Follow Us @soratemplates

Wednesday, 31 October 2012

Bermain Api

05:27 2 Comments


Jangan bermain api jika takut terbakar. Rasanya himbauan itu normatif sekali. Anak kecil pun juga tahu kalau bermain api memang memiliki risiko terbakar. Yup, memang persis seperti kata pepatah "Bermain air basah, bermain api panas". Segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada risikonya.

Saya tergelitik dengan frase 'bermain api' itu sendiri. Rasanya jika kita kolot dan memakai kaca mata kuda maka kita akan tutup mata dengan segala kemungkinan berinteraksi dengan api. Yah, mau bagaimana lagi, daripada kita panas atau bahkan terbakar. Barangkali begitu yang dipikirkan. Tapi, mari kita lihat dari sudut pandang lainnya.

Jaman dulu, nenek moyang kita bersusah payah menggosok-gosok kedua batu demi mengeluarkan bara api. Nah, jika beliau-beliau saja bersedia rela berkorban untuk menciptakan api, kenapa sekarang anak cucunya seolah-olah harus menghindari api?

Oke, anggaplah ada seseorang yang protes, "Ini kasus berbeda, Vi. Api nenek moyang kita itu untuk memasak dan menghangatkan badan, mereka tidak bermain-main. Sekarang pun kita juga butuh api untuk memasak dan menghangatkan badan, tapi tidak (jangan sampai) untuk bermain-main. Itu yang berbahaya).

Oke, saya sependapat. Api memang harus dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Bukankah memang harus demikian adanya perlakuan manusia terhadap apapun di dunia ini? Gunakan sesuai dengan fungsinya, sesuai porsinya, maka semua Insya Allah akan aman-aman saja. Demikian juga dalam kasus api. Ketika digunakan sesuai dengan fungsi dan porsinya, maka ia akan membantu manusia.

Dari kasus di atas, kita akan tergiring bahwa gunakan api untuk memasak dan menghangatkan badan saja, bukan untuk main-main karena itu bahaya. Tapi, benarkah demikian? Benarkah bermain api itu buruk dan menakutkan?

Saya jadi teringat dengan kembang api. Bukankah 'kembang' alias bunga itu indah dan menyenangkan? Sekalipun ia diberi embel-embel 'api', bukankah kembang api juga tetap indah dan menyenangkan? Dan penggunaan api untuk kembang api bukankah memang difungsikan untuk bermain-main semata? Bukan untuk memasak ataupun untuk menghangatkan badan. Jadi, tak bolehkah atau berbahayakah jika bermain-main api untuk kembang api?

Saya memang murni protes di sini. Bukan berarti lantas saya tetap ingin bermain api, hanya saja saya ingin mereka ulang definisi bermain api itu sendiri. Mungkin yang terpenting adalah kita tetap harus ingat segala konsekuensi. Ada aksi, pasti ada reaksi. Ada aksi bermain api, bisa jadi akan ada reaksi panas dan terbakar. Jika tahu itu, mudah-mudahan saja bisa selalu menjaga diri. Agar diri ini tak sampai hangus terbakar, karena kita sadar bahwa terkadang api itu indah dan menyenangkan.


Tuesday, 30 October 2012

Orientasi Blogging vs Social Media

18:55 0 Comments
Hm.., sudah lama sekali rasanya saya tidak posting di blog ini. Sekalipun ada postingan, itu pun naskah yang sudah ditulis untuk keperluan lainnya, bukan murni tulisan spesial untuk blog seperti biasanya. Dan tanpa sadar, rasa rindu dengan aktivitas bloging seperti dulu mulai muncul juga.

Kemarin, seorang teman berkata kepada saya, "Orang itu berubah-ubah orientasinya. Tahun lalu dia ingin ini, tahun ini ingin itu, dan entah tahun depan ingin apa". Saya mengiyakan perkataannya.

Saya tidak sedang ingin menceritakan tentang apa perubahan orientasi hidup saya. Tapi, kembali lagi dengan segala aktivitas blogging dulu, sepertinya dalam hal ini pun saya merasakan perubahan orientasi itu.

Tiga tahun lalu, ketika blog ini masih berumur hari atau bulan, orientasi waktu luang saya adalah blogging dan blogwalking. Saya akan membuka dasbor blog dan langsung menuliskan apa yang saya pikirkan pada saat itu. Lantas, berkunjung ke blog-blog teman dan blog-blog andalan yang memang sudah saya bookmark karena isinya menarik. Itulah aktivitas saya. Saya menulis dan saya membaca.

Tapi, jika flashback satu tahun lalu, rasanya aktivitas itu mulai meredup. Saya memang tetap menulis dan membaca. Sayangnya, itu lewat social media. Saya yang semula menganggap interaksi dunia maya lewat blog lebih baik daripada socmed lainnya, terjerumus ke sana. Karena tuntutan tugas, mulailah saya menulis di note fb. Karena desakan microblogging, mulailah saya tertarik dengan twitter. (Untungnya saya belum terjerumus dengan dunia fotografi sehingga tidak merambah ke instagram). Masalahnya adalah, social media adalah social media dan bukan murni wahana untuk melatih menulis dan membaca.

