Selembar kertas disodorkan padaku. Kertas yang berasal dari seorang kawan yang duduk di sampingku. Isinya singkat, tentang open recruitmen sebuah UKM fakultas. Aku menghela nafas berat. Memandangi tulisan singkat itu dengan masygul.
"Jadi mau ikut?" tanya kawanku yang baru saja menyodorkan kertas open recruitmen itu padaku.
"Aku bingung.... Aku ingin ikut materinya, tapi nggak mau ikut jalan-jalan ke Tawangmangu-nya."
Kawanku pun menawarkan solusi. "Ya sudah, sms aja CP-nya. Tanya kegiatannya sebenarnya seperti apa?"
Kembali aku memandangi secarik kertas itu dengan bimbang. Di sana tertulis dua nama dengan dua no HP. Yang satu bernama Yas***** dan yang satu lagi bernama Gil**.
Aku kembali bertanya pada kawanku, "Mbak Gil** pake jilbab nggak?"
Sengaja aku bertanya begitu. Bukannya diskriminasi, tapi agaknya akan lebih nyaman jika nanti aku menghubungi beliau dan mencoba bertukar argumentasi dengannya.
Kawanku menggeleng, "Aku nggak kenal. Belum pernah lihat orangnya juga."
Aku masih belum mengambil tindakan. "Udah, SMS Mbak Gil** aja daripada SMS Mas Yas*****"
Aku pun mencatat nomor HP Mbak Gil** di binder catatanku kemudian mengoper kertas open recruitmen itu pada teman lain yang duduk di belakangku.
Jeda beberapa menit, rasa bimbang dan ingin tahuku makin memuncak. Tak sanggup lagi kutahan dan kuputuskan untuk menulis SMS pada Mbak Gil**.
"Mbak, saya mahasiswa PD yang ingin ikut open recruitmen K*****T. Kalau boleh tahu, acaranya apa saja ya mbak? Apa ada acara jalan-jalan ke Tawangmangu?"
Send! SMS pun kukirim.
Beberapa menit berlalu hingga akhirnya kuliah usai. Balasan SMS dari Mbak Gil** belum datang juga. Di tengah keributan mahasiswa pada jeda kuliah itu, dua orang kakak tingkat masuk ke ruang kuliah kami.
"Vi, itu yang namanya Mas Yas*****" kata kawanku tiba-tiba.
Mas Yas***** berdiri di muka kelas sambil meminta kami untuk duduk. Dia bermaksud memberikan sosialisasi open recruitmen UKM fakultas. Seorang kakak tingkat yang lain duduk di meja dosen dan berperan sebagai operator slide powerpoint.
Kawanku kembali bertanya, "SMS-mu udah dibalas Mbak Gil**?"
Aku hanya menggeleng sambil memperhatikan penjelasan dari Mas Yas*****.
"Mungkin habis kamu SMS, Mbak Gil** langsung minta Mas Yas***** untuk ngasih sosialisasi."
Aku hanya mengangguk-angguk.
Di tengah penjelasan Mas Yas*****, dia memberikan interuksi pada operator untuk mengganti slidenya. Interuksi itu membuatku tersentak. Mas Yas***** berkata, "Slide, Gil..."
Aku terbelalak dan berkata pada kawanku, "Gil? Jangan-jangan..."
Kawanku ikut kaget. Kami mengamati operator yang duduk di meja dosen. Seorang laki-laki.
Kawanku berkata, "Ah, salah dengar kali. Kayaknya bukan ngomong Gil, deh."
Kami pun kembali diam.
Di akhir sosialisasi, Mas Yas***** berkata "Silakan hubungi CP yang ada di lembaran. Bisa ke saya atau ke teman saya ini, Gil**"
Aku dan kawanku terbelalak. "Jadi..."
Pecahlah tawa kami, menertawakan kesalahan kami sendiri.
Kawanku berkata, "Vi, Mbak Gil** pake jilbab?"
Aku tak mampu menjawab, yang ada justru panik dan tak percaya. Betapa malunya karena aku sudah terlanjur SMS ke Gil** dengan sapaan mbak, padahal sejatinya dia seorang pria.
Masya Allah, malunya...
*********************************
PS: Hati-hati dalam menilai sesuatu. Jangan asal menilai (mendiagnosis) tanpa bukti dan dasar yang jelas. Agar tidak mengalami kejadian seperti kami akibat diagnosis (jenis kelamin) terlalu dini.
Monday, 1 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment