Jika
anak kecil ditanya, “Apa cita-citamu?” banyak yang akan menjawab, “Ingin
menjadi dokter.”
Bermula
dari jawaban klasik masa cilik, sebuah cita-cita pun menghujam erat dalam diri
saya. Tentu bukan semata-mata karena tidak ingin menelan ludah sendiri atas
jawaban yang sedari kecil didengung-dengungkan, tetapi lebih daripada itu. Ada
sebuah daya pikat yang memang begitu mempesona sehingga saya berani bertaruh
bahwa saya jatuh hati pada dunia kedokteran.
Dunia
kedokteran adalah dunia berbau kesehatan. Diakui atau tidak, kesehatan termasuk
sebagai salah satu hal pokok dalam aspek kehidupan manusia. Orang boleh berkata
bahwa ekonomi yang paling penting, tapi apalah artinya kaya jika sehat tak
punya. Bahkan sebaliknya tak jarang yang berkata “tak apa miskin, asal tetap
hidup sehat dan bahagia”. Orang boleh berpendapat bahwa politik, lingkungan
hidup, atau pendidikan adalah hal penting untuk diperhatikan. Tetapi, orang tak
boleh lupa bahwa justru nikmat sehat dan sempat-lah yang melenakan, bukan
nikmat kestabilan politik, kondusifnya lingkungan, atau pemerataan pendidikan.
Itulah
kesehatan. Sesuatu yang penting namun melenakan dan bisa jadi justru berujung
pada peremehan. Di sinilah kunci pertama itu. Mengapa saya tergila-gila pada
kesehatan karena memang masyarakat harus dibangunkan dari buaian masalah
kesehatan yang melenakan, di samping melek akan isu hukum, pertahanan, sosial,
dan jutaan isu lainnya.
Berbicara
mengenai kesehatan sama dengan berbicara mengenai kehidupan. Aspek yang
dilingkupi oleh bidang kesehatan sangat luas sekali, mulai dari manusia sebelum
lahir hingga manusia setelah mati. Sebuah ilmu yang mahaluas dan pasti akan
semakin membuat haus ketika hanya meminum seteguk saja.
Memang
ilmu Allah SWT tiada terhingga, bahkan tak kan selesai dituliskan dengan menggunakan
tinta dari seluruh samudra. Ilmu kedokteran sendiri pastilah hanya secuil dari
ilmu Allah Ta’ala. Tak ada artinya, tak berefek apa-apa. Namun ilmu tetaplah
harus dipelajari. Sekalipun itu kecil di mata Allah SWT dan terlihat begitu
kompleks di mata manusia, namun hasrat mencari percikan ilmu harus tetap
diperjuangkan.
Dengan
mempelajari kedokteran maka saya mempelajari ilmu kehidupan dari Sang Maha
Pencipta. Bagaimana Allah SWT menciptakan manusia dengan sedemikian detailnya
hingga tak ada satu bagian pun yang tidak menjalankan perannya. Sekalipun itu
hanya pipi yang gembul pada bayi yang baru lahir ataupun rambut alis yang tak
pernah tumbuh sangat memanjang.
Semuanya
dikaji secara ilmiah dalam ilmu kedokteran. Jelas sebuah ilmu yang akan dapat
mendekatkan diri pada Illahi Rabbi dan tentunya diharapkan dapat menjadi
penjembatan untuk meningkatkan syukur dan keimanan pada Yang Maha Kuasa. Adanya
hikmah yang terkuak dengan ilmu kedokteran itu tentunya menjadikan ilmu tak
akan cukup sampai di situ. Rasa keingintahuan akan terasah dengan harapan dapat
semakin memahami hikmah penciptaan dari Allah SWT. Secara tidak langsung,
dengan sendirinya ilmu Allah pun akan semakin terkuasai sedikit demi sedikit.
Inilah kunci kedua itu, sebuah harapan demi meningkatkan keimanan dengan
memenuhi hasrat untuk menguasai ilmu Allah SWT.