Seorang teman penulis pernah berkata, "Apa mau jadi penulis facebook? Yang ditulis hanya note atau status. Ya kalau setenar presiden, status facebook bisa dibukukan atau tweet di twitter bisa diperjualbelikan. Nah kita?"

Secara tidak langsung teman penulis itu berkata, social media hanyalah pembuang waktu semata. Sekalipun bisa untuk latihan menulis, itupun akan tenggelam dengan timeline lainnya. Seorang teman yang 'aktivis' blogging berkata, "Daripada di social media, nulis serius lebih bisa ditunjukkan dari postingan blognya. Sebulan ada berapa postingan, dan seterusnya".

Nah, saya sepertinya sependapat dengan teman yang kedua. Keseriusan menulis memang lebih bisa terlihat dari postingan blognya dan bukan dari seberapa sering dia menulis status, note, atau tweet. So?

Sekalipun begitu, ada teman lain pula yang berkomentar, "Kamu ingin jadi penulis blog atau penulis buku? Kalau penulis buku, ya kerjakan buku, jangan blogging melulu."
Hm..., lagi-lagi ini masalah orientasi individu yang bisa berubah sewaktu-waktu. Mau lebih fokus ke mana, memang terserah Anda. Tapi sepertinya memang lebih baik lewat blogging untuk menjadi batu loncatan membuat buku selanjutnya.


So.., welcome to blogging again! I hope this is the right way to reduce social media.. :)


PS: Sekedar curhat penyemangat diri sendiri biar lebih rutin nulis dan ngurus blog.. :)


Monday, 22 October 2012

Mahasiswa Berprestasi?

06:09 0 Comments

Ditulis untuk memenuhi permintaan "Behind the scene mawapres FK"
 
