Follow Us @soratemplates

Monday, 31 October 2022

Me and Yumi

17:46 0 Comments


Beberapa hari terakhir ini saya sedang menonton drama korea Yumi's Cells. Eh, drakor lagi? Haha iya. Telat? Hehe iya juga. Maklum saja, saya bukan drakor addict, yang selalu update dengan drama-drama baru lalu konsisten menuis reviewnya. Bahkan pernah suatu waktu saya mengikuti sebuah drama yang baru on going. Waktu itu saya justru merasa bosan. Sepertinya akan lebih menarik ketika drama itu sudah selesai, lalu saya menyimak secara marathon. Haha, ini karena selera saja.


Begitu juga dengan Yumi's Cells ini. Sejujurnya, saya pun tidak menyimak drakor ini sebelumnya. Saya tahu drama ini karena bertanya pada salah seorang adik kesayangan. Pasalnya waktu itu saya sedang begitu penat dan ingin punya sweet escape sejenak. Tiba-tiba saja langsung terbayang untuk menyimak sebuah drama. Lalu muncullah nama drakor ini sebagai salah satu rekomendasinya.


Meski sekedar sweet escape, ternyata saya sangat menikmatinya. Bahkan drakor yang sudah sampai season dua ini pun dengan rela hati saya simak dari season pertama. Buang-buang waktu? Tidak. Saya menyukainya. Buktinya saya sampai menuliskan kesan saya terhadap drama ini di sini. Bukankah kalau tidak ada kesan maka akan lewat begitu saja?


Kenapa saya begitu terkesan?


Pertama menonton thrillernya, saya cukup bingung. Apa sih ini kok ada gambar-gambar kartunnya segala. Tapi, begitu menonton episode pertama, saya langsun berbinar. Wow, ini sel-sel dalam pikiran yang sedang berbicara ya? Bukankah ini berarti sebuah self talk. Seketika saya pun bersemangat menyimaknya.


Kebetulan sekali beberapa bulan belakangan ini saya memang sedang tertarik dengan tema self talk. Hal-hal yang ada kaitannya dengan pengelolaan pikiran dan semacamnya menjadi concern saya hampir setahun ini. Nah, ketika menemukan drama korea yang berbau self talk, rasanya seperti menemukan cinta sejati. Ah, ini nih drama yang aku mau.


Yang bikin betah bahkan beberapa kali saya tergelak adalah pengemasan self talk ini dibuat dengan animasi. Sel-sel dalam pikiran itu lucu sekali menyampaikan apa yang ingin mereka utarakan. Jika dipikir-pikir rasanya memang serumit itu ketika kita akan memikirkan atau mengucapkan sesuatu. Tapi bisa jadi juga memang selucu itu ketika kita menikmati apa saja yang melintas dalam pikiran kita.




Lalu yang membuat saya semakin relate dengan drama ini adalah di season kedua Yumi mendadak keluar dari kerja dan ingin menjadi penulis. Wow, ini mirip sekali dengan kondisi saya saat ini. Sudah enam bulan ini saya berhenti bekerja. Lalu menjadi pengangguran luntang-luntung seharian di rumah. Yah, meskipun alasan mendasarnya karena ada adik baby, tapi sedikit banyak planning yang ingin saya kerjakan hampir sama dengan Yumi. Saya ingin di rumah dan mulai menulis. Sama persis kan?


Di salah satu scene ketika Yumi meratapi nasibnya kenapa harus keluar kerja dan mulai belajar menulis di usia 33 tahun, saya pun kembali tersenyum simpul. Helow ini mirip sekali dengan saya yang juga tidak menjadi pegawai di usi 32 tahun. Pun ketika Yumi mulai membandingkan kondisinya yang semula digaji tiap bulan dengan keadaannya sekarang yang tanpa penghasilan, sedikit banyak saya pun merasakannya. Yah, tidak memungkiri kalau mendapat penghasilan tetap itu cukup membuat nyaman. Haha


Tapi akhirnya Yumi mendapat debutnya menulis novel. Di poin ini agak sedikit berbeda. Bukankah sebenarnya saya sudah memulai debut saya bahkan sepuluh tahun yang lalu? Tapi, ketika Yumi berada di performa maksimalnya, bagaimana dengan saya yang sudah sepuluh tahun tapi ternyata tidak berprogres signifikan? 


