Follow Us @soratemplates

Tuesday 30 September 2014

Komitmen

17:26 1 Comments

Apa yang kau tahu tentang komitmen?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komitmen adalah suatu perjanjian (keterikatan) terhadap sesuatu atau kontrak. Dalam sebuah hubungan atau interaksi antar perseorangan, tak jarang orang meminta komitmen satu sama lain. Sesuai definisi tadi, boleh jadi di sini mereka saling membuat kontrak. Bisa jadi pula mereka sekedar diharapkan untuk saling terikat.

Berbicara tentang komitmen seringkali yang terbayang adalah interaksi seorang laki-laki dan perempuan. Sepasang lelaki dan perempuan seringkali bermain-main dengan komitmen. Perempuan berharap laki-laki terikat padanya. Sebaliknya, lelaki juga berharap agar perempuan terikat pula.

Masalahnya, ikatan apa yang dimaksud di sini? Dalam istilah pramuka, dikenal berbagai macam simpul. Ada simpul mati, ada pula simpul hidup. Begitukah juga dengan hubungan laki-laki dan perempuan? Ada yang tersimpul dan terikat hingga mati dan ada pula simpul sekenanya dengan ikatan longgar yang sewaktu-waktu bisa dilepas sesuka hati.

Terlepas dari itu, perkara membuat simpul juga bukan persoalan yang mudah. Terkadang sudah mencoba diikat kuat, tapi tetap ada yang meleset. Ada pula yang agar tidak meleset, lantas diikat sedemikian rupa hingga justru menjadi terkesan rumit. Begitu pula dengan komitmen. Pelik, dan dirasa cukup sulit.

Maka, wajar jika ada orang yang berkata, "Karena komitmen itu susah, jangan sia-siakan dia yang datang dengan membawa komitmen. Pertimbangkan, dan jangan langsung ditolak. Setidaknya dia berani datang padamu dengan komitmen, dibandingkan mereka yang sekedar sambil lalu tanpa membawa apa-apa padamu."

Namun lantas orang lain menimpali, "Tapi ini juga bukan lomba lari. Bukan karena dia datang lebih dulu dengan komitmen lantas dipikirkan dan mereka yang datang belakangan tak perlu dipertimbangkan."

Perkaranya ada di komitmen itu sendiri. Kontrak akan terjadi jika dua pihak saling sepakat. Bukan perkara waktu, melainkan siapa yang mau datang membawa MoU dan siapa yang mau menandatangani kontrak.

Setiap penawaran memang tidak boleh diremehkan. Tapi setiap penawaran juga tak lantas diiyakan dengan dalih mumpung ada penawaran. Hati-hati karena setiap penawaran pasti sesuatu yang menggiurkan. Tak ada iklan yang tak menarik di dunia ini. Boleh jadi sekedar mengiyakan setiap penawaran yang datang justru menjadi bukti suatu bentuk keserakahan. Boleh jadi alasan yang penting segera membuat ikatan dari penawaran yang diajukan justru hanya akan menciptakan simpul yang asal-asalan.

Simpul hanya akan kuat ketika dua buah ujung tali bersinergi untuk saling mengikat. Begitu pula dengan komitmen. Butuh dua kendali yang membuatnya tetap terikat. Namun layaknya tali yang juga bisa bermata dua justru membunuh dengan jeratannya, begitu pula dengan komitmen yang terasa terlalu mengikat hingga membuat kita terjerat pula.

Layaknya simpul pramuka yang punya manfaat sesuai dengan bentuk yang tepat, semoga begitu pula dengan komitmen yang akan membawa manfaat karena dibentuk dengan tepat. Aamiin...

Monday 29 September 2014

Should We?

22:30 2 Comments

Satu bulan lagi koas saya selesai. Satu bulan lagi saya sudah tak bisa berlindung dengan dalih, "Kan masih koas". Satu bulan lagi saya berproses menghapus kata 'muda' dari titel dokter muda saya. Dan tiba-tiba saya ketakutan.

Saya ketakutan apa yang akan saya lakukan setelah ini. Bukan karena akan menjadi pengangguran, melainkan membayangkan tanggung jawab yang akan kami pegang. Saya melihat dokter-dokter di sekitar saya, dan saya bertanya "Haruskah kami begitu juga nantinya?"