Ada yang bertanya, untuk apa mencari ‘gelar’ mahasiswa berprestasi? Apakah sekedar untuk menaikkan gengsi? Atau untuk gaya-gayaan semata? Bukankah semua orang pada dasarnya berprestasi? Toh tanpa gelar mawapres pun kita tetap bisa kuliah dengan santai, tetap bisa aktif organisasi dengan damai. So, untuk apa?
Memang benar, gelar mawapres bukanlah segala-galanya. Demikian halnya dengan orang yang beranggapan bahwa IPK cumlaude bukanlah tujuan utama. Setiap orang memiliki standar mereka masing-masing termasuk dalam ukuran prestasi. Bahkan dengan masuknya kita sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS pun sudah termasuk sebuah prestasi. Entah di dalamnya akan berproses seperti apa, kita bisa saja tetap menjadi ‘mahasiswa berprestasi’ menurut kaca mata orang tua kita.
Lantas untuk apa repot-repot membuat seleksi mahasiswa berprestasi?
Justru karena beragamnya pandangan yang berbeda itulah maka dibutuhkan sebuah penyeragaman kriteria untuk layak disebut mahasiswa berprestasi. Setidaknya ada lima komponen yang menjadi pertimbangan Dikti untuk menentukan kriteria mawapres. Kriteria tersebut yaitu IPK, karya tulis ilmiah, keaktifan mengikuti organisasi, lomba, penelitian, maupun pengabdian masyarakat, kemampuan berbahasa Inggris, dan kepribadian.
Keberhasilan akademis seorang mahasiswa jelas dilihat dari IPK-nya. Jika IPK-nya baik dapat diasumsikan bahwa proses belajarnya baik. Maka layak jika ia disebut sebagai orang yang berprestasi. Namun, prestasi ini hanyalah prestasi akademis semata. Apakah salah orang yang mengejar IPK hingga menargetkan cumlaude atau bahkan summa cumlaude? Tentu saja tidak. Orang-orang demikian justru disebut sebagai orang yang bertanggung jawab karena mengemban amanah orang tuanya untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tetapi, apakah orang yang ber-IPK tinggi saja cukup untuk memenuhi kebutuhan di luar sana? Belum tentu. IPK boleh saja tinggi, tetapi kriteria berprestasi lainnya harus ikut terpenuhi.
Sebagai orang intelektual yang diharapkan cinta dengan keilmuannya, maka seorang mahasiswa dituntut untuk sanggup menghasilkan karya dalam bentuk karya tulis ilmiah. Kriteria ini sering menjadi momok bagi sebagian besar mahasiswa, seakan frase ‘karya tulis ilmiah’ adalah sesuatu yang menakutkan dan terasa sangat berat. Padahal, karya tulis tak ubahnya tulisan biasa. Tak ada bedanya dengan menulis cerpen, puisi, atau curhatan di diary kesayangan. Hanya saja karya tulis ilmiah ditambahkan pustaka untuk menunjang data dan diatur dengan kaidah penulisan tertentu. Di luar dari itu, tak ada yang menakutkan dari sebuah karya tulis ilmiah.
Terlebih saat ini Dikti mewajibkan setiap mahasiswa yang lulus harus mempublikasikan naskah di jurnal ilmiah. Aturan Dikti ini bukan aturan yang memberatkan. Aturan ini justru mendukung mahasiswa untuk kritis dan mau meng-update berita terbaru mengenai keilmuannya. Terlebih menulis belumlah menjadi budaya di Indonesia. Padahal salah satu tanda seorang intelektual adalah orang yang menulis. Maka, wajar kiranya Dikti mengambil kemampuan menulis karya tulis ilmiah sebagai salah satu kriteria mahasiswa berprestasi.
Kriteria ketiga adalah keaktifan. Mahasiswa memang sering terjebak dengan keasyikan aktif di berbagai kegiatan, entah itu organisasi, penelitian, penyaluran minat bakat, atau pengembangan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan tersebut akan sedikit menyita jatah waktu untuk konsentrasi pada akademis. Namun, bukan berarti lantas mahasiswa dilarang untuk aktif. Justru sebaliknya, mahasiswa didorong untuk berkontribusi dan memberikan kebermanfaatan pada lingkungannya karena hal itu sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Maka keaktifan dalam berbagai kegiatan pun turut dipertimbangkan untuk mendapatkan gelar mahasiswa berprestasi.
Kemampuan berbahasa Inggris juga sangat dipertimbangkan dalam kriteria seorang mawapres. Di era globalisasi seperti sekarang ini, bahasa Inggris ibarat bahasa mutlak yang harus dikuasai. Dengan menguasai bahasa Inggris, maka akses informasi akan menjadi semakin luas. Artinya, mahasiswa pun akan semakin mudah untuk mencerdaskan dirinya. Dengan demikian wajar kiranya seorang mahasiswa yang capable dalam berbahasa Inggris dianggap sebagai mahasiswa berprestasi.
Kriteria terakhir adalah kepribadian mahasiswa tersebut. Kriteria ini justru dapat dikatakan sebagai kriteria yang paling penting. Mengapa? Karena kepribadian adalah kemudi sekaligus rem yang akan menemani mahasiswa tersebut dalam perjalanannya. Salah satu cara untuk menilai kepribadian seseorang adalah dengan melihat kualitas spiritualnya. Seseorang dengan spiritual yang baik, biasanya akan memiliki sikap yang baik pula.
Mahasiswa boleh saja ber-IPK tinggi, jago karya tulis, aktif, dan fasih berbahasa inggris, tetapi jika kepribadiannya buruk maka bisa jadi buruk pulalah kriteria lainnya. Kepintarannya yang diukur dari nilai IPK bisa saja diperoleh dari cara mencontek karena tak ada iman dalam hatinya. Karya tulis yang dibuatnya bisa saja tidak membawa kemanfaatan bagi orang lain karena hanya mengejar nafsu keilmiahan semata. Keaktifannya dalam berbagai kegiatan bisa jadi justru menjadi jurang dengan agamanya jika tidak direm dengan pengendalian yang baik. Dan kemampuan berbahasa Inggris yang baik dapat pula dimanfaatkan untuk akses informasi yang tak bermanfaat.
Maka, seorang mahasiswa yang berprestasi adalah seorang mahasiswa yang seimbang. Dia orang yang bertanggung jawab terhadap akademisnya yang dibuktikan dengan IPK. Dia mencintai keilmuannya dengan dibuktikan tergerak menuliskan karya tulis ilmiah. Dia peka pada lingkungan sosial dengan dibuktikan aktif di berbagai kegiatan. Dia terakses dengan informasi global yang dibuktikan dengan kemampuan berbahasa Inggris. Dan kuncinya, dia memiliki kepribadian yang kuat dengan dibuktikan oleh spiritualitasnya yang baik.
Apakah saya sudah sedemikian itu? Belum. Apakah seseorang dengan semua kriteria tersebut pasti menjadi mawapres? Belum tentu. Maka, kembali lagi pada statement di atas bahwa gelar mawapres bukan segala-galanya. Namun yang lebih penting adalah menjadi mahasiswa yang seimbang, antara akademis, ilmiah, sosial, global, dan spritualnya.
Bisakah? Semoga...

Kunci Cinta Menuju Cita

06:06 0 Comments
Ditulis untuk memenuhi permintaan "Mengapa memilih FK UNS"