Di sini saya justru mendapat booster tersendiri. Yah, mau bagimana lagi. Maksud hati melipir sejenak untuk bersenang-senang, apa daya justru mendapat suntikan semangat untuk kembali berlari kencang. 


Haha, bismillah saja. Fighting!


Monday, 17 October 2022

Pagar Mangkok

21:07 0 Comments


 


Ada istilah yang pernah saya dapat waktu masih kecil dulu. Lebih baik punya pagar mangkok daripada pagar tembok. Ada yang paham maknanya? 


Ini bukan berarti bahwa kita mensubstitusi tumpukan bata menjadi tumpukan mangkok untuk pagar di sekeliling rumah kita. Maksud dari istilah itu adalah akan lebih baik jika kita mengelilingi rumah kita dengan memberikan mangkok kepada tetangga. 


Kenapa begitu? Karena sesungguhnya tetangga adalah saudara terdekat kita. Maka, ketika kita berbuat pada tetangga dekat kita, mereka akan menjadi pagar yang ikut menjaga rumah dan keluarga kita. Kurang lebih begitu maknanya.


Nah, konsep itu saya alami betul ketika berumah tangga (walaupun dulu ketika masih tinggal dengan ibu pun saya juga tahu dan mempraktikkan hal ini). Bermula dari satu mangkok ternyata akan muncul mangkok-mangkok lain yang turut menjaga kita. Dan hingga saya menuliskan cerita ini, saya cukup takjub dengan efeknya.


Awalnya, saya membagikan gula jawa ke tetangga depan, belakang, dan samping rumah. Iya, hanya gula jawa saja. Itupun karena ada anak kos yang membawakan gula cukup banyak. Oleh-oleh dari ibunya katanya. Itu pula karena semula si anak sakit dan saya memberi obat dengan cuma-cuma. Nah kan, dari sini saja kami sudah saling memberi.


Pekan ini, saya kebanjiran 'mangkok-mangkok' lagi. Dari hari Rabu kemarin, ada tetangga yang datang membawakan pisang, es krim, dan makanan frozen seperti bakso, sosis, dan nugget. Hari Jumat kembali datang tetangga yang lain ke rumah. Beliau membawakan ayam mentah dan karak. Padahal di pagi harinya suami baru saja beli karak, dan beberapa hari sebelumnya saya juga baru membeli ayam. Auto penuh freezer kami.


Siangnya, ketika suami akan pergi keluar kota bersama rekannya, ternyata sang teman membawakan pisang raja dua lirang. Katanya panen sendiri. Masya Allah, padahal pisang canvendish yang dari hari Rabu saja belum habis. Alhamdulillah...


Hari Sabtu saya kembali membagikan gula jawa ke tetangga samping. Kebetulan hari-hari sebelumnya belum mendapat moment yang pas. Barulah tetangga samping ini diberi hari Sabtu itu. Siapa sangka hari Ahad paginya si ibu tetangga samping membawakan sop-sopan untuk kami. Jelas-jelas sop-sopan itu beli di warung. Padahal sungguh kami tidak berharap dibalas begitu. Cuma bisa bersyukur Alhamdulillah.


Agak siangnya, bapak dan ibu datang ke rumah. Lagi-lagi kami kebanjiran amunisi. Ibu membawa ayam mentah, telur, tempe, tahu, cabai, tomat, kangkung, dan bayam. Masya Allah, kulkas kami benar-benar full. Pasalnya, hari Jumat saya juga baru saja beli cabe. Suami juga beli tempe, kangkung, dan telur. Hehe kalau dipikir-pikir, belanjanya hampir mirip. Lagi-lagi Alhamdulillah... 


