Ditulis untuk memenuhi permintaan "Behind the scene mawapres FK"
Ada yang bertanya, untuk apa
mencari ‘gelar’ mahasiswa berprestasi? Apakah sekedar untuk menaikkan gengsi?
Atau untuk gaya-gayaan semata? Bukankah semua orang pada dasarnya berprestasi?
Toh tanpa gelar mawapres pun kita tetap bisa kuliah dengan santai, tetap bisa
aktif organisasi dengan damai. So, untuk apa?
Memang benar, gelar mawapres
bukanlah segala-galanya. Demikian halnya dengan orang yang beranggapan bahwa
IPK cumlaude bukanlah tujuan utama. Setiap orang memiliki standar mereka
masing-masing termasuk dalam ukuran prestasi. Bahkan dengan masuknya kita
sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS pun sudah termasuk sebuah prestasi.
Entah di dalamnya akan berproses seperti apa, kita bisa saja tetap menjadi
‘mahasiswa berprestasi’ menurut kaca mata orang tua kita.
Lantas untuk apa repot-repot
membuat seleksi mahasiswa berprestasi?
Justru karena beragamnya
pandangan yang berbeda itulah maka dibutuhkan sebuah penyeragaman kriteria
untuk layak disebut mahasiswa berprestasi. Setidaknya ada lima komponen yang
menjadi pertimbangan Dikti untuk menentukan kriteria mawapres. Kriteria
tersebut yaitu IPK, karya tulis ilmiah, keaktifan mengikuti organisasi, lomba,
penelitian, maupun pengabdian masyarakat, kemampuan berbahasa Inggris, dan
kepribadian.
Keberhasilan akademis seorang
mahasiswa jelas dilihat dari IPK-nya. Jika IPK-nya baik dapat diasumsikan bahwa
proses belajarnya baik. Maka layak jika ia disebut sebagai orang yang
berprestasi. Namun, prestasi ini hanyalah prestasi akademis semata. Apakah
salah orang yang mengejar IPK hingga menargetkan cumlaude atau bahkan summa
cumlaude? Tentu saja tidak. Orang-orang demikian justru disebut sebagai orang
yang bertanggung jawab karena mengemban amanah orang tuanya untuk belajar
dengan sungguh-sungguh. Tetapi, apakah orang yang ber-IPK tinggi saja cukup
untuk memenuhi kebutuhan di luar sana? Belum tentu. IPK boleh saja tinggi,
tetapi kriteria berprestasi lainnya harus ikut terpenuhi.
Sebagai orang intelektual yang
diharapkan cinta dengan keilmuannya, maka seorang mahasiswa dituntut untuk
sanggup menghasilkan karya dalam bentuk karya tulis ilmiah. Kriteria ini sering
menjadi momok bagi sebagian besar mahasiswa, seakan frase ‘karya tulis ilmiah’
adalah sesuatu yang menakutkan dan terasa sangat berat. Padahal, karya tulis
tak ubahnya tulisan biasa. Tak ada bedanya dengan menulis cerpen, puisi, atau
curhatan di diary kesayangan. Hanya saja karya tulis ilmiah ditambahkan pustaka
untuk menunjang data dan diatur dengan kaidah penulisan tertentu. Di luar dari
itu, tak ada yang menakutkan dari sebuah karya tulis ilmiah.
Terlebih saat ini Dikti
mewajibkan setiap mahasiswa yang lulus harus mempublikasikan naskah di jurnal
ilmiah. Aturan Dikti ini bukan aturan yang memberatkan. Aturan ini justru
mendukung mahasiswa untuk kritis dan mau meng-update berita terbaru mengenai keilmuannya. Terlebih menulis belumlah
menjadi budaya di Indonesia. Padahal salah satu tanda seorang intelektual
adalah orang yang menulis. Maka, wajar kiranya Dikti mengambil kemampuan
menulis karya tulis ilmiah sebagai salah satu kriteria mahasiswa berprestasi.
Kriteria ketiga adalah keaktifan.
Mahasiswa memang sering terjebak dengan keasyikan aktif di berbagai kegiatan,
entah itu organisasi, penelitian, penyaluran minat bakat, atau pengembangan
masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan tersebut akan sedikit menyita
jatah waktu untuk konsentrasi pada akademis. Namun, bukan berarti lantas
mahasiswa dilarang untuk aktif. Justru sebaliknya, mahasiswa didorong untuk
berkontribusi dan memberikan kebermanfaatan pada lingkungannya karena hal itu
sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Maka keaktifan dalam berbagai
kegiatan pun turut dipertimbangkan untuk mendapatkan gelar mahasiswa
berprestasi.
Kemampuan berbahasa Inggris juga
sangat dipertimbangkan dalam kriteria seorang mawapres. Di era globalisasi
seperti sekarang ini, bahasa Inggris ibarat bahasa mutlak yang harus dikuasai.
Dengan menguasai bahasa Inggris, maka akses informasi akan menjadi semakin
luas. Artinya, mahasiswa pun akan semakin mudah untuk mencerdaskan dirinya.
Dengan demikian wajar kiranya seorang mahasiswa yang capable dalam berbahasa Inggris dianggap sebagai mahasiswa
berprestasi.
Kriteria terakhir adalah
kepribadian mahasiswa tersebut. Kriteria ini justru dapat dikatakan sebagai
kriteria yang paling penting. Mengapa? Karena kepribadian adalah kemudi
sekaligus rem yang akan menemani mahasiswa tersebut dalam perjalanannya. Salah
satu cara untuk menilai kepribadian seseorang adalah dengan melihat kualitas
spiritualnya. Seseorang dengan spiritual yang baik, biasanya akan memiliki
sikap yang baik pula.
Mahasiswa boleh saja ber-IPK
tinggi, jago karya tulis, aktif, dan fasih berbahasa inggris, tetapi jika
kepribadiannya buruk maka bisa jadi buruk pulalah kriteria lainnya.
Kepintarannya yang diukur dari nilai IPK bisa saja diperoleh dari cara
mencontek karena tak ada iman dalam hatinya. Karya tulis yang dibuatnya bisa
saja tidak membawa kemanfaatan bagi orang lain karena hanya mengejar nafsu
keilmiahan semata. Keaktifannya dalam berbagai kegiatan bisa jadi justru
menjadi jurang dengan agamanya jika tidak direm dengan pengendalian yang baik.
Dan kemampuan berbahasa Inggris yang baik dapat pula dimanfaatkan untuk akses
informasi yang tak bermanfaat.
Maka, seorang mahasiswa yang
berprestasi adalah seorang mahasiswa yang seimbang. Dia orang yang bertanggung
jawab terhadap akademisnya yang dibuktikan dengan IPK. Dia mencintai
keilmuannya dengan dibuktikan tergerak menuliskan karya tulis ilmiah. Dia peka
pada lingkungan sosial dengan dibuktikan aktif di berbagai kegiatan. Dia terakses
dengan informasi global yang dibuktikan dengan kemampuan berbahasa Inggris. Dan
kuncinya, dia memiliki kepribadian yang kuat dengan dibuktikan oleh spiritualitasnya
yang baik.
Apakah saya sudah sedemikian itu?
Belum. Apakah seseorang dengan semua kriteria tersebut pasti menjadi mawapres?
Belum tentu. Maka, kembali lagi pada statement
di atas bahwa gelar mawapres bukan segala-galanya. Namun yang lebih penting
adalah menjadi mahasiswa yang seimbang, antara akademis, ilmiah, sosial,
global, dan spritualnya.
Bisakah? Semoga...
No comments:
Post a Comment