Jika anak kecil ditanya, “Apa cita-citamu?” banyak yang akan menjawab, “Ingin menjadi dokter.”
Bermula dari jawaban klasik masa cilik, sebuah cita-cita pun menghujam erat dalam diri saya. Tentu bukan semata-mata karena tidak ingin menelan ludah sendiri atas jawaban yang sedari kecil didengung-dengungkan, tetapi lebih daripada itu. Ada sebuah daya pikat yang memang begitu mempesona sehingga saya berani bertaruh bahwa saya jatuh hati pada dunia kedokteran.
Dunia kedokteran adalah dunia berbau kesehatan. Diakui atau tidak, kesehatan termasuk sebagai salah satu hal pokok dalam aspek kehidupan manusia. Orang boleh berkata bahwa ekonomi yang paling penting, tapi apalah artinya kaya jika sehat tak punya. Bahkan sebaliknya tak jarang yang berkata “tak apa miskin, asal tetap hidup sehat dan bahagia”. Orang boleh berpendapat bahwa politik, lingkungan hidup, atau pendidikan adalah hal penting untuk diperhatikan. Tetapi, orang tak boleh lupa bahwa justru nikmat sehat dan sempat-lah yang melenakan, bukan nikmat kestabilan politik, kondusifnya lingkungan, atau pemerataan pendidikan.
Itulah kesehatan. Sesuatu yang penting namun melenakan dan bisa jadi justru berujung pada peremehan. Di sinilah kunci pertama itu. Mengapa saya tergila-gila pada kesehatan karena memang masyarakat harus dibangunkan dari buaian masalah kesehatan yang melenakan, di samping melek akan isu hukum, pertahanan, sosial, dan jutaan isu lainnya.
Berbicara mengenai kesehatan sama dengan berbicara mengenai kehidupan. Aspek yang dilingkupi oleh bidang kesehatan sangat luas sekali, mulai dari manusia sebelum lahir hingga manusia setelah mati. Sebuah ilmu yang mahaluas dan pasti akan semakin membuat haus ketika hanya meminum seteguk saja.
Memang ilmu Allah SWT tiada terhingga, bahkan tak kan selesai dituliskan dengan menggunakan tinta dari seluruh samudra. Ilmu kedokteran sendiri pastilah hanya secuil dari ilmu Allah Ta’ala. Tak ada artinya, tak berefek apa-apa. Namun ilmu tetaplah harus dipelajari. Sekalipun itu kecil di mata Allah SWT dan terlihat begitu kompleks di mata manusia, namun hasrat mencari percikan ilmu harus tetap diperjuangkan.
Dengan mempelajari kedokteran maka saya mempelajari ilmu kehidupan dari Sang Maha Pencipta. Bagaimana Allah SWT menciptakan manusia dengan sedemikian detailnya hingga tak ada satu bagian pun yang tidak menjalankan perannya. Sekalipun itu hanya pipi yang gembul pada bayi yang baru lahir ataupun rambut alis yang tak pernah tumbuh sangat memanjang.
Semuanya dikaji secara ilmiah dalam ilmu kedokteran. Jelas sebuah ilmu yang akan dapat mendekatkan diri pada Illahi Rabbi dan tentunya diharapkan dapat menjadi penjembatan untuk meningkatkan syukur dan keimanan pada Yang Maha Kuasa. Adanya hikmah yang terkuak dengan ilmu kedokteran itu tentunya menjadikan ilmu tak akan cukup sampai di situ. Rasa keingintahuan akan terasah dengan harapan dapat semakin memahami hikmah penciptaan dari Allah SWT. Secara tidak langsung, dengan sendirinya ilmu Allah pun akan semakin terkuasai sedikit demi sedikit. Inilah kunci kedua itu, sebuah harapan demi meningkatkan keimanan dengan memenuhi hasrat untuk menguasai ilmu Allah SWT.
Memang mempelajari ilmu Allah SWT tak harus dengan kedokteran. Atau perdebatan bahwa ilmu kesehatan tak melulu harus lewat jalur kedokteran. Dokter artinya orang yang bertugas mengobati orang yang sakit. Artinya ia hanya memperbaiki sesuatu yang sudah salah. Padahal kita tahu bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik menjaga orang sehat agar tak jatuh sakit dibandingkan mengurangi jumlah orang sakit dengan cara mengobati.
Saya sendiri menyepakati hal tersebut. Maka saya membenarkan program-program para penggerak kesehatan di lapisan masyarakat. Masyarakat sehat memang harus dijaga untuk sehat, tetapi masyarakat sakit harus segera diobati pula agar tidak bertambah sakit, bahkan diupayakan untuk menjadi sehat. Artinya, kesehatan memang tidak melulu tentang kuratif, tetapi ada fase preventif, promotif, maupun rehabilitatif.
Boleh jadi usaha itu dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat tanpa perlu repot-repot menghabiskan dana dan waktu untuk mengecap bangku kedokteran. Tetapi semua orang tak kan mampu untuk itu. Orang komunikasi bisa saja ahli melakukan usaha promotif, tetapi belum tentu tahu bagaimana tindakan rehabilitatif. Orang kesehatan masyarakan bisa saja mahir melakukan tindakan preventif, tetapi akan angkat tangan ketika harus melakukan tindakan kuratif. Memang semua memiliki porsinya masing-masing, tetapi seorang dokter dapat menjalankan keempat peran itu sekaligus.
Dokter yang peka dengan masalah masyarakat akan tergerak untuk melakukan upaya preventif dan promotif pada masyarakat sehat. Di satu sisi, dokter juga akan melakukan tindakan kuratif dan rehabilitatif untuk mengobati orang sakit dan mengubah statusnya menjadi orang sehat kembali. Artinya, seorang dokter dapat melakukan penekanan jumlah penderita suatu penyakit dari dua arah. Dengan demikian pewujudan masyarakat sehat pun terjadi beriringan. Inilah kunci ketiga dimana saya berharap dapat mewujudkan masyarakat sehat dengan aksi dua arah sekaligus, yaitu mencegah serta mengobati.
Mungkin ada yang meremehkan dengan kunci ketiga saya dengan berkata, “Dokter di Indonesia sudah banyak, tapi nyatanya masyarakat sehat tak tercapai juga.” Di sinilah tantangan yang saya ambil. Jumlah dokter memang banyak, namun berapa dokter yang mau membuka mata pada dunia sekitarnya? Berapa dokter yang memandang permasalahan kesehatan sebagai permasalahan masyarakat yang harus segera ditangani agar tidak menjadi masalah bangsa?
Padahal kembali ke bahasan semula bahwa ruang lingkup kedokteran sedemikian luasnya. Sebelum manusia lahir saja, sudah ada banyak kasus kesehatan yang melanda, mulai dari risiko kelahiran premature, tingginya angka kematian bayi dalam persalinan, dan lain sebaginya. Hingga akhirnya mendekati ajal pun ranah kedokteran masih ikut berbicara, mulai dari masalah penuaan yang mengganggu fungsi organ tubuh hingga jutaan masalah kesehatan kronik yang ditimbun sedikit demi sedikit. Semua masalah itu tak akan selesai jika hanya dipandang dengan kacamata satu orang pasien datang lantas diobati dan kemudian atas izin Allah diberikan kesembuhan. Melainkan bagaimanakah penanganan masalah penyakit tersebut jika terjadi di masyarakat secara luas. Itulah kunci keempat saya mencintai kedokteran, bahwa ladang kebermanfaatan masih membutuhkan tangan-tangan yang rela terulur, yang mau melihat masalah kesehatan secara komprehensif dan solutif. Dengan demikian kunci ketiga yaitu mewujudkan masyarakat yang sehat secara lebih efektif dan efisien pun semakin mudah untuk tercapai.
Setidaknya dengan keempat kunci itulah yang menutup rapat-rapat kobaran cita-cita dokter dalam diri saya. Harapan untuk mendekatkan diri pada Allah, membuat masyarakat melek akan kesehatan, menjadi problem solving bagi masalah kesehatan, dan mewujudkan masyarakat yang sehat insya Allah dapat tercipta dengan langkah awal menjadi mahasiswa fakultas kedokteran. Dengan kunci itu pulalah yang membuat hati tak akan berpaling pada ranah ilmu lain demi fokus mencintai dan nantinya akan memberi bukti.