Saat ini saya sedang menemani teman yang akan ujian stase anak. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 dan pasien terakhir belum selesai diperiksa. Dokter yang memeriksa sudah berumur, sudah nenek-nenek yang menurut kami, "Ya Allah, apa beliau tidak lelah hingga selarut ini?"

Saya teringat seminggu yang lalu saat menemani ibu periksa jantung ke profesor saya. Beliau sudah hampir pensiun, jalan pun sudah tertatih-tatih. Tapi hingga jam 21.00, rumahnya masih terbuka untuk menerima pasien. "Haruskah begitu hingga renta nanti?"

Saya ingat saat saya harus ujian malam di salah satu rumah sakit swasta. Dokter saya praktik di sana hingga jam 22.00 juga. Padahal esok harus kembali ke moewardi lagi hingga siang hari. Selepas magrib sudah kembali ke RS swasta ini lagi. Entah jika beliau buka praktik pagi atau sore di rumah. Hingga beliau hanya baru akan terhenti ketika tubuhnya sakit. "Begitukah hingga Allah harus memberikan sakit untuk membuatnya istirahat?"

Belum lagi para residen yang masih sekolah untuk mendapat gelar spesialisnya. Harus sudah di rumah sakit jam 6.00 pagi. Belum jika dokter bedah yang harus menyelesaikan operasi hingga malam dan lanjut menyiapkan operasi untuk esok hari, dan jam 6.00 harus sudah datang lagi. "Oh my god, itukah rutinitas yang akan kami jalani nanti".

Seorang teman lantas berkomentar, "Kita boleh kok untuk mengakhiri jalan ini. Boleh kok untuk tidak meneruskan proses ini." Tapi kami lantas menggeleng. Tidak! Sudah sejauh ini, sudah tinggal satu bulan lagi. Ini mimpi kami, ini cita-cita kami.

Maka kami mungkin hanya butuh tekad layaknya di film 5cm. Yang kami perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.

Mampukah kami? Insya Allah. Jika Allah memang menjadikan itu sebagai jalan kami, pastilah akhirnya akan benar-benar kami jalani. Semoga...

Monday 22 September 2014

Berdiam Sejenak

11:49 0 Comments

Aku duduk di sudut ruangan pagi ini. Tak ada aktivitas, tak ada kepentingan. Ah, salah. Bukankah duduk mematung juga sebuah aktivitas? Andai aku bisa meminjam jubah tak terlihat Hary Potter, mungkin lengkap sudah ketidakberadaanku kali ini. Ya, aku sedang menjalani hobiku, meniadakan diri sendiri dan membuat orang lain benar-benar ada. Sebuah kesenangan aneh yang diam-diam sering kulakukan di tengah kesendirian.  

Seorang teman mengajariku dulu, "Cobalah sekali waktu kamu diam dan memposisikan diri sebagai orang lain. Kau akan banyak belajar dan merasakan dirimu dan orang lain."  

Aku mengangguk. Tentu saja. Bukankah kita akan lebih memahami orang lain ketika kita memposisikan diri sebagai orang lain itu. Ternyata bukan itu maksudnya. Bukan untuk memahami, tetapi sekedar merasakan kehidupan yang berbeda dari hidupmu sendiri.  

Maka itulah yang aku lakukan, murni dengan dalih iseng dalam kesendirian.  

Aku mengamati bapak parkir yang berdiri di tepi jalan. Sesekali dia duduk dan tengok kanan kiri. Beberapa residen lalu lalang, masuk ke gang tikus. Hm, mungkin mereka baru sempat sarapan. Ada teman-teman koas yang baru datang. Sebagian tergesa, sebagian berjalan gontai. Hei hei, ini masih pagi kawan. Tiba-tiba terdengar suara tukang parkir, dengan deru mesin mobil yang ia atur. Seorang pasien turun perlahan dari sebuah sepeda motor. Terlalu perlahan. Oh, kakinya luka. Seorang staff melintas. Ada yang menyapa, menunduk, menghormat. Ada yang acuh, mungkin tidak kenal atau tak pernah berurusan. Di seberang sana teman koas terkantuk-kantuk, "Ah, malas. Pulang aja lah," katanya sambil beranjak. Ponselku bergetar, "Aku memutuskan: ya". Aku tersenyum. Kupandang lagi sekeliling, pekerja bangunan masih berlalu-lalang. Pasien masih berdatangan. Tukang parkir masih mengatur-atur.  

Aku tersenyum.