Belum berhenti sampai di situ. Senin pagi ini, ibu tetangga depan rumah kembali beraksi. Pintu rumah kami diketuk dan Mbak depan rumah membawakan tomat, kubis, dan labu siam. Masya Allaah... Agaknya mereka baru saja ke rumah besannya hari Ahad kemarin. Dulu ketika keluarga besan datang ke sini pun dibawakan sayur yang sama persis. Dan saya pun kecipratan sayur yang memang banyak dan segar-segar itu. Padahal pekan sebelumnya, si ibu depan rumah baru saja panen mangga. Lagi-lagi saya pun dapat jatah juga.


Masya Allah Alhamdulillah. Hanya bisa bersyukur dan berterima kasih pada Allah. Kulkas kami full, bahkan sebagian bahan masih kami taruh di luar kulkas. Rasanya sangat cukup untuk jadi bahan masakan sepekan ke depan. 


Dari sini saya diingatkan kembali tentang pagar mangkok. Ternyata bukan hanya sekedar mengurangi jatah belanja, melainkan membuat hati menjadi hangat juga. Bukankah dengan saling memberi makan akan saling menyayangi? Manakah yang tidak lebih menyenangkan dari disayangi oleh tetangga sekitar kita. Sekali lagi, Alhamdulillah...


Saturday, 15 October 2022

Menguak Salah Satu Innerchild

22:23 0 Comments



Kali ini saya ingin sedikit menorehkan jejak ala-ala menulis diary. Wow, sebuah keberanian tersendiri bagi saya untuk menguploadnya di blog ini. Seringkali tulisan-tulisan ala diary hanya teronggok pasrah memenuhi drive, atau kadang tertuang dengan tak sengaja di lembaran kertas yang kemudian tidak diketahui bagaimana nasibnya. But, it is okay to share with you.


Tadi pagi saya mengikuti salah satu event yang diadakan oleh Ibu Profesional Soloraya. Agenda utama adalah launching buku NBB2, tentu saja tidak ada nama saya di sana karena saya belum bergabung dengan IP waktu itu. Tema buku yang diangkat adalah tentang innerchild. Dalam rangka launching itulah, ada semacam kuliah zoom tentang mengelola innerchild demi menumbuhkan fitrah ayah dan bunda.


Sejujurnya, tema ini bukan makanan baru bagi saya. Agaknya saya pertama kali mengenal istilah ini ketika ikut kelas online dari ummamy bubby. Waktu itu Kak A masih batita, sudah lama kan berarti. Tapi nyatanya, saya tetap menemukan insight baru dari kulzoom tadi. Salah satu poin yang menarik dan memang dihighlight oleh pembicara adalah bahwa masa lalu apapun itu adalah hadiah terbaik dari Sang Pencipta. Masya Allah...


Nah, di sesi tadi kami diminta untuk menulis bebas atau istilahnya free writing. Kami diminta untuk menuangkan apapun yang terlintas di kepala, pun dengan melibatkan emosi jika ada. Sejujurnya saya tidak menuliskan apapun tadi, namun saya tertarik dengan salah satu tulisan yang secara sukarela dibacakan oleh salah satu peserta. Dia meminta maaf kepada anak pertamanya karena menuntut suatu hal, mungkin karena orang tuanya dulu melakukan hal yang sama.


Saya pun seolah berkaca pada diri saya sendiri. Kebetulan sekali, akhir-akhir ini saya memang sedang mengurai kondisi hati saya terkait Kak A. Lelah fisik, lelah psikis, ekspektasi dan harapan yang dihadapkan pada kenyataan kadang membuat sisi tersembunyi dalam diri muncul tanpa dibendung. Kalau dipikir-pikir, kenapa juga saya harus merasa geram ketika Kak A keliru mengaji? Kenapa pula saya harus senewen mendengar suara keras Kak A? Saya sadar dan saya benar-benar bertanya. Dan saya seolah diingatkan di sesi kulzoom tadi pagi. Jangan-jangan karena innerchild saya terluka di kedua poin ini.