Mengapa Kedokteran UNS?
Sekalipun rasa cinta pada kesehatan sudah demikian terpatri, pemilihan pelabuhan yang tepat agar cinta semakin bertaut tak bisa dianggap sebagai hal yang remeh. Salah pilih tempat mendarat, bisa-bisa rasa cinta pun akan menjadi kandas. Namun jika jatuh di landasan yang tepat, bisa jadi cinta itu akan melambung semakin tinggi. Pertimbangan itulah yang saya pakai sebelum melabuhkan cinta kesehatan itu. Dan pilihan saya pun jatuh pada Fakultas Kedokteran UNS.
Orang bilang, lakukanlah sesuatu mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, mulai dari yang terdekat, dan seterusnya. Demikian pula dalam memilih pelabuhan cinta. Untuk mengaitkan kunci cinta kesehatan saya satu per satu, bisa saja saya memilih fakultas kedokteran di kota-kota provinsi atau kota besar lainnya. Namun atas dasar memulai sesuatu dari yang terkecil dan terdekat, tak ada salahnya saya mencoba mengunci cinta itu dari sebuah kota kecil bernama Solo.
Sebuah kota mungil bukan berarti mimpi hanyalah kecil. Sebuah kota yang dekat bukan berarti mimpi tak mungkin melesat. Justru bermula dari kota kecil inilah pijakan akan menjadi semakin kuat. Justru karena kota yang mungil pulalah menjadikan kami semakin dekat dengan masyarakat. Secara tidak langsung perwujudan pengikatan kunci cinta kesehatan semakin mudah untuk dilakukan.
Bisa jadi justru karena di kota besar lantas kurang akrab membersamai masyarakat. Terbukti dengan lulusan fakultas kedokteran di berbagai universitas. Tak jarang lulusan universitas tertentu tidak siap untuk terjun dalam masyarakat. Skill tidak terasah karena tidak ada kesempatan untuk mempraktikkan langsung selama mengenyam bangku pendidikan.
Namun, semua kekhawatiran itu dapat dicegah hingga seminimal mungkin di FK UNS. Kegiatan terjun ke daerah-daerah dengan membawa topik kesehatan tertentu setiap semester dapat menjadi wahana untuk benar-benar mengenal masalah kesehatan masyarakat. Di samping itu sekaligus mencari pemecahan masalah kesehatan dan mempraktikkan skill yang dimiliki. Semuanya terasah sediki demi sedikit dengan dukungan kurikulum dari fakultas maupun organisasi-organisasi medis yang bertebaran dan demikian dekat dengan kehidupan mahasiswa.
Dengan dukungan fakultas maupun organisasi kampus, kemampuan saya pun sedikit demi sedikit terasah. Artinya, kesempatan untuk menguatkan kunci-kunci cinta kesehatan pun makin terwujud. Dengan keempat kunci cinta saya yang ternyata didukung penuh dengan program fakultas maupun organisasi, makin kuatlah rasa cinta saya pada kesehatan. Dengan makin kuatnya rasa cinta saya pada kesehatan, makin kuatlah rasa cinta saya pada fakultas yang telah mendukung sedemikian tak terkiranya.
Maka, saya berani berkata, “Saya cinta kesehatan, saya cinta FK UNS.”