Memang
mempelajari ilmu Allah SWT tak harus dengan kedokteran. Atau perdebatan bahwa
ilmu kesehatan tak melulu harus lewat jalur kedokteran. Dokter artinya orang
yang bertugas mengobati orang yang sakit. Artinya ia hanya memperbaiki sesuatu
yang sudah salah. Padahal kita tahu bahwa lebih baik mencegah daripada
mengobati. Lebih baik menjaga orang sehat agar tak jatuh sakit dibandingkan
mengurangi jumlah orang sakit dengan cara mengobati.
Saya
sendiri menyepakati hal tersebut. Maka saya membenarkan program-program para
penggerak kesehatan di lapisan masyarakat. Masyarakat sehat memang harus dijaga
untuk sehat, tetapi masyarakat sakit harus segera diobati pula agar tidak
bertambah sakit, bahkan diupayakan untuk menjadi sehat. Artinya, kesehatan
memang tidak melulu tentang kuratif, tetapi ada fase preventif, promotif,
maupun rehabilitatif.
Boleh
jadi usaha itu dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat tanpa perlu
repot-repot menghabiskan dana dan waktu untuk mengecap bangku kedokteran.
Tetapi semua orang tak kan mampu untuk itu. Orang komunikasi bisa saja ahli
melakukan usaha promotif, tetapi belum tentu tahu bagaimana tindakan rehabilitatif.
Orang kesehatan masyarakan bisa saja mahir melakukan tindakan preventif, tetapi
akan angkat tangan ketika harus melakukan tindakan kuratif. Memang semua
memiliki porsinya masing-masing, tetapi seorang dokter dapat menjalankan
keempat peran itu sekaligus.
Dokter
yang peka dengan masalah masyarakat akan tergerak untuk melakukan upaya
preventif dan promotif pada masyarakat sehat. Di satu sisi, dokter juga akan
melakukan tindakan kuratif dan rehabilitatif untuk mengobati orang sakit dan
mengubah statusnya menjadi orang sehat kembali. Artinya, seorang dokter dapat
melakukan penekanan jumlah penderita suatu penyakit dari dua arah. Dengan
demikian pewujudan masyarakat sehat pun terjadi beriringan. Inilah kunci ketiga
dimana saya berharap dapat mewujudkan masyarakat sehat dengan aksi dua arah
sekaligus, yaitu mencegah serta mengobati.
Mungkin
ada yang meremehkan dengan kunci ketiga saya dengan berkata, “Dokter di
Indonesia sudah banyak, tapi nyatanya masyarakat sehat tak tercapai juga.” Di
sinilah tantangan yang saya ambil. Jumlah dokter memang banyak, namun berapa
dokter yang mau membuka mata pada dunia sekitarnya? Berapa dokter yang
memandang permasalahan kesehatan sebagai permasalahan masyarakat yang harus
segera ditangani agar tidak menjadi masalah bangsa?
Padahal
kembali ke bahasan semula bahwa ruang lingkup kedokteran sedemikian luasnya.
Sebelum manusia lahir saja, sudah ada banyak kasus kesehatan yang melanda,
mulai dari risiko kelahiran premature, tingginya angka kematian bayi dalam
persalinan, dan lain sebaginya. Hingga akhirnya mendekati ajal pun ranah
kedokteran masih ikut berbicara, mulai dari masalah penuaan yang mengganggu
fungsi organ tubuh hingga jutaan masalah kesehatan kronik yang ditimbun sedikit
demi sedikit. Semua masalah itu tak akan selesai jika hanya dipandang dengan
kacamata satu orang pasien datang lantas diobati dan kemudian atas izin Allah
diberikan kesembuhan. Melainkan bagaimanakah penanganan masalah penyakit
tersebut jika terjadi di masyarakat secara luas. Itulah kunci keempat saya
mencintai kedokteran, bahwa ladang kebermanfaatan masih membutuhkan
tangan-tangan yang rela terulur, yang mau melihat masalah kesehatan secara
komprehensif dan solutif. Dengan demikian kunci ketiga yaitu mewujudkan
masyarakat yang sehat secara lebih efektif dan efisien pun semakin mudah untuk
tercapai.
