang muncul hanya karena tak bisa menyikapi perbedaan tersebut.

Buku ini tak sekedar bisa memaparkan masalah tanpa membawa solusi. John Gray berusaha membuat solusi yang sangat aplikatif untuk bisa diterapkan. Terlebih solusi tersebut dikemas dalam bahasa ringan dan ilustrasi menarik. Meski buku ini sarat dengan teori, pembaca tak akan merasa seperti sedang dijejali doktrin-doktrin karena semuanya dikemas dengan sangat ringan.

Yang paling saya sukai adalah bagian akhir dari buku ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa meski sudah diberi contoh yang jelas dan ringan tetap saja semua teori ini bisa terbang dalam sekejap bak masuk dari telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kiri. Maka di halaman belakang dari buku ini John Gray menulisakan “Kalaupun Anda tidak ingat apa-apa dari buku ini, mengingat bahwa kita memang semestinya berbeda akan membantu Anda untuk lebih mencintai”.  Intinya John Gray hanya ingin berkata, “Jika Anda merasa frustasi dengan lawan jenis, ingat saja bahwa Pria berasal dari Mars dan Wanita berasal dari Venus.”

Satu yang sedikit mengganjal. Barangkali kita tak setuju dengan inti yang ingin John Gray sampaikan. Tentu kita akan gigih berkata bahwa pria dan wanita sama-sama anak cucu Adam dan Hawa yang diturunkan dari surga oleh Allah SWT ke muka bumi, bukan diturunkan ke Mars atau ke Venus. Yah, itu adalah keyakinan kita. Dan John Gray dengan rendah hati berkata, “Terima kasih karena Anda mengizinkan saya membuat perbedaan di dalam hidup Anda.”

Saya rasa memang begitulah kiranya. Kita boleh saja menyampaikan opini, tetapi harus menyadari bahwa itu hanya opini. Maka berterimakasihlah karena diberikan kesempatan beropini di kehidupan orang lain. Demikian juga, kita boleh saja berteori, tetapi harus menyadari pula bahwa itu hanya teori. Maka berbesarhatilah jika orang lain tak paham dengan teori yang kita sampaikan.

Karena diri kita (sebagai penulis) berbeda dengan orang lain (sebagai pembaca). Bersikap ‘legawa’ akan menjadikan perbedaan itu menjadi indah dan insya Allah tak ada masalah.

Wednesday, 11 January 2012

Parade Paradoks

16:43 0 Comments



Membaca buku Hidup Itu Indah karangan Aji Prasetyo layaknya membaca sebuah parade yang sarat dengan paradoks. Buku dengan cover berwarna putih dan gambar kartun itu cukup menggelitik hati saya. Halaman covernya saja sudah menampilkan paradoks. Di cover tergambar tiga orang dengan atribut Islam yang kental ditilang polisi karena mengendari motor bertiga. Celoteh pengendara motor tersebut begini, “Melanggar? Ayat yang mana, hadits yang mana!?”

Seperti dalam cover tersebut, sindiran atau sentilan kritis dan menggelitik terus ditampilkan oleh Aji Prasetyo dalam buku komik opininya ini. Buku ini terbagi dalam 5 bab dengan bahasan yang berbeda yaitu hidup itu indah, komoditi itu bernama agama, sekolah itu bernama media, berpolitik tanpa melukai akal sehat, dan sejumput wacana dalam selembar.

Di bab hidup itu indah, Aji menampilkan rumitnya birokrasi di Indonesia. Gambar yang lucu ditampilkan ketika petugas kelurahan hendak menyetempel, sudah tinggal menempelkan stempel saja, ibu petugas justru asyik ngobrol. Suasana kantor pun digambarkan dengan beberapa petugas yang asyik ngrumpi, bermain catur, makan, atau memamerkan barang belian. Demikian juga cerita mengenai rumitnya peraturan birokrasi yang petugas birokrasinya sendiri tidak tahu apa makna peraturan tersebut. Atau tentang prosedur yang begitu didewa-dewakan hingga seseorang terlihat begitu membosankan dan tidak punya daya improvisasi. Di bagian akhir bab digambarkan seorang suami istri yang baru saja menikah. Sang istri merasa bahagia dan berjanji akan merwat rumah dengan sebaik-baiknya. Dia berkata, “Masalahnya tinggal satu, mas. Aku masih takut ketinggian.” Tenyata rumah mereka hanyalah rumah kotak di tepi tebing di bawah kolong jembatan. Sungguh paradoks dengan kebahagiaan kedua pasangan tersebut.