Bukan Politikus, Melainkan Negarawan

06:02 0 Comments

Ditulis untuk menghadiri pertemuan penerima manfaat beasiswa aktivis BAKTI NUSA

Jika kita melihat tokoh-tokoh dan sosok pemimpin yang bertebaran di Indonesia saat ini, siapakah yang akan kita jumpai? Seorang politikus atau seorang negarawan? Hampir seluruh pemangku jabatan memiliki latar belakang partai politik. Maka, secara tak langsung mereka disebut sebagai politikus. Tetapi apakah kita pasti melihat sosok seorang negarawan dalam diri politikus tersebut? Jawabannya, belum tentu.
Indonesia memiliki begitu banyak partai politik. Masing-masing partai politik memiliki pula kader-kader politikus yang tak terhitung jumlahnya. Rasanya sangat wajar jika Indonesia memiliki begitu banyak politikus. Bahkan serasa tidak ada kesulitan untuk mencetak seorang politikus baru. Masukkan saja dalam partai politik, bentuk, maka jadilah.
Mereka semua adalah politikus, seseorang yang memiliki latar belakang politik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan bahwa politikus adalah ahli politik, ahli negara, atau orang yang berkecimpung di dunia politik. Seorang politikus jelas orang yang berkecimpung di dunia politik. Seseorang yang berkecimpung di dunia politik wajar jika disebut sebagai ahli politik. Tetapi, apakah benar jika seorang yang ahli politik dapat dikatakan sebagai ahli negara?
Masih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ahli negara disebut sebagai negarawan. Seorang negarawan adalah orang yang ahli dalam kenegaraan, ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan), atau pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Politikus yang setiap hari mengurus negara wajar jika ahli dalam kenegaraan. Politikus yang menduduki jabatan pemerintahan wajar disebut negarawan karena dianggap ahli dalam menjalankan pemerintahan. Tetapi, dalam definisi negarawan yang ketiga disebutkan bahwa seorang negarawan haruslah memiliki suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Syarat inilah yang menjadi kunci bahwa semua politikus belum tentu disebut negarawan.
Permasalahannya adalah dengan carut marutnya problematika yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, siapakah yang dibutuhkan oleh Indonesia? Apakah Indonesia membutuhkan jutaan politikus atau mengharapkan ribuan negarawan? Dengan definisi politikus dan negarawan di atas, jelas kiranya jika Indonesia lebih membutuhkan seorang negarawan dibandingkan politikus semata.

Visi Memberi Solusi
Politikus hanyalah orang yang memiliki latar belakang politik tetapi belum tentu memiliki visi ke depan atau mau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan. Berhubung embel-embel yang tersemat adalah politikus, maka nuansa politiklah yang melekat pada dirinya. Mulai dari kampanye, pemilu, pelantikan, masa jabatan, dan kemudian lengser. Orientasi yang diusung bukan tak mungkin hanyalah jabatan semata. Maka wajar jika visi yang dikedepankan pun adalah untuk meraih atau mempertahankan jabatan tersebut. Dilihat dari sudut pandang ini, memang seorang politikus tetap memiliki sebuah visi. Tetapi jika visi sebatas jabatan saja dan tidak berpikir ke depan untuk negaranya, maka tak layak rasanya jika politikus tersebut meminta gelar negarawan tersemat dalam dirinya.
Lain halnya dengan negarawan. Sesuai kata dasarnya, negarawan memiliki orientasi terhadap negara. Dia tidak semata-mata memikirkan pemilu untuk meraih jabatan. Seseorang yang memiliki hasrat memikirkan negaranya tak akan terpengaruh dengan keadaan apakah dia memiliki jabatan atau tidak. Pemikiran-pemikirannya tak kan pernah berhenti meskipun terhalang kondisi sebuah kursi.
Atas nama cintanya terhadap bangsa, seorang negarawan akan selalu tanggap dengan isu-isu masalah yang sedang melanda negaranya. Ketanggapan itu muncul karena dorongan dari dalam dirinya yang memang selalu berpikir untuk negaranya. Aksinya bukan sekedar menunjukkan kepedulian akan masalah semata, melainkan lebih dari itu. Seorang negarawan selalu ingin negaranya menjadi lebih baik. Maka, setiap permasalahan yang mendera negaranya akan ia pikirkan dari kacamata solusi.
Negarawan bukanlah orang yang paham masalah negaranya saja. Indonesia tidak butuh orang yang fasih mengumbar masalah. Yang dibutuhkan adalah orang yang tahu permasalahan dan paham pula mengenai solusi mengentaskan permasalahan itu. Maka negarawan yang selalu beriorientasi pada negara bukanlah orang yang berpikir pada masalah bangsa saja, melainkan orang yang berpikir bagaimana menemukan solusi terhadap segala permasalahan yang sedang melanda.
Inilah yang membedakan seorang negarawan dengan politikus. Negarawan akan tetap berpikir negara, sedangkan politikus akan berpikir dalam kacamata politik. Apakah masalah itu akan menghancurkan citra partai politiknya atau tidak. Lagi-lagi, bukan sikap ini yang dibutuhkan oleh Indonesia.