Saya mendadak teringat, waktu kecil dulu seringkali saya bermain ke rumah tetangga. Yah, layaknya anak-anak kecil, pasti kami bermain dengan asyik, saling tertawa, saling teriak. Tapi waktu itu, si empunya rumah berkata, "Weh Dik Avi suarane banter banget" (Wah, Dik Avi suaranya kencang sekali) Refleks tentu saja saya akan mengerem volume suara saya. Tapi kejadian itu tidak terjadi sekali, di lain waktu saya mengalaminya lagi.


Waktu itu ada rasa malu. Ibaratnya seperti anak perempuan main ke rumah orang kok suaranya kenceng banget. Sekalipun saya masih anak-anak waktu itu, tapi tidak dipungkiri ada rasa malu, tidak enak hati, merasa bersalah, dan semacamnya. Boleh jadi, rasa itu bercokol dalam diri saya hingga saya dewasa dan berdampak pada saya saat membersamai Kak A.


Kebetulan beberapa terakhir ini setiap pulang sekolah Kak A langsung bermain dengan tetangga. Mainnya di rumah sebenarnya, dan saya tak ada masalah dengan itu. Tapi ketika di suatu hari mereka bermain di jalan depan rumah, saya meradang. Kenapa? Karena Kak A berbicara dengan suara sangat kencang.


Besoknya, terjadi lagi. Mereka main bola di jalan sampai sore. Asyiknya main bola pasti bisa dibayangkan dong. Tentu saja Kak A dan teman-temannya berteriak kencang. Dan bisa diduga, saya meradang. Saya menghardik Kak A karena suara lantangnya.


Setelah dipikir-pikir, volume suara Kak A memang keras. Tapi, kenapa ketika main di rumah (tentunya dengan suara tak jauh berbeda) saya biasa saja, tetapi ketika di luar rumah saya menjadi tak tahan dan ingin marah? Ketika saya telisik, jangan-jangan ada faktor innerchild yang bermain di sini. Jangan-jangan saya marah pada Kak A karena saya merasa terluka ketika dulu bersuara lantang dan dikomentari oleh tetangga. Mungkin saya akan merasa sakit lagi ketika Kak A bersuara keras di luar rumah dan membuat tetangga ikut mengeluarkan komentar juga. Na'udzubillah...


Ini baru satu poin, dan saya sadar tentang hal itu. Dari sini saya jadi tahu bahwa kondisi yang terjadi saat ini bukan serta merta langsung diatasi. Namun, seandainya bisa dikaji dulu penyebabnya, tentu akan lebih baik lagi untuk bisa diterima dan direlease lagi.


Bismillah, semangat menyelami diri lagi dan lagi. Semoga terurai apa-apa yang masih menjadi PR di dalam diri. Aamiin...

Thursday, 13 October 2022

Hati Seluas Samudera

22:05 0 Comments



Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak. Peribahasa itu sepertinya sudah banyak yang tahu. Kurang lebih maknanya adalah kebaikan orang yang jauh akan tampak begitu besar dan bermakna. Di sisi lain, kebaikan orang terdekat seringkali justru tidak dianggap dan diremehkan begitu saja.


Saya teringat dengan peribahasa tersebut ketika pergi ke rumah simbah pekan lalu. Simbah memiliki empat orang putri. Ibu sebagai anak pertama sudah tiada, tinggal tiga orang bulik. Ada satu bulik yang tinggalnya tak jauh dari rumah simbah. Sedangkan dua bulik yang lain tinggal di luar kota.


Akhir pekan lalu kami menginap di rumah Simbah. Ada satu bulik juga yang dari luar kota ikut menginap. Kami memang biasa bergiliran menginap di sana menemani Simbah. Tak jarang kami justru janjian untuk bisa berkumpul bersama, di luar waktu lebaran tentunya.


Pagi itu Simbah yang memang sudah sepuh dan demensia sedikit menjadi tantangan bagi anak-anaknya. Bulik kedua yang tinggal di dekat rumah Simbah sudah menyiapkan beras dalam magic com untuk dimasak. Ternyata oleh Simbah beras itu diambil.