Dunia terus berputar, sekalipun kamu berdiam. Akan terus bergerak, sekalipun kamu berhenti sejenak. Begitu adanya, sesuai perannya. Peran bapak parkir, pekerja bangunan, dokter, pasien, bahkan peran burung berkicau yang menari di langit pagi ini.  

Aku beranjak. Kuambil peranku. Sudah saatnya kembali meramaikan dunia.

Saturday 13 September 2014

Di Tanganmu

15:15 0 Comments
Seorang gadis menghabiskan waktu dengan membaca buku ditemani secangkir kopi dan alunan musik klasik di sebuah kafe. Seorang lelaki menepuk pundaknya dan mengambil duduk tepat di depannya.

"Hai, apa kabar? Bagaimana hidupmu? Bagaimana mimpi-mimpimu?" tanyanya.

Gadis itu membetulkan posisi duduknya, melanjutkan membaca.

"Bagaimana rencana studimu? Kau jadi melanjutkan S-2? Sudah mendapat beasiswa? Atau justru sudah diterima?" kejarnya.

Gadis itu masih tetap membaca.

"Atau kau mau mulai bekerja? Bagaimana dengan rencana kariermu? Sudah mulai merintis usaha seperti yang kau rencanakan dulu? Apa bisnismu sekarang?" tanyanya lagi.

Gadis itu meraih cangkir kopinya, meminumnya sebentar, tanpa memalingkan matanya dari barisan huruf di bukunya.

"Hei, ada apa denganmu? Aku tak melihat binar di matamu. Kau berbeda! Jangan-jangan kau belum merencanakan hidupmu? Di mana kau yang selalu bersemangat menceritakan mimpi dan rencana masa depanmu?" lelaki itu mengguncang bahu sang gadis.

Gadis itu menepis tangan lelaki di bahunya. 

"Sudah, diamlah! Aku ini perempuan. Masa depanku ada di tangan kaummu, lelaki."

Gadis itu kembali membaca bukunya.


Thursday 4 September 2014

Smile :)

22:31 0 Comments
Bagaimana perasaanmu hari ini? Jika Anda bertanya pada saya tadi pagi, mungkin saya akan menjawab, "Ah, malas, ga enak badan, skip saja lah hari ini". Tapi, coba tanyakan di petang tadi, maka saya akan menjawab, "Happy...! Alhamdulillah, hari ini menyenangkan!". 

Ada apa gerangan? Tidak ada apa-apa sebenarnya. Saya hanya sedang memaknai tentang konsep bahagia. Ada yang bilang, "Bukan karena bahagia maka kamu tersenyum, tapi karena tersenyum maka kamu bahagia". Hari ini saya merasakan betul makna di balik kalimat itu.

Tadi pagi saya berangkat ke rumah sakit dengan semangat seadanya saja. Yah, sekedar menjalani hari, berharap rutinitas hari ini berakhir dengan segera. Mungkin kalau saya berkaca, wajah saya akan terlihat tertekuk di mana-mana. 

Tapi, refleks otot wajah saya berubah.Tepatnya ketika memasuki bangsal pagi itu dan mulut ini berkata, "Pagi ibu, saya dari bagian jantung, mau periksa tensi ya. Pagi ini ada keluhan?" Mulai berceritalah pasien-pasien itu. Entah tentang nyerinya, entah tentang sesaknya, sembari saya berkutat dengan manset tensimeter di pergelangan tangan mereka. Saya? Tersenyum.

Lalu saya melangkah ke poliklinik, menemui pasien-pasien yang sudah duduk manis di ruang tunggu. Ah, banyaknya, mungkin saya akan menggerutu begitu. Tapi, lagi-lagi ketika mulut berkata, "Silakan duduk pak/bu, baru pertama datang?" atau "Mau operasi ya pak/bu?" atau ketika pertanyaan berlanjut, "Apa yang dirasakan pak/bu?". Lagi-lagi saya tersenyum.

Jam sudah lewat pukul 14.00. Teman koas bahkan sudah kabur dan mengajak saya pulang saja. Tapi pasien di luar kamar periksa masih banyak. Residen masih memeriksa pasien satu demi satu. Kalau mau, saya bisa saja pulang. Dan saya hampir saja menggerutu karena berpikir, "Duh residennya lama sekali, mau pulang jam berapa ini". Tapi, saya justru melangkah masuk ke ruang periksa residen dan justru mendiskusikan pasien. Beliau mengajari saya ini itu. Ah, Alhamdulillah dapat ilmu. Pun ketika keluarga pasien yang saya periksa sebelumnya berkata, "Belum pulang bu dokter?" dan saya menjawab, "Belum, bu. Menunggu dokternya sekalian." Lagi-lagi cuma bisa dengan tersenyum.

