Follow Us @soratemplates

Monday, 22 October 2012

Mahasiswa Berprestasi?


Ditulis untuk memenuhi permintaan "Behind the scene mawapres FK"
 
Ada yang bertanya, untuk apa mencari ‘gelar’ mahasiswa berprestasi? Apakah sekedar untuk menaikkan gengsi? Atau untuk gaya-gayaan semata? Bukankah semua orang pada dasarnya berprestasi? Toh tanpa gelar mawapres pun kita tetap bisa kuliah dengan santai, tetap bisa aktif organisasi dengan damai. So, untuk apa?
Memang benar, gelar mawapres bukanlah segala-galanya. Demikian halnya dengan orang yang beranggapan bahwa IPK cumlaude bukanlah tujuan utama. Setiap orang memiliki standar mereka masing-masing termasuk dalam ukuran prestasi. Bahkan dengan masuknya kita sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS pun sudah termasuk sebuah prestasi. Entah di dalamnya akan berproses seperti apa, kita bisa saja tetap menjadi ‘mahasiswa berprestasi’ menurut kaca mata orang tua kita.
Lantas untuk apa repot-repot membuat seleksi mahasiswa berprestasi?
Justru karena beragamnya pandangan yang berbeda itulah maka dibutuhkan sebuah penyeragaman kriteria untuk layak disebut mahasiswa berprestasi. Setidaknya ada lima komponen yang menjadi pertimbangan Dikti untuk menentukan kriteria mawapres. Kriteria tersebut yaitu IPK, karya tulis ilmiah, keaktifan mengikuti organisasi, lomba, penelitian, maupun pengabdian masyarakat, kemampuan berbahasa Inggris, dan kepribadian.
Keberhasilan akademis seorang mahasiswa jelas dilihat dari IPK-nya. Jika IPK-nya baik dapat diasumsikan bahwa proses belajarnya baik. Maka layak jika ia disebut sebagai orang yang berprestasi. Namun, prestasi ini hanyalah prestasi akademis semata. Apakah salah orang yang mengejar IPK hingga menargetkan cumlaude atau bahkan summa cumlaude? Tentu saja tidak. Orang-orang demikian justru disebut sebagai orang yang bertanggung jawab karena mengemban amanah orang tuanya untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tetapi, apakah orang yang ber-IPK tinggi saja cukup untuk memenuhi kebutuhan di luar sana? Belum tentu. IPK boleh saja tinggi, tetapi kriteria berprestasi lainnya harus ikut terpenuhi.
Sebagai orang intelektual yang diharapkan cinta dengan keilmuannya, maka seorang mahasiswa dituntut untuk sanggup menghasilkan karya dalam bentuk karya tulis ilmiah. Kriteria ini sering menjadi momok bagi sebagian besar mahasiswa, seakan frase ‘karya tulis ilmiah’ adalah sesuatu yang menakutkan dan terasa sangat berat. Padahal, karya tulis tak ubahnya tulisan biasa. Tak ada bedanya dengan menulis cerpen, puisi, atau curhatan di diary kesayangan. Hanya saja karya tulis ilmiah ditambahkan pustaka untuk menunjang data dan diatur dengan kaidah penulisan tertentu. Di luar dari itu, tak ada yang menakutkan dari sebuah karya tulis ilmiah.
Terlebih saat ini Dikti mewajibkan setiap mahasiswa yang lulus harus mempublikasikan naskah di jurnal ilmiah. Aturan Dikti ini bukan aturan yang memberatkan. Aturan ini justru mendukung mahasiswa untuk kritis dan mau meng-update berita terbaru mengenai keilmuannya. Terlebih menulis belumlah menjadi budaya di Indonesia. Padahal salah satu tanda seorang intelektual adalah orang yang menulis. Maka, wajar kiranya Dikti mengambil kemampuan menulis karya tulis ilmiah sebagai salah satu kriteria mahasiswa berprestasi.
Kriteria ketiga adalah keaktifan. Mahasiswa memang sering terjebak dengan keasyikan aktif di berbagai kegiatan, entah itu organisasi, penelitian, penyaluran minat bakat, atau pengembangan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan tersebut akan sedikit menyita jatah waktu untuk konsentrasi pada akademis. Namun, bukan berarti lantas mahasiswa dilarang untuk aktif. Justru sebaliknya, mahasiswa didorong untuk berkontribusi dan memberikan kebermanfaatan pada lingkungannya karena hal itu sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Maka keaktifan dalam berbagai kegiatan pun turut dipertimbangkan untuk mendapatkan gelar mahasiswa berprestasi.
Kemampuan berbahasa Inggris juga sangat dipertimbangkan dalam kriteria seorang mawapres. Di era globalisasi seperti sekarang ini, bahasa Inggris ibarat bahasa mutlak yang harus dikuasai. Dengan menguasai bahasa Inggris, maka akses informasi akan menjadi semakin luas. Artinya, mahasiswa pun akan semakin mudah untuk mencerdaskan dirinya. Dengan demikian wajar kiranya seorang mahasiswa yang capable dalam berbahasa Inggris dianggap sebagai mahasiswa berprestasi.
Kriteria terakhir adalah kepribadian mahasiswa tersebut. Kriteria ini justru dapat dikatakan sebagai kriteria yang paling penting. Mengapa? Karena kepribadian adalah kemudi sekaligus rem yang akan menemani mahasiswa tersebut dalam perjalanannya. Salah satu cara untuk menilai kepribadian seseorang adalah dengan melihat kualitas spiritualnya. Seseorang dengan spiritual yang baik, biasanya akan memiliki sikap yang baik pula.
Mahasiswa boleh saja ber-IPK tinggi, jago karya tulis, aktif, dan fasih berbahasa inggris, tetapi jika kepribadiannya buruk maka bisa jadi buruk pulalah kriteria lainnya. Kepintarannya yang diukur dari nilai IPK bisa saja diperoleh dari cara mencontek karena tak ada iman dalam hatinya. Karya tulis yang dibuatnya bisa saja tidak membawa kemanfaatan bagi orang lain karena hanya mengejar nafsu keilmiahan semata. Keaktifannya dalam berbagai kegiatan bisa jadi justru menjadi jurang dengan agamanya jika tidak direm dengan pengendalian yang baik. Dan kemampuan berbahasa Inggris yang baik dapat pula dimanfaatkan untuk akses informasi yang tak bermanfaat.
Maka, seorang mahasiswa yang berprestasi adalah seorang mahasiswa yang seimbang. Dia orang yang bertanggung jawab terhadap akademisnya yang dibuktikan dengan IPK. Dia mencintai keilmuannya dengan dibuktikan tergerak menuliskan karya tulis ilmiah. Dia peka pada lingkungan sosial dengan dibuktikan aktif di berbagai kegiatan. Dia terakses dengan informasi global yang dibuktikan dengan kemampuan berbahasa Inggris. Dan kuncinya, dia memiliki kepribadian yang kuat dengan dibuktikan oleh spiritualitasnya yang baik.
Apakah saya sudah sedemikian itu? Belum. Apakah seseorang dengan semua kriteria tersebut pasti menjadi mawapres? Belum tentu. Maka, kembali lagi pada statement di atas bahwa gelar mawapres bukan segala-galanya. Namun yang lebih penting adalah menjadi mahasiswa yang seimbang, antara akademis, ilmiah, sosial, global, dan spritualnya.
Bisakah? Semoga...

No comments:

Post a Comment