Selang beberapa lama, bulik mencoba memasak nasi lagi untuk kami sarapan bersama. Apa daya diambil lagi oleh Simbah. Hingga akhirnya terdengar suara keras dari mulut Simbah yang membuat bulik tidak tahan.


Akhirnya urusan masak nasi pagi itu diambil alih oleh bulik ketiga. Tentunya setelah dengan sedikit jeda waktu dan memberi pengertian cukup panjang pada simbah. Alhamdulillah nasi bisa matang.


Siangnya, hal itu terjadi lagi. Perkara mau mandi sore dan butuh merebus air untuk mandi, tiba-tiba kompor mati karena gas habis. Simbah pun mulai berkomentar ini itu, "Gimana gasnya habis" dan semacamnya. Termasuk bingung ke mana mau membeli gas.


Bulik pertama mencoba pergi ke toko yang paling dekat dari rumah. Ternyata kosong. Beberapa meter di dekatnya, toko yang lain malah tutup. Pulang dengan tangan kosong membuat Simbah tak henti-hentinya meracau. Bulik pun pergi ke toko yang lain yang agak jauh. Ternyata kosong juga.


Karena mulai rame, akhirnya lagi-lagi urusan ini diambil alih oleh bulik ketiga. Bulik dan om keluar ke jalan besar mencari toko yang lebih besar. Alhamdulillah pulang dengan berhasil membawa tabung gas baru.


Kejadian seperti hari itu bukan terjadi satu atau dua kali saja. Ini sudah menjadi makanan sehari-hari yang biasa kami temui. Dari situ saya teringat bahwa bulik kedua yang setiap hari menemani Simbah akan tampak selalu tak sempurna. Seolah banyak kesalahan, seakan tak sabar untuk menghadapi keadaan. Dibandingkan bulik lainnya yang hanya datang saat weekend, dengan energi yang lebih fresh, tidak penat karena menjadi situasi harian, tentu treatment dari bulik lain akan terasa lebih baik.


Padahal apa yang dilakukan bulik pertama jelas amat sangat besar dan tak tergantikan. Meskipun saya tahu bahwa kami memiliki porsi sendiri-sendiri. Barangkali bulik yang lain memang tidak bisa selalu ada, namun selalu sedia jika harus mengantar Simbah ke mana-mana misalnya. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan porsinya masing-masing.


Kalau dilanjutkan pembahasannya, ini bisa menjadi hal yang lebih runyam kalau menyerempet tetang Pondok Mertua Indah atau Pondok Orang Tua Indah. Yah, kalau akur-akur saja dan sudah menjadi kesepakatan bersama insya Allah akan menjadi pondok yang benar-benar indah. Tapi kalau justru menjadi gajah di pelupuk mata yang tak tampak, apa masih bersedia?


Di sini memang butuh hati yang seluas samudra. Tidak ada tepi dan batasan untuk mengabdi. Semua hanya berharap bisa memberikan sebenar-benar bakti.

Sunday, 9 October 2022

Pahala Bagi Kak A

16:56 0 Comments



Sadar ga kalau kadang anak kecil yang masih polos itu seringkali justru menjadi pengingat bagi kita yang sudah dewasa? Menurut saya, mungkin karena mereka masih pure fitrahnya. Belum terkontaminasi lingkungan, belum tergerus nafsu apapun. Itu juga yang secara sadar maupun tak sadar saya dapatkan dari Kak A.


Dulu ketika awal-awal Kak A masuk sekolah, terlihat betul bagaimana perubahan akhlaknya. Salah satu poinnya adalah dia mau melakukan sesuatu karena ingin dapat pahala. Hm, sepertinya konsep pahala sebagai reward sudah bercokol di dalam hatinya. Bukan sekedar tahu bahwa berbuat baik akan dapat pahala, tapi dia paham bahwa harus berlomba-lomba mengumpulkan pahala.