Ketika pulang, waktu menunjukkan lebih satu jam dari jam kerja. Seharusnya saya segera pulang karena ada janji jaga klinik salah satu organisasi yang saya ikuti. Kalau dipikir-pikir, sudah sore begini pasti malas sekali harus berangkat lagi dan menjaga klinik. Betapa enaknya sampai di rumah langsung berbaring dan melepas lelah. Tapi saya teringat bagaimana beberapa tahun yang lalu saya kecewa ketika menghubungi koas dan sibuk tidak bisa menjaga klinik. Maka, saya tekadkan untuk berangkat, demi menjaga semangat adik-adik tingkat.

Dan lagi-lagi itulah yang terjadi pada saya. Ketika pasien bercerita, "Saya sudah sendirian bu dokter, sakit-sakitan begini," atau, "Suami saya kecelakaan dan jadi begitu, dok. Obatnya habis," atau "Saya cocok berobat di sini dok, mau minta obat ini saja". Lagi-lagi saya tersenyum.

Dalam hati saya berpikir, ah dokter itu sungguh manusia bermuka dua. Bagaimana teraduk-aduknya hatinya, tetap saja dia bermuka topeng dengan memasang senyum di depan pasiennya. Munafikkah? Tidak, menurut saya. Bagi saya hari ini, justru senyum saya yang dipaksa keadaan itulah yang membuat hati saya benar-benar bahagia.

Mungkin benar bahwa dokter itu adalah artis, ya pekerja seni. Seorang senior pernah berkata ketika saya dan teman-teman menjadi pengurus harian OSIS SMA dulu. "Pengurus inti OSIS itu harus bisa jadi artis dan bermain peran. Kalian boleh pusing memikirkan program kerja, tapi ketika bertemu anak buah dan mendengar keluhan mereka, posisikan diri untuk menjadi ayah dan ibu yang mengayomi. Ketika kalian bertemu teman non-pengurus OSIS, tertawalah dan bermainlah seolah OSIS tak ada masalah. Begitu seterusnya." Saya rasa, peran dokter tak jauh berbeda.

Mengapa saya tersenyum? Entahlah. Mungkin saya bersyukur karena kondisi saya jauh lebih baik daripada pasien-pasien saya. Mereka mengeluh pada saya. Artinya, posisi saya jelas lebih beruntung dibandingkan mereka. Atau, mungkin hanya sekedar sopan santun semata sebagai seseorang penyaji jasa. Entah apapun itu, yang pasti saya merasakan bahwa karena tersenyum maka saya bahagia, dan belum tentu sebaliknya yaitu karena bahagialah maka saya baru tersenyum.

Sungguh, saya berterima kasih sekali pada pasien-pasien yang saya temui hari ini. Terima kasih karena telah membuat saya bahagia. Tentu saja saya tidak bermaksud bahagia di atas penderitaan mereka. Tapi, mereka begitu banyak memberikan hikmah untuk hati ini. Terima kasih. Dan yang bisa saya lakukan hanyalah mendoakan mereka agar Allah SWT segera memberikan kesehatan pada mereka. Aamiin...

Saya jadi teringat pada seorang sahabat lama saya, sahabat OSIS saya yang selalu memaksa saya untuk tersenyum. Ketika tekanan terasa berat di mana-mana, dia akan selalu memaksa, "Keep smiling!". Ketika air mata rasanya ingin menetes, dia akan menggenggam erat tangan saya sambil tersenyum dan berkata, "Keep smiling".

Ya, keep smiling. Tetaplah tersenyum karena justru dengan tersenyum maka kau akan bahagia.




Monday 1 September 2014

Sudah Biasa

05:21 0 Comments
Saya punya teman dekat, sebut saja namanya Budi. Kami beda kelompok koas, hanya sesekali saja bertemu di stase tertentu. Suatu ketika saya menjadi seniornya. Ketika suasana koas pada saat itu sangat ribut, dia sebagai koas junior terlihat begitu banyak perkerjaan, sedangkan saya sebagai senior kebetulan sudah menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Maka saya menghampirinya.