Di bab komoditi itu bernama agama, Aji lebih banyak mengkritisi mengenai kehidupan beragama di Indonesia. Seperti dalam kisah setan menggugat, ketika setan frustasi karena manusia lebih berjiwa setan daripada dirinya sendiri. Atau mengkritisi tindakan perusakan tempat makan yang buka siang hari di bulan Ramadhan tapi tidak ada perusakan untuk McD atau KFC. Atau tentang komentar setan yang justru lebih bangga karena tindakan tersebut justru menunjukkan manusia lebih anarki di bulan Ramadhan. Demikian juga tentang bangganya seseorang yang berkali-kali umrah atau naik haji, padahal di sekitarnya masih banyak tetangga yang hidup susah. Lagi-lagi sebuah paradoks.

Di bab sekolah bangsa itu bernama media, Aji menyentil fenomena yang muncul dari sebuah media. Mulai dari reality show yang terlihat begitu pas angle pengambilan gambarnya, atau reality show minta tolong yang ujung-ujungnya tetap mencari orang dengan wajah dan ekspresi menjual. Demikian juga ajang pencarian bakat di mana seorang mama mengaku syari justru mempromosikan putrinya dengan kemasan lebih banyak yang terbuka daripada yang tertutup.  Hm, paradoks yang sempurna.

Selanjutnya di bab berpolitik tanpa melukai akal sehat, Aji dapat mengkritisi fenomena politik yang berbeda. Lagi-lagi tentang politik suap dan ‘sendiko dhawuh’ agar proyek lancar, atau anggota dewan yang ngantukan dan hanya setuju-setuju saja dengan segala kebijakan. Yang cukup menggelitik yaitu kehebohan selama kampanye. Mulai dari baliho-baliho dengan atribut beraneka rupa atau iklan-iklan TV yang menampilkan pemberian bantuan seakan ingin membentuk image diri yang berbeda. Hm, sebuah paradoks.

Dan bab terakhir  adalah sejumput wacana dalam selembar. Di sini Aji memberikan sebuah sentilan dalam sebuah gambar untuk satu halaman. Meski hanya satu lembar, gambar-gambar itu tetap dapat menampilkan sebuah paradoks.

Meski buku ini sarat dengan kritikan, saya dapat menikmatinya dengan senyum simpul yang tak kunjung lepas. Keadaan-keadaan yang digambarkan Aji dalam komiknya memang benar-benar ada. Pembaca seakan diajak untuk menertawakan sendiri apa yang terjadi di masyarakat tersebut lewat gambar kartun yang Aji suguhkan.

Di sinilah kelebihan Aji. Dia dapat mengungkapkan kritik tanpa menimbulkan rasa ‘sakit’ yang mendalam pada diri pembaca. Meskipun buku ini tetap tergolong sulit di dapat karena khawatir kritikan yang dilontarkan Aji dapat  menjadi sebuah masalah tersendiri. Terlepas dari itu, saya mempelajari bagaimana Aji bisa memberikan sebuah kiritikan yang lugas tanpa tedeng aling-aling namun tidak terlalu terasa efek sarkasmenya.

Namun buku ini memang benar-benar hanyalah subjektif semata karena ini memang komik opini. Segala kritikan maupun paham-paham yang disampaikan dalam buku ini murni adalah pemikiran Aji sendiri. Aji cenderung hanya memaparkan suatu permasalahan dari sudut pandangnya sendiri, dengan tujuan mengkritik dan belum menyertakan atau memberikan celah untuk memperoleh solusi.

Meski begitu, segala permasalahan yang disampaikan oleh Aji dalam buku ini dapat menjadi perenungan tersendiri bagi pembaca. Pembaca diajak untuk lebih mengkritisi segala fenomena yang ada di masyarakat. Tidak adanya solusi dari Aji bisa jadi justru memberikan kesempatan selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk mengatasi masalah dalam masyarakat tersebut dengan lebih bijak sesuai dengan kapasitas dan interpretasi masing-masing.

Bagi saya pribadi, meskipun tidak semua opini Aji dapat saya setujui, saya dapat belajar darinya untuk memperoleh sudut pandang berbeda dalam melihat sebuah masalah. Saya harap demikian pula dengan para pembaca sehingga parade paradoks ini dapat mengena di hati dan dapat segera ditemukan solusi.