Contohnya begini. Suatu waktu ada sampah berserakan di rumah. Alhamdulillah dia memiliki inisiatif untuk mengambil sampah itu. Sempat suatu ketika dia berkata, "Biar aku aja, Mi. Biar jadi pahalaku."


Wow, menurut saya ini keren sekali. Pertama, dia punya keinginan untuk berbuat baik. Tanpa diminta dan disuruh, Kak A menawarkan diri untuk membantu. Poin lainnya, dia memiliki tujuan yang benar. Ada kan anak yang doing something karena berharap hadiah atau pujian. Tapi, Kak A melakukan hal itu karena mengharap pahala. Masya Allah...


Sejujurnya ini menjadi pengingat buat saya. Sekedar membuang sampah pada tempatnya bisa jadi pahala lho. Apa kabar para orang dewasa yang melakukan ini itu sebatas rutinitas saja tanpa menyelipkan niat mengharap pahala. Padahal innamal a'malu binniat kan. Amal tergantung niatnya. Ya udah deh rutinitas sebatas rutinitas saja tanpa berimbas apa-apa di akhirat sana. Hm..., cukup sia-sia ternyata.


Tapi kondisi itu tak sepenuhnya selalu terjadi pada Kak A. Layaknya anak-anak pada umumnya, kadang kala Kak A memang mungkin sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Jangankan memiliki inisiatif, ketika jelas-jelas diminta untuk membantu sesuatu pun Kak A menolak. 


Waktu itu saya berkata, "Ayo Kak, biar dapat pahala lho."

Dengan santainya dia menjawab, "Pahalaku udah banyak, Mi." Hahaha, pede sekali anak ini.


Yah, walaupun tidak berlaku untuk orang dewasa, tapi jawaban pahalaku sudah banyak cukup menggelitik juga. Pertama, kadang kita sebagai orang dewasa merasa diri kita sudah sholeh, sudah banyak melakukan amal kebaikan. Katanya sih golongan orang-orang yang sudah booking kavling di surga. Padahal tidak ada jaminan kan. 


Kedua, bisa jadi kondisinya justru dia termasuk orang yang sombong dan bebal. Dia menolak kebenaran dan tidak mau melakukan amal kebaikan karena merasa tak butuh lagi. Na'udzubillahimindzalik. Semoga tidak termasuk poin kedua ini.


Menariknya lagi, di lain waktu Kak A punya tanggapan berbeda tentang mencari pahala. Suatu kali inisiatif Kak A untuk membantu everything mencuat lagi. Saya yang melihat justru terkesan kasihan karena sepertinya di luar batas kemampuannya dan khawatir dia akan kelelahan. Tapi karena dia yang ingin membantu, tentu saja dia tak mau di-stop.


Waktu itu saya bilang, "Sudah kak, ga usah bantuin lagi ga papa. Kan pahalamu udah banyak." Hehe, saya membalik statement dia sendiri ketika dia sedang malas membantu.


Tak taunya, dia justru menjawab begini. "Ga papa, Mi. Nanti kalau pahalaku banyak bisa kutransfer ke Mami sama Papi."


Masya Allaah... melting mendengarnya. Ada poin beda lagi yang disampaikan oleh Kak A. Pertama tentang konsep mencari pahala tak akan ada masa berhentinya. Meskipun pahala sudah banyak, tetap harus dicari juga.


Kedua tentang makna birrulwalidain. Bahwa seorang anak yang sholeh bisa menjadi wasilah kebaikan buat orang tuanya. Bukankah anak yang sholeh termasuk salah satu amalan yang tak akan terputus meski nyawa sudah berpisah dengan raga.


Masya Allah Tabaarakallah. Semoga Allah selalu meridhai Kak A sehingga selalu terjaga niat baiknya dan semua amalannya berbuah pahala. Aamiin.