Saya mengambil beberapa jatah pekerjaannya dan dia sontak berkata, "Eh, mau dibawa ke mana?" Tahu dia bertanya begitu, saya pun menjawab dengan nada sewot, "Mau aku kerjain. Mau ga dibantuin? Mau cepet pulang ga?" Saya pun langsung ngloyor pergi tanpa menunggu komentarnya. Teman kelompok saya yang mendengar itu langsung berkata, "Aduh Mbak Avi, galak amat sih sama Budi. Kasihan kan". Tahu ada yang membela, Budi tersenyum menang. Saya mengomentari dengan ringan, "Sama Budi aja mah udah biasa. Biarin".

Beberapa menit kemudian kami para koas diajak makan siang. Kebetulan kami koas senior banyak yang puasa, sedangkan koas junior sedang tidak puasa. Mereka tidak enak hati karena makan padahal senior tidak. Maka saya pun berkata, "Ya udah sana makan, biar kerjaannya dilanjutin senior. Seniornya baik kan," kataku sambil tertawa. Tiba-tiba Budi menyahut setengah menggerutu, "Apaan ketawa-ketawa. Baik apanya. Itu sih karena senior puasa, kalau ga juga tetap bakal makan." Saya cuma manyun mendengar Budi ngomel sendiri. Giliran teman Budi yang berkomentar, "Kamu kok galak banget sih sama Mbak Avi." Kini saya yang tersenyum karena dibela. Tapi Budi pun menimpali, "Halah, sama Avi, udah biasa".

Hm, saya hanya iseng mau berkontemplasi di sini. Saya dan Budi adalah seorang teman yang sudah cukup mengenal. Mungkinkah karena merasa sudah mengenal lantas kami saling menggampangkan satu sama lain? Saya merasa biasa saja ketika sewot pada Budi, pun Budi juga biasa saja ketika mengomel pada saya. Sebaliknya saya juga biasa saja jika Budi mengomeli saya dan mungkin Budi juga sudah biasa pula ketika saya sewot padanya. Hanya saja, ini berlaku bagi kami, bagaimana menurut orang lain?

Layaknya teman sekelompok saya maupun teman sekelompok Budi, mereka menganggap kami terlalu galak satu sama lain, walaupun kami pribadi tidak menganggapnya demikian. Lantas saya berpikir, begitukah pandangan orang di dunia ini terhadap sikap seseorang yang dilihatnya? Khususnya ketika pandangan itu menjadi berbeda hanya karena faktor biasa dan belum terbiasa.

Contoh simpel lain begini. Ketika bertemu dengan orang tua di luar sana terlebih yang belum begitu kenal, mungkin seseorang akan begitu hormat dan menggunakan bahasa jawa halus. Tapi, beda halnya dengan orang tua sendiri di rumah. Mungkin karena sudah terbiasa lantas menganggap komunikasi selayaknya normal saja tanpa perlu 'mundhuk-mundhuk' dengan bahasa krama. Begitu juga dengan sahabat sendiri. Kita bisa bebas bersikap tanpa peduli image tertentu sedangkan dengan orang baru kita terkesan menjaga image. Begitukah?

Saya menganggapnya mungkin karena orang yang sudah terbiasa diharapkan sudah mengenal dan memahami kita. Barangkali orang tua akan maklum ketika anaknya tidak 'mundhuk-mundhuk'. Atau mungkin sahabat terdekat kita akan sangat paham ketika kita lepas kontrol dan menumpahkan padanya. Tapi, bagaimana dengan orang lain di luar zona kita?

Oke, kita memang tidak harus memperhatikan semua penilaian orang lain pada kita. Cuma, akan menjadi cukup miris ketika orang menganggap sikap ini sebagai sikap yang sekedar jaga image semata. Oh, tenyata si A itu ga hormat sama orang tuanya. Ah, ternyata si B kalau lepas kontrol memalukan juga. Hm, ternyata si C galak juga, dan seterusnya yang ternyata berbeda dengan image pada umumnya.

Bukan perkara imagenya menurut saya, melainkan saya anggap sebagai sebuah pengingat. Oh, ternyata manusia juga harus menjaga sikap. Bagaimana kita seharusnya tidak membeda-bedakan perilaku hanya karena menggampangkan posisi seseorang. Sekalipun tidak ada masalah karena mereka orang terdekat kita, bukankah menjaga sikap untuk menjadi lebih baik juga tidak ada salahnya?

Yah, ini sekedar iseng saja. Toh bagaimana sikapmu, itu terserah padamu...
CMIIW... :)