Setidaknya
dengan keempat kunci itulah yang menutup rapat-rapat kobaran cita-cita dokter
dalam diri saya. Harapan untuk mendekatkan diri pada Allah, membuat masyarakat
melek akan kesehatan, menjadi problem solving bagi masalah kesehatan, dan
mewujudkan masyarakat yang sehat insya Allah dapat tercipta dengan langkah awal
menjadi mahasiswa fakultas kedokteran. Dengan kunci itu pulalah yang membuat
hati tak akan berpaling pada ranah ilmu lain demi fokus mencintai dan nantinya
akan memberi bukti.
Mengapa Kedokteran UNS?
Sekalipun
rasa cinta pada kesehatan sudah demikian terpatri, pemilihan pelabuhan yang
tepat agar cinta semakin bertaut tak bisa dianggap sebagai hal yang remeh.
Salah pilih tempat mendarat, bisa-bisa rasa cinta pun akan menjadi kandas.
Namun jika jatuh di landasan yang tepat, bisa jadi cinta itu akan melambung
semakin tinggi. Pertimbangan itulah yang saya pakai sebelum melabuhkan cinta
kesehatan itu. Dan pilihan saya pun jatuh pada Fakultas Kedokteran UNS.
Orang
bilang, lakukanlah sesuatu mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil,
mulai dari yang terdekat, dan seterusnya. Demikian pula dalam memilih pelabuhan
cinta. Untuk mengaitkan kunci cinta kesehatan saya satu per satu, bisa saja
saya memilih fakultas kedokteran di kota-kota provinsi atau kota besar lainnya.
Namun atas dasar memulai sesuatu dari yang terkecil dan terdekat, tak ada
salahnya saya mencoba mengunci cinta itu dari sebuah kota kecil bernama Solo.
Sebuah
kota mungil bukan berarti mimpi hanyalah kecil. Sebuah kota yang dekat bukan
berarti mimpi tak mungkin melesat. Justru bermula dari kota kecil inilah
pijakan akan menjadi semakin kuat. Justru karena kota yang mungil pulalah
menjadikan kami semakin dekat dengan masyarakat. Secara tidak langsung
perwujudan pengikatan kunci cinta kesehatan semakin mudah untuk dilakukan.
Bisa
jadi justru karena di kota besar lantas kurang akrab membersamai masyarakat.
Terbukti dengan lulusan fakultas kedokteran di berbagai universitas. Tak jarang
lulusan universitas tertentu tidak siap untuk terjun dalam masyarakat. Skill
tidak terasah karena tidak ada kesempatan untuk mempraktikkan langsung selama
mengenyam bangku pendidikan.
Namun,
semua kekhawatiran itu dapat dicegah hingga seminimal mungkin di FK UNS.
Kegiatan terjun ke daerah-daerah dengan membawa topik kesehatan tertentu setiap
semester dapat menjadi wahana untuk benar-benar mengenal masalah kesehatan
masyarakat. Di samping itu sekaligus mencari pemecahan masalah kesehatan dan
mempraktikkan skill yang dimiliki.
Semuanya terasah sediki demi sedikit dengan dukungan kurikulum dari fakultas
maupun organisasi-organisasi medis yang bertebaran dan demikian dekat dengan
kehidupan mahasiswa.
Dengan
dukungan fakultas maupun organisasi kampus, kemampuan saya pun sedikit demi
sedikit terasah. Artinya, kesempatan untuk menguatkan kunci-kunci cinta
kesehatan pun makin terwujud. Dengan keempat kunci cinta saya yang ternyata
didukung penuh dengan program fakultas maupun organisasi, makin kuatlah rasa
cinta saya pada kesehatan. Dengan makin kuatnya rasa cinta saya pada kesehatan,
makin kuatlah rasa cinta saya pada fakultas yang telah mendukung sedemikian tak
terkiranya.
Maka,
saya berani berkata, “Saya cinta kesehatan, saya cinta FK UNS.”
No comments:
Post a Comment