Wednesday, 5 October 2022

Tulisan Dulu vs Sekarang

00:47 0 Comments



Malam ini saya sedang melakukan kontemplasi. Ada yang berbeda dengan diri saya saat ini dengan diri saya di masa lalu. Tentu saja, status saya berubah, aktivitas harian saya berubah, dan banyak hal lain. Termasuk salah satunya tentang tulisan saya.


Kalau diingat ulang beberapa tahun lalu, rasanya saya tidak perlu pikir panjang ketika akan menorehkan kata di sini. Rasa-rasanya saya sudah hampir tak peduli. Ibarat kata, ini adalah rumah saya. Blog saya. Terserah saya mau diisi dengan apa. Agaknya saya lebih banyak skeptis, memangnya siapa yang akan baca? Mungkin dengan asumsi itulah saya jadi bebas untuk menuliskan apapun tanpa peduli apakah tulisan saya bagus atau tidak, apakah layak dibaca atau tidak, bermanfaat atau tidak, dan seterusnya. Lagi-lagi saya bebas berekspresi di sini.


Tapi dunia berubah. Begitu juga dengan sosial media, termasuk blog salah satunya bagi saya. Rasanya, jejak media itu perlu dipertimbangkan. Personal branding seseorang tentu tak luput dari media apapun yang dia gunakan. Entah itu sekedar facebook atau instagram, atau sampai ranah blog, channel youtube, dan akun-akun lainnya.


Dampaknya saya rasa jadi seperti saya saat ini. Ketika akan menorehkan kata, saya seolah dipaksa untuk mengkaji lagi: ini harus jadi naskah yang layak konsumsi. Tidak boleh kalau hanya cerita tak jelas. Tak boleh juga kalau hanya aliran rasa. Tapi malam ini saya merenungkan lagi. Memangnya saya menulis buat siapa? Pun untuk apa?


Beberapa malam sebelumnya, saya mengorek-orek isi gdrive saya. Bertebaran file-file gdoc di drive saya. Beberapa saya baca lagi dan waktu saya tersadar. Hey, kenapa tulisan begini hanya ditulis di drive? Kenapa tidak sekalian diunggah di blog? Bukankah beberapa tahun lalu tulisan semacam ini bebas saja keluar di blog tanpa perlu ragu?


Ya, benar juga. Kadang, kita yang justru membatasi diri kita sendiri. Kita (mungkin lebih tepatnya saya) yang justru membuat standar untuk diri saya sendiri bahwa menulis harus bagus. Menulis ga boleh sekedar curahatan hati. Padahal, siapa yang mengharuskan itu?


Kebetulan karena iseng, saya tergabung dalam sebuah komunitas yang goalsnya adalah konsisten menulis dalam setahun. Lalu saya melirik-lirik link yang telah dibagikan oleh teman-teman sesama peserta. Dari beberapa nama itu, ada peserta yang full menulis tanpa putus. Dan ketika saya buka, "Lho ini sederhana kan".


Saya teringat dengan program seratus hari zaman di Laskar Kang Nass dulu. Bukankah saya tak ada masalah ketika dulu upload tiap hari? Yang saya share pun adalah hal yang remeh temeh. Tapi, siapa sangka dari hal-hal yang sepele itu juga ada yang suka dan merada terinspirasi. Masya Allah...


Jadi sepertinya saya seharuanya membuang ego saya untuk menulis lagi. Kalau memang apa yang saya tulis benar-benar parah hingga khawatir akan menjadi energi negatif yang membawa lebih banyak madharat daripada manfaat, oke saya terima kondisi tersebut. Tapi kalau ternyata itu adalah hal netral, yang mungkin bisa jadi bisa diambil ibrohnya, so what gitu lho? Tuliskan saja di sini.


Tak perlu takut apakah tulisan itu berdampak atau tidak. Toh mereka yang hadir dan mampir hingga membaca kalimat terakhir di tulisan ini pun tidak saya paksa untuk membaca kata demi kata. So, win win solution kan. Saya bisa menuliskan ide dan rasa setiap hari, mengisi blog, tanpa harus merasa mendzalimi.


Bismillah, semoga bisa menjadi titik balik tersendiri.