Kewibawaan dan Kebijaksanaan
Definisi lain dari seorang negarawan adalah orang yang memiliki kewibawaan dan kebijaksanaan dalam mengelola masalah. Kewibawaan tersebut tercipta karena seorang negarawan memiliki sebuah karakter yang kuat. Makin kuat karakter seseorang, makin tercetak pula nuansa wibawa dalam dirinya.
Salah satu karakter yang wajib dimiliki olah seorang negarawan adalah integritas. Integritas adalah sebuah kejujuran. Dalam pengertian lain dikatakan bahwa integritas adalah suatu sifat yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan sebuah kewibawaan.
Dipandang dari segi individu, seorang negarawan pastilah memiliki integritas. Ia tak akan bersembunyi di balik kedok apapun. Justru dia akan menampilkan jati dirinya, salah satunya untuk menciptakan citra baik akan negaranya.
Dalam sudut pandang negara pun, seorang negarawan pastilah memiliki integritas bangsa. Tak mungkin seorang negarawan yang selalu berpikir solutif akan masalah bangsanya tidak memikirkan bagaimana agar bangsanya utuh dan selalu bersatu. Atas dasar inilah, seorang negarawan akan mempertimbangkan pula apakah kebijakannya merupakan sebuah kebijaksanaan.
Seorang negarawan akan berpikir ulang jika tindakannya tidak mencerminkan sikap yang bijaksana. Contohnya, jika aksinya jusrtu merugikan sebagian golongan yang justru akan menimbulkan perpecahan bangsa, tentu seorang negarawan akan berpikir ulang untuk menjalankannya. Hal ini karena seorang negarawan berharap keutuhan negaranya semata. Maka, wajar kiranya jika seorang negarawan haruslah memiliki integritas, baik integritas secara individu, maupun integritas bagsa.

Sosok Negarawan Sejati
Di antara arus besar munculnya politikus di Indonesia, atau bahkan di dunia, saat ini sedang dirindukan sosok negarawan sejati. Dilihat dari kriteria visi ke depan, kewibawaan, kebijaksanaan, dan integritas, segelintir orang mulai memenuhi satu demi satu kriteria tersebut. Tetapi jika kita membutuhkan model, tak akan ada model yang lebih agung selain Rasulullah Muhammad SAW.
Rasulullah SAW jelas merupakan seorang sosok yang memiliki integritas tinggi. Kejujuran sudah melekat pada dirinya sejak beliau belia. Terbukti dengan julukan Al-Amin yang diakui oleh para kabilah tanpa pandang dulu apakah ia nantinya beriman atau tidak. Dengan intergritas yang dimiliki ini pulalah, Rasulullah SAW dapat memiliki kebijaksanaan dalam memecahkan perseturuan di antara para suku tersebut. Berkat kebijaksanaan itulah, dengan sendirinya kewibawaan tercetak jelas dalam diri Rasulullah SAW.
Tidak sebatas pada karakter pribadi Rasulullah SAW, beliau juga memikirkan masalah yang kala itu melanda. Keadaan masyarakat yang jahililiyah menggelitik Rasulullah SAW untuk bekhalwat di gua Hiro’. Salah satunya untuk memikirkan masyarakatnya dan tentunya berharap menemukan solusi atas masalah tersebut. Sikap ini sebagai bukti bahwa Rasulullah SAW memiliki visi ke depan untuk mengentaskan masalah masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Rasulullah SAW adalah sosok negarawan sejati. Beliau mampu memimpin masyarakat yang semula terpecah belah menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan menjadi negara yang kuat. Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa seorang negarawan harus memiliki integritas bangsa.
Bukan menjadi hal asing lagi bahwa negara yang dibangun oleh Rasulullah SAW adalah negara terkuat dan bahkan bisa mengalahkan negara-negara lainnya. Bahkan Michael H Hart dalam bukunya The 100 menempatkan Rasulullah SAW sebagai orang pertama yang memiliki pengaruh besar terhadap dunia dan tidak ada pemimpin yang bisa mengalahkan dirinya.
Oleh karena itu ketika mencari model untuk sosok negarawan sejati, tidak ada pribadi yang lebih sempurna dibandingkan Rasulullah SAW. Maka, salah satu cara untuk menjadi seorang negarawan sejati adalah dengan meneladani sifat, sikap, dan karakter Rasulullah SAW.

Menggagas Negarawan Muda
Menjadi sebuah bahasan penting ketika kembali membayangkan kebutuhan Indonesia akan hadirnya sosok negarawan. Mereka yang menduduki kursi saat ini sudah terlanjur basah tercetak sebagai seorang politikus dan belum tentu sebagai negarawan. Maka, demi mencukupi kebutuhan negarawan itulah hal yang paling penting adalah menciptakan sosok-sosok negarawan untuk Indonesia. Persiapan ini tidak salah lagi layaknya ditujukan kepada para generasi muda, terlebih lagi kepada para mahasiswa. Hal ini dikarenakan mahasiswa digadang-gadang sebagai iron stock alias simpanan yang bermental kuat seperti besi. Berbicara dari sudut pandang politikus dan negarawan, tentu stok yang diingankan bukan`sekedar stok yang mampu menjadi politikus saja, melainkan stok yang memiliki semangat akan negaranya hingga pantas disebut sebagai seorang negarawan.
 Untuk menjadi seorang negarawan, khususnya dengan berkiblat pada sosok Rasulullah SAW, maka yang pertama kali dipersiapkan adalah pembentukan karakter. Karakter menjadi perkara penting karena dengan karakter inilah akan menentukan bagaimana sikap seseorang. Hal ini menjadi menarik pula ketika dihadapkan pada diri seorang pemuda. Para pemuda sering dikatakan sedang mengalami proses pencarian jati diri. Maka, akan lebih baik kiranya jika proses pencarian jati diri ini diarahkan pada jalan yang benar. Salah satu jalan tersebut yaitu jalan untuk mencintai bangsanya dan menjadi sosok negarawan.
Jalan pertama jelas seorang pemuda harus memiliki intergitas terlebih dahulu. Pembentukan integritas ini tidak bisa diciptakan dalam sekejap mata. Maka benar kiranya jika pembentukan karakter ini dimulai sejak muda, bahkan bila perlu sejak dini. Mental-mental kejujuran harus terpatri dalam diri setiap pemuda. Semangat-semangat keutuhan bangsa harus mendarah daging pula dalam diri seorang pemuda. Inilah mengapa pembentukan karakter menjadi upaya penting pertama yang harus dilakukan.
Apabila karakter seorang pemuda tersebut telah kuat, dengan sendirinya dia akan memenuhi syarat negarawan selanjutnya yaitu memiliki kebijaksanaan dan kewibawaan. Kedua sikap ini muncul secara alamiah pada diri orang yang berkarakter. Wibawa memang bisa dicipta, bisa dibentuk, bahkan bisa dimanipulasi. Tetapi karena sejak semula orang tersebut telah memiliki kejujuran pada dirinya sendiri, maka wibawa yang tercipta dalam dirinya adalah wibawa murni yang akan kekal dan tak terpengaruh oleh kondisi.
Begitu kebijaksanaan dan kewibawaan tercipta sebagai manifestasi dari sebuah kejujuran, maka langkah selanjutnya adalah mengenali permasalahan bangsa dan berupaya menemukan solusinya. Hanya memiliki karakter kuat saja tidak cukup. Orang berkarakter tapi tidak memikirkan negaranya, sampai kapan pun tidak akan disebut sebagai negarawan. Maka, kepekaan terhadap kondisi bangsa menjadi syarat mutlak yang harus dibina pada generasi muda untuk menjadi seorang negarawan.
Kepekaan ini dapat dirangsang dengan berbagai metode. Mahasiswa sebagai manusia intelektual pastilah paham bagaimana cara mengenali masalah bangsa. Yang menjadi perkara adalah mampukah belajar untuk menemukan solusinya. Maka, selagi masih menjadi mahasiswa, upaya yang harus dilakukan tidak hanya mengkaji masalah saja, tetapi saling bersinergi pula untuk menemukan solusi jitu terhadap permasalahan bangsa.
Dengan karakter kuat dan pemikiran ke depan yang matang akan permasalahan bangsa pada diri generasi muda, bukan hal mustahil jika kelak tercipta milyaran sosok negarawan di Indonesia. Ketika sosok itu telah jadi, kebijaksanaan pulalah yang akan menuntun mereka untuk beraksi. Apakah mereka akan menjadi negarawan yang praktisi, atau negarawan yang politikus. Apapun itu, masalah bangsa insya Allah akan teratasi. Inilah yang sedang kita cari, bukan hanya seorang politikus tetapi seorang negarawan di semua lini.